Sabtu, 16 Maret 2013

Cerita Silat

Cerita Silat

To Liong To – 1

MUSIM semi gembira-ria,
Setiap peringatan Han-sit,
Bunga Lee-hoa mekar semua.
Sutera putih licin,
Bau harum bertebaran,
Pohon2 bagaikan giok,
Tertutup salju berhamburan.
Malam yang sunyi,
Sinar yang mengambang,
Cahaya, yang dingin.
Diantara bumi dan langit,
Sinar perak menyelimuti semesta a1am.
Ah, dia bagaikan Dewi dari gunung Kouwsia,
Bakatnya cerdas dan suci,
Wataknya agung dan murni.
Laksaan sari bunga besar kecil tak ketentuan,
Tapi siapa berani mengatakan, dia tak
berendeng dengan bunga2 kenamaan?
Jiwanya gagah,
Kepintarannya berlimpah2,
Sesudah rontok, semua sama.
Maka itu, dia pulang kekeraton langit’
Guna melihat keindahan nan ABADI.

Sajak diatas sajak “Boe siok liam” (Cita2 hidup bebas dari segala keduniawian), adalah buah kalam seorang ahli silat ternama dijaman Lan-song (kerajaan Song Selatan). Orang itu she Khoe bernama Cie Kie (Kee) bergelar Tiang coen coe, salah seorang dari Coan cin Cin Cit coe (Tujah Coe dari agama Coan cin kauw)

Dalam sajak itu Khoe Cie Kie bicara tentang bunga Leehoa. Tapi sebenarnya, dalam melukiskan keagangan bunga Leehoa, is ingin memberi pujian kepada seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian serba putih. la membandingkan wanita itu seperti “Dewi dari gunung Kouw sia, bakatnya cerdas dan suci, wataknya agung dan murni.” Ia memujinya sebagai manusia yang “jiwanya gagah kepintarannya ber-limpah2.”

Siapakah wanita yang mendapat pujian sedemikian tinggi dari seorang, beribadat yang berilmu itu ?

Ia adalah Siauw Liong Lie, seorang jago betina parte Kouw bok pay (parte Kuburan tua). Ia suka mengenakan pakaian serba putih, sehingga se-olah2 pohon giok yang tertutup salju Dengan sifat2nya yang bersih dingin is se-akan2 sinar rembulan yang menyelimuti semesta alam dengan sinarnya yg teduh dan dingin.

Waktu masih berdiam di Ciong Lan Sam Siauw Liong Lie pernah jadi tetangga Kho Cie Kie dan sesudah melihat gadis itu yang elok luar biasa. Cie Kie segera menulis sajak “Boe siok-liam” untuk memujinya.

Tapi sekarang Kho Cie Kie sudah lama meninggal dunia, sedang Siauw Liong Lie pun sudah menikah dengan Sintiauw Tayhiap Yo Ko.

Akan tetapi, pada suatu hari, dijalanan gunung Siauw sit san, di propinsi Holam, terlihat seorang gadis remaja yang sedang berjalan sambil menundukkan kepada dan menghafal sajak “Boe siokliam.”

Gadis itu, yang berusia kira-kira delapan belas tahun dam mengenakan pakaian warna kuning menunggang seekor keledai kurus. Perlahan-lahan binatang itu mendaki jalanan gunung yang sempit. Sambil termenung2 diatas tunggangannya, sinona berkata dalam hatinya. “Ya ! Memang juga, hanyalah seorang seperti Liong Cie-cie yang pantas menjadi isteri dia.”

“Dia” adalah Sintiauw Tayhiap Yo Ko.

Keledai berjalan terus, perlahan-lahan.

Si nona menghela papas dan berkata dengan suara perlahan. “Berkumpul gembira, berpisahan menderita……”

Gadis tersebut, yang berpakaian sederhana dan yang pada pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek, berjalan dengan paras muka tenang, sehingga dengan muka sekelebatan saja, orang bisa menebak, bahwa ia adalah seorang yang sadah biasa berkelana dalam dunia Kang-ouw. Ia berada dalam usia remaja, usia riang gembira. Menurut akuran biasa, dalam usia belasan, pemuda atau pemudi tak mengenal apa yang dinamakan penderitaan atau kedukaan. Akan tetapi, nona itu berada di luar dari ukuran biasa. Pada paras mukanya yang cantik bagaikan sekuntum bunga mawar, terlihat sinar yang guram. Alisnya berkerut, seolah-olah serupa pikiran berat sedang menindih hati iya.

Nona itu she Kwee bernama siang, puteri ke dua dari Tayhiap Kwee Ceng dan Liehiap Oey Yong. Dalam dunia Rimba Persilatan, ia di juluki sebagai “Siauw-tong-sia” (si Sesat kecil dari Timur). Dengan seekor keledai dan sebatang pedang, ia berkelana untuk menghilangkan kedukaan. Tapi diluar dugaan semakin jauh ia berkelana mendaki gunung2 yang indah dan sunyi semakin besar kedukaannya.

Jalan kecil itu, dibuat atas perintah Kaizar Kocong dari kerajaan Tong, untuk memudahkan lalu lintas kekuil Siau-lim-sie.
Sesudah berjalan beberapa lama, Kwee Siang melihat lima buah air terjun digunung seberang dan dibelakang sebuah tikungan, apat2 terlihat tembok dap genteng dari se buah kuil yang besar luar biasa.

Sambil mengawasi bangunan2 yang berderet, si nona berkata dalam hatinya. “Semenjak dulu Siauw lim sie dikenal sebagai pusat pelajaran ilmu silat. Tapi mengapa, selama dua kali diadakan pertandingan di puncak gunung Hwa-san, diantara lima jago utama tidak terdapat orang yang berkepandaian Cukup tinggi? Atau apakah, karena sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi, mereka sung kan mencampuri segala pergaulan didalam dunia?”

Sambil berpikir, ia mendekati kuil itu.

Ia turun dari tunggangannya dan menuju ke pintu kelenteng. Ia melewati pohon2 itu yang berdiri sejumlah pay batu yang sebagian besar sudah rusak, sehingga hurup2nya tak dapat dibaca lagi.
Si nona menghela napas. “Ah ! Huruf2 yang terpahat di pay batu sudah hampir tak terbaca karena lamanya tempo, tapi mengapa, huruf2 yang terukir dalam hatiku, semakin lama jadi semakin tegas ?” katanya didalam hati.

Dalam saat, ia berpapasan dengan sebuah pay batu yang sangat besar dengan hurufnya yang masih dapat di baca. Pay itu ternyata hadiah Kaizar Tong-thay-tong sebagai pujian untuk jasa-jasanya para pendeta Siauw-lim-Sie

Menurut catatan sejarah, pada waktu masih jadi Raja muda Cin-ong, Tong-thay-cong pernah membawa tentara untuk menghukum Ong Sie Oen. Dalam peperangan itu, bajak pendeta siauw-lim-sie memberi bantuan dan yang paling terkenal berjumlah tiga belas orang. Antara mereka itu, hanya seorang she Tham yang suka menerima pangkat jenderal sedang yang lainnya, sesudan peperangan selesai, lantas meminta diri. Tong-thay-cong tak dapat menahan mereka dan sebagai pernyataan terima kasih kepada setiap orang, ia menghadiahkan satu jubah pertapaan yang sangat indah.

“Pada jaman antara kerajaan Soe dan Tong ilmu silat Siau Lim sie sudah tersohor dikolong langit,” kata Kwee Siang didalam hati.

“Selama beberapa ratus tahun, ilmu silat itu tentu sudah memperoleh banyak kemajuan. tahu berapa banyak orang yang berilmu bersembunyi dalam kuil yang besar ini?”

Selagi dia melamun dibelakang pohon, tiba2 terdengar suara berkerincingnya rantai besi, disusul dengan suara seseorang yang sedang menghafal Hoed keng (Kitab Suci agama Budha. ). Antara perkataan2 yang di hafal ia menangkap kata2 seperti berikut.
“… Dari cinta timbul ke jengkelan, dari cinta timbul ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan.”

Jantung si nona memukul keras. Ia bengong mengulangi kata2 itu. “Dari cinta timbul ke jengkelan dan ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan.”

Dilain saat, suara kerincingan rantai besi dan suara pembacaan Kitab Suci sudah jadi semakin jauh.

“Aku mesti tanya dia,” kata si nona dalam hati. “Aku mesti tanya, bagaimana seseorang bisa menyingkir dari cinta, bisa terbebas dari kejengkelan dan ketakutan”. Buru2 ia mengikat tali les keledai disatu pohon dan lalu mengubar kearah suara itu.
Ternyata, dibelakang pohon2 terdapat satu jalan kecil yang menanjak keatas dari seorang pendeta yang memikul dua tahang besar sedang naik ditanjakan itu.

Dengan cepat Kwee Siang mengudak dan waktu berada dalam jarak belasan tombak dari si pendeta, tiba2 terkesiap. la mendapat kenyataan, bahwa yang dipikulnya sepasang tabang besi yang tiga kali lipat lebih besar dari tahang biasa. Yang mengejutkan ialah, dileher, di tangan dan dikaki sipendeta dilibatikan rantai besi yang besar, sehingga menimbulkan suara berkerincingan. Berat kedua tahang besi itu ratusan kati dan ditambah dengan air dapat dibayangkan betapa beratnya.

“.. Toah hweeshio (pendeta besar) “teriak si nona. “Berhenti dulu ! Aku ingin bertanya.”

Si pendeta menengok, mereka saling memandang. Pendeta itu ternyata Kak-wan yang pada tiga tahun berselang pernah bertemu Kwee Siang di puncak ganung Hwa-san.

Si Nona tahu, biarpun pendeta itu agak tolol, ia memiliki Lweekang yang sangat tinggi, yang tak kalah dari siapapun juga. “Ah! Kukira siapa,” katanya. “Tak tahunya Kak kwan Taysoe. Mengapa kau jadi begini ?”

Kak kwan manggut kan kepalanya sambil tersenyum dan merangkapkan kedua tangannya, tapi ia tak menjawab pertanyaan si nona. Lalu ia memutar badan dan berjalan pula

“Kak Wan Taysoe !” teriak Kwee Siang. “Apakah tidak mengenal aku ? Aku Kwee Siang!”

Kak wan kembali menengok, ia tertawa dan memanggut2kan kepala, tapi kakinya bertindak terus.
“Siapa yang mengikat kau dengan rantai?” tanya sinona. “Siapa yang menghina kau?”
Sambil berjalan terus Kak wan menggoyang2 tangan kirinya dibelakang kepala, sebagai isyarat supaya sinona jangan terlalu melit.
Kwee Siang jadi semakin heran. Mana ia bisa puas dengan begitu saja? Ia segera mengudak untuk mencegat pendeta yang aneh itu, tapi diluar dugaan, sesudah mengubar beberapa lama, Kak wan yang dilibat rantai dan memikul tahang, masih tetap berada disebelah depan. sinona jadi jengkel. Ia mengempos semangat dan mengudak dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Bagaikan seekor walet tubuhnya yang langsing melesat kedepan dan satu tangannya coba menjambret sebuah tahang.
Menurut perhitungan, jambretan itu tak akan melesat. Tapi diluar dugaan, tangan Kwee Siang jatuh ditempat kosong, hanya kacek dua dim dari tahang itu.

“Toahweeshio ! Lihay benar kau !” teriaknya. “Lihatlah! Biar bagaimanapun juga aku akan menyandak kau.”

Jalanan semakin menanjak,kebelakang gunung. Dengan tenang Kak Wan percepat tindakannya, sehingga berkerincingnya rantai jadi semakin ramai. Si ubar dengan sekuat tenaga, nafasnya tersengal2, tapi ia terpisah kurang lebih setombak dari pendeta ltu. Ia kagumi bukan main dan berkata dalam hatinya : “Diatas gunung Hwa-san, ayah dan ibu pernah mengatakan, bahwa hweeshio ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Waktu itu aka masih percaya. Sekarang baru terbukti, perkataan ayah dan ibu adalah benar.”

Tak lama kemudian merekapun tiba didepan sebuah rumah kecil dan Kak Waa sagera pergi kebelakang dam menuang air kedua tahang itu kedalam sumur. Kwee siang jadi lebih heran. “Toa hweeshio, apa kau sudah gila? ” tanyanya. “Mengapa kau menuang air kedalam sumur?”

Paras muka sipendeta tetap tenang. Ia hanya tersenyum.

Mendadak Kwee siang tertawa nyaring. ” Ah! Kutahu sekarang,” katanya. “Kau sedang melatih ilmu silat bukan ?”

Kak Wan kembali meng-geleng2kan kepala.

Sinona jadi mendongkol. “Kau seorang gagu, barusan aku mendengar kau menghafal Kitab Suci.” katanya. “Mengapa kau tak mau menjawab pertanyaanku ?”

Si pendeta merangkap kedua tangannya, Sedang dilihat dari paras mukanya, ia seperti ingin meminta maaf. Tapi ia tetap membungkam dan sesudah mengangkat kedua tahangnya, ia lalu turun di jalanan tadi.

Kwee siang melongok sumur itu. Ia hanya melihat air yang bening dan merasakan hawa yang dingin. Tiada apapun yang luar biasa.

Ia berdiri bengong dan hati bimbang mengawasi bayangan Kak wan yang semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah menguber mati matian, ia merasa letih dan lalu duduk dipinggir sumur sambii memandang keadaan diseputarnya. Ia berada ditempat yang lebih tinggi dari pada kuil Siauw liem sie. Di pandang dari jauh kuil itu, angker dan indah. Ia mendongak dan memandang puncak. yang menjulang kelangit dan berderet2 bagaikan sekosol, sedang di bawah puncak2 itu terdapat awan putih yang mengambang kian kemari. Di lain saat, sayu sayu kupingnya mendengar suara lonceng di kuil yang dibawa keatas olen tiupan angin. Dalam keadaan begitu, ia merasa berada di suatu tempat suci yang jauh dari keduniawian.

“Kemana perginya murid si pendeta itu?” tanyanya didalam hati. “Kalau dia sendiri tak mau bicara, biar kucari itu.” Perlahan lahan ia turun gunung untuk mencari Thio Koen Po, murid Kak wan.

Sesudah berjalan beberapa lama, ia kembali mendengar suara berkerincingnya rantai besi dan jauh-jauh Kak wan kelihatan mendatangi sambil memikul dua tahang besinya. Kwee siang baru baru melompat dan menyembunyikan diri di belakang pohon. “Biarlah aku intip padanya.” pikirnya, “Permainan gila apa yang tengah dilakukannya?”

Tak lama kemudian, Kak wan sudah tiba di tempat bersembunyinya. Kwee Siang yg mendapat kenyataan, bahwa sambil berjalan pendeta itu membaca sejilid buku dengan penuh perhatian. Mendadak ia melompat dan berteriak. ” Toah wee shio, buku apa yang di baca olehmu ?”

“Aduh ! Kaget benar aku !” teriak sipendeta tanpa merasa. “Nakal sungguh kau!”

Si nona tertawa geli. “Toa hwee shio, mengapa tadi kau berlagak gagu ?” tanyanya dengan dada mangejek,

Muka pendeta itu lantas saja berubah pucat, seperti orang ketakutan. Ia menegok ke Kiri kanan dan menggoyang-goyangkan tangannya.

“Apa yang di takuti olehmu ?” tanya pula Kwee Siang dengan perasaan heran.

Sebelum Kak wan keburu menjawab, dari dalam hutan mendadak muncul dua orang pendeta yang mengenakan jubah kuning. “Kak wan!” bentak sipendeta yang jalan didepan. “Hm! Kau berani bicara dan melanggar larangan kami ? Hm! Kau berani bicara dengan seorang luar. Apa pula demang seorang wanita. Sekarang kau harus menghadap pada tetua Kayloet tong (dewan per udang-undangan dari kalangan Buddha).”

Kak wan kelihatan berduka. Ia menunduk dan mengguk, akan kemudian berjalan mengikuti dibelakang kedua pendeta itu.

Kwee Siang lantas saja naik darahnya “Hai ! Dikolong langit mama ada aturan tak boleh bicara ?” bentaknya. “Aku bicara dengan Tay soe itu, karena aku mengenalnya. Ada sangkut paut apakan dengan kau berdua ?”

Pendeta yang bertubuh jangkung melotot matanya. “Semenjak ribuan tahun, seorang wanita belum pernah dipermisikan masuk kedalam daerah Siauw lim sie.”

katanya. “Lebih baik nona cepat-capat turun gunung supaya tidak menghadapi kesukaran.”

Sinona jadi semakin gusar. “Eh, kalau wanita masuk disini, mau apa kau?” bentaknya.” Apa perempuan tak sama dengan lelaki? Mengapa kamu menyusahkan Kak wan Taysoe? Sesudah mengikatnya dengan rantai besi, kau mengeluarkan larangan gila-gila.”

Si jangkung mengeluarkan suara dihidung “Kaizar sendiri tak pernah mencampuri urusan dalam kuil kami,” katanya dengan suara tawar.

“Nona tak usah banyak bicara.”

Kwee Siang berjingkrak. “Kutahu Kak wan Taysoe seorang baik dan karena ia seorang baik, kau berani menghinanya,” katanya. “Huh-huh! Dimana adanya Thian beng Siansoe, Boe sek Hweeshio dan Boe Siang Hweeshio? Panggil mereka? Aku mau menanyakan urusan gila ini!”

Kedua pendeta itu terkejut. Harus diketahui, bahwa Thian beng Siansoe adalah Hongthio atau kepala dari kuil Siauw lim sie, sedang Boe sek Siansoe pemimpin Lo-han-tong Pan Boe siang Siansoe pemimpin Tak mo tong dengan kedudukan yang sangat tinggi, mereke dihormat oleh segenap pendeta yang belum pernah berani menyebutkan Hoat nia (nama sesudah jadi pendeta) mereka dan biasa menggunakan panggilan “Loo hong thio” “Lo han tong Co-soe” atau “Tat mo tong Cocoa. ” Maka itu, tidaklah heran jika mereka kaget tercampur gusar waktu mendengar sinona menyebut nama ketiga, pemimpin dengan suara kasar.

Hoat mia pendeta yang bertubuh jangkung itu, adalah Hong bang, muria kepala Co coe (pemimpin) Kay Loet tang. Atas perintah coe coe, bersama Hong yan, adik seperguruannya ia menilik gerak-gerik Kak kwan. “Lie sie cue (nona) !” bentaknya sambil menahan amarah. “Jika kau terus berlaku kurang sopan ditempat yang suci ini, Siauwceng tak akan berlaku sangkan lagi.”

“Kau kira aku takut ?” Kwee Siang balas membentak. “Lekas buka rantai yang meli- bat Kak wan Taysoe. Jika tidak, aku akan cari Thian beng Loo hwaeshio untuk berurusan lebih jauh.”

Bagaimana siauw tong sia Kwee Siang bisa berada digunung Siaw sit san ?

Sesudah berpisah dengan Yo Ko dan Siauw Liong Lie dipuncak Hwa san, tiga tahun lamanya ia tak pernah menerima warta tentang kedua sahabat itu. Karena berkuatir, ia segera minta permisi dari kedua orang tuanya untuk pesiar keberbagai tempat, dengan tujuan mendengar berita tentang Yo Ko. la bukan terlalu ingin bertemu muka dengan kedua suami isteri itu. Ia sudah merasa puas jika bisa mendengar warta tentang sepak terjang mereka. Tapi semenjak berpisah, Yo Ko dan Siauw Liong Lie tak pernah muncul dalam dunia Kangouw. Tiada orang tahu dimana mereka menyembunyikan diri. Sesudah berkelana disebagian besar wilayah Tiong go an, dari utara keselatan, dari timur kebarat, belum pernah Kwee Siang nendengar disebut-sebutnya, nama “Sintiauw Tayhiap Yo Ko.”

“Waktu tiba dipropinsi Holam, dia ingat dulu Yo Ko pernah mengatakan bahwa ia kenal Hong thio dari, kuil Siauw Lim sie. Mengingat begitu dalam hatinya muncul harapan, kalau Thian beng SianSoe mengetahui segala sesuatu mengenai Yo Ko. la lalu mendaki Siauw sit san, tapi tak dinyana, begita tiba ia bertemu dengan kejadian mengheran kan.

Melihat dipinggang Kwee Siang tergantung sebatang pedang pendek, Hong beng dan Hoang yan jadi semakin gusar. “Tinggal kan pedangmu disini dan lekas pergi dari gunung!” bentak Hoang yang dengan mata melotot.

Mendengar perintah itu, kegusaran sinona jadi bertambah2. Ia membuka ikatan tali pedang dari pinggangnya dan sambil menggusarkannya dengan kedua tangan ia berkata seraya tertawa dingin.

“Baiklah, aku menurut perintah!”

Semenjak kecil Hongyan sudah mencucikan diri dikuil Siauw Lim sie. Selama belasan tahun, ia selalu mendengar bahwa Siauw lim sie adalah pusat dari ilmu silat dan siapapun juga, biarpun ahli silat yang berkepandaian paling tinggi, tak akan berani melewati pintu kuil dengan membawa senjata. Sekarang walaupun Kwee Siang masih belum masuk dipintu, tapi ia sudah berada dalam lingkungan Siauw lim. Dengan usianya yang masih begitu muda, apa pula ia hanya seorang wanita, dapat dimengerti jika Hong Yang tidak mempandang sebelah mata kepada Kwee Siang. Begitu ia mengangsurkan senjatanya, si pendata menafsirkan, bahwa nona itu sudah menyerah dengan ketakutan. Dengan paras muka ber seri2 sambil mengebas tangan-jubah yang menutupi kedua tangannya; ia segera menelonjorkan tangan untuk menjemput pedang Si nona.

Tapi baru saja lima jarinya menyentuh sarung pedang, lengannya bergetaran, seperti kena arus kilat. Ia merasakan semacam tenaga yang sangat besar menerobos keluar dari pedang itu dan mendorongnya dengan hebat, sehingga tak ampun lagi ia roboh terguling dan terus menggelinding kebawah tanjakan. Sesudah tergelincir belasan tombak, untuk juga ia berhasil menjemput satu pohon kecil di pinggir jalanan dan dapat menolong dirinya,
Darah Hong beng mendidih; paras mukanya merah padam. “Perempuan celaka!” bentaknya,

“Kau rupanya sudah makan nyali singa, sehingga berani unjuk keganasan di Siauw Lim sie.” Sambil mencaci, ia menghantam dengan kedua tangannya.

Melihat gerakan orang, Kwee Siang tahu, bahwa kepandaian pendeta itu banyak lebih tinggi daripada kawannya yang barusan terguling. Dengan capat ia mengangkat pedangnya yang masih berada didalam sarung dan menotok pundak Hong bang bagaikan kilat, si pendeta mengegos, sambil coba menjambret sarung pedang.

“Jangan berkelahi! Jangan berkelahi!” teriak Kak wan dengan suara bingung.

Jembretan Hong beng ternyata berhasil, tapi baru saja ia mau membetot sarung pedang, lengannya mendadak kesemutan dan ia mengeluarkan teriakan tertahan.

“Celaka!” Hampir berbaring, Kwee Siang menyapu dengan kakinya dan tubuh Hong beng tergelincir ke bawah, ia menderita lebih hebat dari pada Hong yang dan baru berhenti sesudah menggelinding duapuluh tombak lebih dengan badan dan muka berlepotan darah.

Peristiwa itu membuat sinona agak menyesal.

“Ah! Aku naik ke Siauw Lim sie untuk mendengar2 warta tentang Yo Toako,” pikirnya. “Siapa nyana, aku kebentrok dengan mereka.”

Melihat Kak wan berdiri di pinggir jalan dengan paras muka berduga, ia segera menghunus pedang dan membacok rantai yang melibat kaki pendeta itu. Biarpun bukan pedang mustika, senjata Kwee Siang bukan senjata sembarangan. Dengan berkerincingan, tiga rantai sudah putus terbacok.

“Jangan! Jangan !” si pendeta coba mencegah.

“Mengapa jangan ?” tanyanya. Ia mengawasi Hong beng dan Hong yang yang sedang berlari-lari dan berkata pula. “Dua hweshio jahat itu tentu mau melapor. Mari kita mabur. “Mana muridmu, si orang she Thio ? Kita ajak dia lari ber sama-sama.”

Kak wan meng geleng2kan kepala dan mengawasi si nona dengan sorot mata berterima kasih.

Tiba-tiba Kwee Siang mendengar suara orang dibelakangnya. “Terima kasih untuk kebaikan nona. Aku berada di sini.”

Si nona menengok dan melihat di belakang nya berdiri seorang pemuda yang berusia kurang lebih tujuh belas tahun, dengan alis tebal, mata besar dan badan tinggi besar, tapi paras mukanya masih ke-kanak-kanakkan la segera mengenali bahwa pemuda itu bukan lain dari pada Thio Koen Po, yang pernah bertemu di puncak gunung Hwa-san. Tubuh anak itu sudah banyak lebih tinggi, tapi mukanya tidak banyak berubah.

Kwee Siang girang. “Dua hwe-shio jahat itu telah menghinakan gurumu,” katanya. Mari kita kabur”

“Mereka sebenarnya tidak menghinakan Soe-hoe.” kata Koen Po.

“Tidak menghinakan”, menegas si nona. “Mereka melibatkan rantai di kaki tangan gurumu dan melarang gurumu bicara. Apa itu tidak menghina?” Kak-wan tertawa getir. Ia kembali menggelengkan kepala sambil menuding kebawah sebagai nasehat supaya Kwee Siang buru-buru kabur sendiran.

Tapi Siauw tong-sia Kwee Siang adalah manusia yang memiliki sifat-sifat kesatria. Ia yakin bahwa di kuil Siauw Lim-sie terdapat ahli-ahli silat yang tak terhitung berapa banyaknya. Tapi melihat keganjilan, ia tak bisa berpeluk tangan. Melihat Kak wan Koen Po ayal-ayalan ia jadi bingung karena kuatir keburu di cegat. “Lekas! Kalau mau bicara, boleh bicara dibawah gunung. katanya sambil menyeret tangan pak gurunya dan murid itu. Tapi baru saja ia mengeluarkan perkataan itu dari bawah tanjakan sudah muncul tujuh delapan pendeta yang masing2 bersenjata toya Cee bie koen.

“Perempuan dari mana berani mengganas di Siauw lim sie?” teriak satu antaranya.

“Soeheng jangan kurang ajar,” kata Koen Po. “la adalah …”

“Jangan menyebutkan namaku!”, memotong Kwee Siang. Ia mengerti bahwa ia sudah menerbitkan keonaran yang mungkin tak bisa dibereskan lagi dengan jalan damai.

Sebagai jago betina bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya sendiri, ia sungkan meyeret2 kedua orang tuanya. Maka itu ia lalu menambahkan dengan suara perlahan: “Mari kita kabur. Tapi kau jangan se kali menyebut nama kedua orang tuaku atau lain-lain sahabat”.

Se-konyong2, terdengar suara bentakan dan diatas gunung kembali muncul tujuh delapan pendeta.

Melihat jalanan didepan dan dibelakang sudah tercegat, Kwee Siang jadi mendongkol. “Semua gara2mu berdua yang seperti nenek2 sedikitpun tak punya semangat laki2. Bilang sekarang. Mau pergi atau tidak ?”

Koen Po berpaling kepada gurunya seraya berkata: “Soehoe inilah kebaikan budi dari Kwee Kouwnio . . . ” Sesaat itu, dibawah tanjakan kembali muncul empat pendeta yang berjubah warna kuning, Mereka tidak bersenjata, tapi selagi mendaki tanjakan, gerakan mereka gesit dan cepat luar biasa. Diam2 Kwee Siang mengakui, bahwa mereka adalah orang2 yang berkepandaian tinggi.

Sekarang sinona mengerti, bahwa ia tak kan dapat melarikan diri lagi. Ia segera ber diri tegak dengan sikap angkuh, siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan.

Begitu datang dekat, pendeta yang berjalan paling depan segera berteriak dengan suara nyaring: “Atas perintah tetua Lo-han-Tong, kau harus meninggalkan senjatamu. Sesudah itu, kau harus pergi ke Pendopo Lip swat teng dikaki gunung untuk memberi penjelasan dan mendengar keputusan kami.”

Kwee Siang tertawa dingin. “Ah! Lagak hweeshio2 Siauw Lim sie sungguh tak berbeda dengan pembesar2 negeri,” katanya dengan nada mengejek. “Bolenkah aku mendapat tahu, apa para Toa hweeshio menjadi pembesar dari kerajaan Song atau menjadi pembesar dari kaizar Mongol ?”

Pada waktu itu, daerah disebelah utara sungai Hway soei sudah jatuh kedalam tangan tentara Mongol dan Siauw sit san dengan Siauw lim sienya justeru berada diwilayah kekuasaaan Mongol.

Sampai sebegitu jauh, karena bertahun-tahun repot menyerang kota Siangyang, maka bala tentara Mongol masih belum sempat memperhatikan soal2 lain, sehingga sampai sebegitu juga, Siauw lim sie masih belum diganggu.

Mendengar perkataan Kwee Siang yang sangat tajam, paras muka pendeta itu lantas saja berubah merah. Ia merasa, bahwa perkataannya memang tidak pantas, karena dengan berkata begitu, Siauw lim sie se olah-olah mau jadi hakim sendiri terhadap orang luar. Maka itu, sambil merangkap kedua tangannya, ia segera berkata pula dengan suara manis. “Ada urusan apa Lie sie coe datang berkunjung kekuil kami? Memohon kau suka meninggalkan senjata dan pergi kependopo Lip swat teng untuk sekedar minum teh dan beromong-omong.”

Kwee Siang mengeluarkan suara dihidung,

“Huh! Kau orang melarang aku masuk kekuil mu, apa dalam kuilmu terdapat mustika yang menjadi ternoda karena dilihat olehku?” katanya sambil melirik Thio Koen Po dan berkata pula dengan suara perlahan. ” Kau mau ikut tidak?”

Pemuda itu menggelengkan kepala dan moyongkan mulut kearah Kak wan, sebagai tanda, bahwa ia mau menetap disamping gurunya.

“Baiklah,” kata sinona dengan suara nyaring

“Aku tak campur lagi.” Ia mengangkat kaki dan turun ditanjakan itu.

Sijubah kuning yang pertama lantas minggir kesamping, tapi yang kedua dan yang ketiga merintang sambil mengangkat tangan mereka.

“Tunggu dulu,” kata salah seorang. “Tinggalkan dulu senjatamu.”

“Kami tak akan menahan senjata Lie sie coe dalam tempo lama,” kati si jubah kuning yang pertama. “Begitu lekas Lie coe sudah turun gunung, kami akan segera mengembalikannya. peraturan ini adalah peraturan Siauw lim sie sudah dipertahankan selama ribuan tahun, sehingga kami meminta Lie sie coe suka memaaf kannya.”

Mendengar permintaan yang sopan itu, sinona bimbang. ” Jika membantah, aku tentu mesti bertempur dan seorang diri, bagaimana bisa melawan jumlah mereka yang begitu besar?” Pikirnya. “Tapi, kalau aku meninggalkan senjata, aku seperti juga menghilangkan muka ayah, ibu, kakek ciecie, Toako dan Liong Cie cie.”

Sebelum ia mengambil keputusan, tiba2 satu bayangan kuning berkelebat, disusul dengan bentakan. “Kau bukan saja membawa senjata, tapi juga sudah melakukan orang. Semenjak dulu, belum pernah ada manusia yang berani berbuat begitu.” Hampir berbareng, lima jeriji menyambar sarung pedang Kwee Siang.

Jika dia tidak diserang, sesudah memikir masak-masak, mungkin sekali si nona akan menyerahkan senjatanya. Harus diketahui, bahwa sifat gadis itu berbeda dengan Kwee Hoe, kakaknya. Walaupun gagah, ia tidak sembrono. Melihat keadaan yang merugikan dirinya, ia bisa menahan sabar untuk kembali lagi dikemudian hari dengan membawa, bala-bantuan.
Tapi usaha si pendeta untuk merebut pedangnya, sudah meniadakan segala mungkinan perdamaian. Mana bisa ia menyerahkan senjatanya dengan begitu saja?
Ilmu Kin na Chioe hoat (ilmu menangkap menyengkeram) pendeta itu memang sangat lihay. Sekali menjambret, ia berhasil menyengkeram sarung pedang. Dalam keadaan terdesak, Kwee Siang mencekal gagang pedang dan membetotnya. “Sret!”, pedang tercabut dan mengeluarkan sinar menyilau, kan mata.

Hampir berbareng si pendeta berteriak, karena lima jarinya terpapas putus. Dalam kesakitan, ia menotok muka si nona dengan sarung pedang yang dicekal dalam tangan kanannya. Kwee Siang memapaki dan “trang!”, sarung pedang itu jadi dua potong. Pendeta itu tidak bisa menyerang lagi dan dengan paras muka pucat ia lalu melompat mundur. Kawan2nya jadi gusar bukan main, dengan serentak mereka memutar toya dan maju mengepung.

“Ah, hari ini aku pasti tak bisa meloloskan diri tanpa melukakan banyak orang,” kata Kwee Siang dalam hatinya. Sambil mencekal pedangnya erat2, ia segera menerjang dengan Lok-eng Kiam-hoat.

Lok-eng Kiam-hoat yang digubah Oey Yok Soe dari ilmu pukulan Lok-eng Cianghwat, merupakan salah satu kepandaian istimewa dari pulau Tho hoa dan tidak kalah lihapnya dari pada Giok siauw Kiam hoat. Begitu menerjang, pedang si nona menyambar2 bagaikan kilat dan dalam sekejap dua orang pendeta sudah terluka. Akan tetapi, ia berada diatas angin hanya untuk sementara waktu dan tidak lama kemudian, keadaannya mulai terjepit, karena semakin lama jumlah pengepung jadi semakin besar.

Sesudah bertempur beberapa puluh jurus, Kwee Siang hanya bisa membela diri, tanpa mampu menyerang pula. Sebenarnya dalam keadaannya yang terdesak, seperti itu para pendeta sebenarnya bisa segera merobohkannya. Akan tetapi, sebab Siauw lim sie mengutamakan belas kasihan, mereka merasa tak tega untuk melakukannya. Tujuhan mereka hanyalah untuk merebut senjata sinona dan kemudian mengusirnya dari sit san.

Tapi merebut pedang bukan pekerjaan mudah dan sesudah lewat lagi puluhan jurus, Kwee Siang masih dapat mempertahankan senjatanya. Semakin lama para pendeta itu jadi semakin heran. Mereka merasa pasti, bahwa gadis kecil ita adalah puteri atau murid seorang ahli silat kenamaan dan oleh karena nya, mereka lebih2 tidak berani melukakan nya, sebab hal itu bisa berbuntut panjang.

Maka itu, sambil mengepung, salah seorang buru2 pergi kekuil dan melaporkan kepada Boe sek Siansoe, pemimpin Loo han tong.

Tak lama kemudian, seorang pendeta tua yang bertubuh jangkung kurus mendekati gelanggang pertempuran dan lalu menonton sambil tersenyum. Dua orang pendeta segera melompat keluar dari gelanggang dan bicara bisik-bisik dengan pendeta tua itu.

Sementara itu, Kiam hoat sinona sudah kulihat.
“Hai! Kau semua benar-benar tak mangenal malu !” teriaknya. “Kau orang mengugulkan Siauw lim sie sebagai pusat pelajaran ilmu silat, tapi tak tahunya, puluhan Toa hweeshio menarik keuntungan dengan jalan mengerubuti.”

“Berhenti!” membentak sipendeta tua bukan lain dari pada Boe sek Siansoe, sambil bersenyum. Mendengar perintah itu dengan serentak semua pendeta melompat keluar dari gelanggang dan berdiri dipinggiran.

“Nona,” menegur Boe sek dengan suara sabar.

“Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama nona yang mulia. Siapa nama orang tuamu dan siapa gurumu ? Ada urusan apa nona datang berkunjung ke kuil kami ?”

“Hari ini aku sudah mengacau hebat dan jika diketahui ayah ibu dan Toakoko, mereka tentu akan mengomel,” kata Kwee Siang dalam hatinya. Memikir begitu, ia lantas saja mengeluarkan suara dihidung. “Tak mung kin aku memberitahukan namaku,” jawabnya. “Aku mendaki gunungmu karena ketarik dengan pemandangannya yang sangat indah dan sama sekali tidak mengandung maksud apapun juga. Tapi siapa nyana, Siauw lan-sie lebih angker dari pada keraton kaizar. Tak keruan-ruan, kau ingin merampas senjataku. Taysoe, aka ingin tanya. Apakah aku pernah menginjak pintu kuilmu?’ Ia berdiam sejenak sambil mengawasi Boe sek dan kemudian berkata pula. “Dulu, pada wakta Tat-Mo Couw soe menurunkan ilmu silat, kurasa tujuannya yang terutama adalah supaya para pendata memiliki tubuh yang kuat supaya dapat menjalankan tugas2 keagamaan se-baik2nya. Tapi ternyata semakin lama nama Sauw lim sie semakin terkenal, ilmu silatnya jadi semakin tinggi dan kebiasaan mengeroyoknyapun jadi semakin kesohor! Baiklah, Toa hweeshio, jika kau mau merebut juga senjataku, ambillah! Tapi, kecuali kau membinasakan aku, kejadian ini pasti akan diketahui oleh semua orang dalam Rimba persilatan.”

Mendengar perkataan sinona yang sangat tajam itu. Boe Sek tergugu. Untuk sejenak ia mengawasi si nona dengan mulut ternganga dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata.
“Aku sendiri takut kejadian ini diketahui orang, tapi dia rupanya lebih takut lagi.” kata Kwee Siang dalam hatinya. Memang juga puluhan pendeta mengerubuti seorang wanita bukan kejadian yang boleh dibuat bangga.” Ia segera melontarkan pedangnya dan bertindak untuk turun gunung.

Boe sek maju setindak sambil mengebas dengan lengan dan pedang itu lantas saja tergulung lengan jubah. Seraya mencekal senjata itu yang bernoda darah dengan kedua tangannya ia berkata: “Jika nona enggan menjawab pertanyaanku, biarlah aku mengembalikan saja senjata ini dan dengan segala kehormatan aku mengantar nona turun dari gunung ini.”

Kwee Siang tertawa. “Toa-hweeshio adalah seorang yang mengerti urusan dan boleh di buat contoh oleh pendeta2 disini.” ia memuji sambil mengulur tangan untuk menyambuti. Tapi begitu lekas jerijinya menyentuh gagang pedang, ia terkesiap.

Ternyata, dari telapakan tangan Boe-sek keluar semacam tenaga menyedot sehingga pedang itu tak dapat diangkat. Tiga kali Kwee Siang mengempos semangat dan mengerahkan Lwekang, tapi ia belum juga bisa berhasil.

“Eh. Toahweesio, kau sengaja memperlihatkan kepandaianmu, ha?” tanyanya dengan mendongkol.

Mendadak, bagaikan kilat tangannya menyambar dan mengebut jalanan darah Thian-teng-hiat dan Kie-koet-hiat di leher Boe-sek, yang jadi kaget bukan main dan buru2 melompat kebelakang.

Pada detik ia terkejut dan Lweekangnya jadi agak kendor, si nona membetot dan berhasil merebut pulang senjatanya.

“Sungguh indah Lan hoa Hoed hiat Chioe (Ilmu Bunga anggrek mengebut jalanan darah )!” memuji Boe sek. “Nona, masih pernah apakah kau dengan majikan pulau Tho hoa?”

“Majikan pulau Tho hoa?” ia menegas seraya tertawa “Dia dikenal sebagai Loo-tong sia ( si Sesat Tua dari Timur ).”

Tong sia Oey Yok Soe, pemilik Tho hoa, adalah kakek Kwee Siang. Orang tua yang adat nya aneh sering memanggil cucu perempuan nya sebagai “Siauw-tong-sia” yang lalu membalas dengan menggunakan istilah “Loo-tong-sia”. Sebaliknya dari jengkel, sang kakek jadi girang dan menerima baik panggilan si cucu nakal. begitu mendengar jawaban Kwee Siang, Boe-sek sendiri segera menarik ke simpulan bahwa sinona tak punya hubungan rapat dengan orang tua itu. Jika masih tersangkut keluarga, ia tentu tak akan mengeluarkan kata-kata yang agak kurang ajar.

Memikir begitu, hati Boe-sek jadi lebih lega.

Diwaktu masih muda, Boe-sek Siang-soe pernah menjagoi di kalangan Rimba Hijau. Maka itu, biarpun ia sudah menjadi orang beribadat puluhan tahun lamanya, sifat-sifat Jagoannya masih belum hilang. Semakin Kwee Siang menolak untuk memberitahukan nama gurunya dan asal-usulnya, semakin besar hasratnya untuk menyelidiki. la tertawa ter bahak-bahak seraya berkata. “Nona kecil mari kita main-main sedikit untuk menjajal mata si pendeta tua. Coba kita lihat, apakah dalam sepuluh jurus, aku bisa atau tidak menerka asal usul ilmu silatmu ?”

“Bagaimana jika kau tak mampu ?” tanya si nona.

Boe-sek kembali tertawa terbahak-bahak. “Jika kau bisa melayani aku dalam sepuluh jurus dan aku masih belum bisa menebak asal-usul ilmu silatmu, aku akan turut segala kemauanmu.” jawabnya.

“Dengan Tay-soe itu dulu aku pernah bertemu muka dan sekarang aku ingin meminta apa-apa untuknya,” kata Kwee siang sambil menunjuk Kak wan. “Kalau dalam sepuluh jurus kau masih belum bisa menebak siapa guruku aku minta kau suka meluluskan permohonanku untuk tidak menyukarkan Tay-soe itu lagi.

Boe-sek merasa sangat heran. Sepanjang pengetahuannya, selama sepuluh tahun mengurus kitab-kitab di Cong-keng-kok ( perpustakaan.) Kak wan belum pernah berhubungan dengan orang luar. Bagaimana ia bisa mangenal sinona? Maka itu, sambil mengawasi Kwee Siang dengan sorot mata tajam, ia berkata. “Kami belum pernah berniat untuk sengaja menyakitinya. Jika melanggar, setiap pendeta dalam kuil ini, tak perduli siapapun juga, diharuskan mendapat hukuman. Maka dari itu, adalah kurang tepat jika nona menggunakan istilah menyusahkan.”

“Hm!” kata Kwee Siang seraya tertawa dingin. “Biar apapun yang dikatakan olehmu, kau tetap seorang yang pandai putar putar omongan.”

Boe sek mengangkat kedua tangannya seraya berkata. “Baiklah. Aku luluskan permintaanmu ! Jika loohap kalah, biarlah aku mewakili Kak wan Soetee memikul tiga ribu seratus delapan pikul air. Nona kecil, hati2 aku akan segera menyerang.”

Diam2 Kwee Siang menentukan siasat.

“Pendeta ini pasti memiliki kepandaian tinggi dan jika dibiarkan ia menyerang lebih dulu, aku mesti mengeluarkan ilmu silat ayah dan ibu untuk membela diri.” pikirnya. “Paling benar aku mendului dan mengirim sepuluh serangan aneh beruntun-runtun.”

Boe sek habis mengucapkan perkataannya Kwee Siang segera menikam dengan pukulan Ban-cie cian-hong dari Lok eng Kiam hoat. Dengan pukulan itu, ujung pedang menggetar tak hentinya, sehingga musuh sukar menebak arah serangannya. Boe sek yang tahu lihaynya pukulan tersebut, tidak berani menyambut secara berhadapan dan buru2 melompat.

“Awas,sekarang kedua!” teriak si nona seraya memutar senjatanya dan lalu menikam dari bawah keatas dengan tipu Thin sin to hian (Malaikat langit jungkir balik) dari Coan cia Kiam boat.

“Thin sin to hian!” seru Bee sek.

“Belum tentu benar,” kata si nona sambil me nyengir.

Begitu mengegos, Boe sek membalik tangan kanannya dan lima jerijinya yang dipentang menyambar kearah muka Kwee Siang. Sinona terkejut karena ia sama sekali tak menduga, bahwa pendeta itu bisa mengirim serangan membalas secara begitu cepat. Dalam keadaan terdesak, ia menggonyangkan pedangnya berapa kali dan menyambut dengan Ok kian lum Louw (Anjing jahat mencepat jalan) dari Tah kauw Pang hoat (ilmu tongkat memukul anjing).

Harus diketahui, bahwa diwaktu kecil, nona Kwee bersahabat rapat dengan mendiang Louw Yoe Kak, Pangca dari Kaypang (Partai pengamis). Mereka sering makan minum ber sama2, bersenda gurau dan tempo2 atas desakan sinona , mereka berlatih. Meskipun dalam Kaypang terdapat peraturan, bahwa Tah kauw Pang hoat hanya boleh diturunkan kepada seorang pangcoe, tapi lama2 berkat pergaulannya dengan orangtua itu maka Kwee Siaug bisa berhasil untuk mencari beberapa pukulan dari ilmu silat tongkat yang luar biasa itu. Jika diingat, bahwa bekas pangcoe Oey Yong sekarang Yek lu Chi, adalah suami kakak perempuannya, maka sinona sebe narnya mempunyai kesempatan luas untuk melihat latihan-latihan Tah kauw Pang hoat. Maka itu walaupun tak mengerti intisari dari pada ilmu silat tersebut, dalam keadaan terjepit, ia masih bisa menggunakannya untuk menolong diri.

Boe sek kaget bukan main sebab pada saat lima jarinya hampir menyeatuh pergelangan tangan sinona, mendadak sehelai sinar putih berkelebat dan pedang menyambar dari arah yang sebenarnya tak mungkia dilakukan, sehingga hampir-hampir jerijinya terbabat putus. Untung juga, pada detik terakhir ia masih keburu melompat kebelakang. Tapi meskipun begitu, tak urung lengan jubahya tergores ujung pedang dan menjadi robek. Paras muka Boe sek lantas saja berubah pucat dan keringat dingin mengucur dari dahinya.

Kwee Siang berbunga hatinya. “Taysoe apa kau tahu ilmu pedang apa itu?” tanyanya sambil menyengir.

Dalam dunia memang tidak terdapat Kim-boat yang serupa itu. Sesudah mencuri Tah kauw Pang hoat, dengan otaknya yang sangat cerdas, sinona megubah pukulan Kiam hoat berdasarkan ilmu tongkat itu, sehingga dengan demikian, ia telah membuat seorang pendeta Siauw limsie yang berilmu tinggi, tak bisa menjawab pertanyaannya. “Ha! Jika aku bisa menyerang lagi dengan beberapapu kulan Tah kauw Pang hoat, pendeta tua ini pasti akan dapat dirobohkan katanya didalam hati. “Sungguh sayang, aku hanya memiliki satu pukulan yang semengga-mengganya ini.”

Sebelum sang lawan sempat bergerak, Kwee siang sudah mendului lagi dan menotol baberapa kali bagian bawah Boe sek dengan ujung pedang. Kali ini ia menyerang Leng po wie po (Leng po bertindak dengan ayunya), yaitu salah satu pukulan dari Giok lie Kiam hoat yang didapat dari Siauw Liong lie.

Sebagaimana diketahui, Giok lie Kiam hoat ilmu pedang gubahan Lim Tiauw Eng dan setiap pukulannya mempunyai gerakan Leng po wie go jadi lebih menyolok karena dilakukan oleh nona Kwee yang cantik dan ayu. Dengan perasaan kagum, para pendeta mengawasi serangan itu sambil menahan napas.

Harus dike tahui, bahwa Tat mo Kiam boat, Lo han Kiam boat dan lain2 ilmu pedang dari Siauw lim sie mengutarakan “kekerasan”, sedang Giok lie Kiam boat, yang jarang terlihat dalam Rimba Persilatan justru berbeda dengan silat Siauw lim pay. Begitu sinona meyerang dengan Leng-po we-po, seperti pendeta lainnya Boe sek pun mengawasi dengan rasa kagum dan heran. Seumur hidup, belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang yang seindah itu dan cepat2 ia meloncat ke samping dengan harapan sinona akan mengulangi serangannya.

Dalam saat, Kwae Siang kembali mengubah cara bersilatnya. la sekarang berlari ketimur dan kebarat sambil membabat berulang dengan pedangnya. Thio Koen Po yang menonton dipinggir jalan mengawasi serangansi nona dengan mata membelalak dan tiba2 ia mengeluarkan teriakan : “Ah!” Ternyata, yang digunakan Kwee Siang adalah pukulan Soe tong Pat ta (Empat menembus Delapan meyampaikan), yaitu ilmu silat yang pada tiga tahun berselang telah diturunkan oleh Yo Ko kepada Koen Po. Waktu itu Kwee Siang kebetulan dapat melihatnya dan sekarang lalu menggunakan untuk menghadapi Boe sek.

Soe thong Pat-ta yang dulu diajar Yo Ko ialah Canghoat ilmu silat tangan kosong. Dengan mengubahnya menjadi Kiam hoat (ilmu pedang), pengaruh ilmu itu jadi banyak berkurang, sehingga jika dulu Thio Koen Po berhasil mengalahkan In Kek See, sekarang Kwee Siang tidak bisa berbuat banyak terhadap Boe sek.

Dengan be-runtun2 KWee Siang sudah menyerang lima kali, tapi Boe sek masih juga belum bisa meraba asal usul ilmu silat sinona. Diwaktu muda ia malang melintang dalam dunia Kangouw dan, mempunyai pengalaman yang sangat luas. Semenjak mengetuai Lo-han tong pada belasen tahun berselang, ia telah menggunakan seluruh temponya untuk menyelidiki ilmu silat barbagai partai dau membandingkannya dengan ilmu Siauw lim-sie. Ia menggodok semua pengalamannya dan pendapatnya itu untuk menyempurnakan ilmu partainya. Maka itu, ia selalu percaya penuh bahwa dengan sekali melihat, ia sudah bisa tahu asal usul ilmu silat setiap ahli. Tapi di luar dugaan, hari ini ia “ketemu batunya”. Kakek, ayah-ibu paman2, kakak2 Kwee Siang rata2 adalah ahli2 silat nomor satu pada jaman itu. Dalam menghadapi serangan yang bermacam2 coraknya, kapandaian Boe-sek masih lebih dari cukup untuk membela diri. Tapi untuk mengetahui siapa guru sinona, ia masih belum bisa me-raba2.

“Jika aku membiarkan ia menyerang lebih dulu, jangankan dalam sepuluh jurus, sedangkan se ratus jurus sekalipun, belum tentu aku bisa menebak asal usul ilmu silatnya,” pikir Boa sek.
“‘Jalan satu2 nya adalah menyerang dengan hebat, supaya ia terpaksa mengeluarkan imu silatnya yang asli guna monolong diri” Memikir begitu cepat bagaikan kilat , ia mengepos kekiri dan menghantam dengan pukulan Song Koan koen, dengan merapatKan kedua tangannya dan sepulun jarinya ditekuk bagai kan ceker. Melihat sambaran yang sangat dahsyat, Kwee Siang tidak berani menyambut kekerasan, dengan kekerasan. Dengan membungkuk sedikit dan dengan saatu gerakan yang sangat indah dan lincah, ia berhasil meloloskan diri dari bawah kedua tangan lawan. Tipu itu adalah tipu yang pernah digunakan Eng Kouw waktu bertempur dengan Yo Ko di Ban Hoa Kok (lembah laksaan bunga).

“Bagus, sungguh bagus gerakanmu!” memuji Boe sek “sambutlah lagi satu seranganku.” Ia membuat sebuah lingkaran dengan tangan kirinya, sedang sikut kanan ditaruh didada dengan telapakan tangan menghadap keatas. Itu lah pukulan Oei eng loh kee (Burung kuning hinggap dicagak) dari Siauw lim koen. Sebagai seorang tetua Siauw lim sie, biarpun paham dengan ilmu silat berbagai partai, tapi dalam setiap pertempuran, ia selalu harus menggunakan ilmu partai sendiri yang paling asli.

Kwee Siang kaget sebab begitu lekas Boe sek membuat lingkaran ditengah udara ia lantas saja merasakan tindihan semacam tenaga yang sangat kuat. Buru2 membalik pedang dan dengan gagang pedang, ia menotok jalanan darah Wan-koet-hiat, Yang kok hiat dan Yang loo hiat di pergelangan tangan si pendeta. Ilmu molok itu adalah It yang cie yang ia belajar dari Boe Sioe Boen. Sebenarnya pelajarannya masih sangat cetek dan belum bisa digunakan untuk melukakan musuh. Tapi gerakan menotok tiga jalanan darah itu adalah salah satu pukulan yang paling lihay dari It yang cie. Maka itu, begitu melihat gerakan tangan si nona, Boe sek kaget tak kepalang dan cepat2 ia menarik pulang serangannya. Andaikata ia menyerang terus dan tertotok pergelangan tangannya, ia pasti tak akan terluka, sebab totokan itu tidak di sertai dengan Lwekang It yang cie yg disegani orang. Tapi sebagai orang yang berpengalaman, Boe sek sungkan mempertaruhkan nama besarnya dalam satu pukulan itu.

Kwee Siang tertawa nyaring. “Toahweeshie kau ternyata mengenal ilmuku yang sangat lihay,” katanya seraya menyengir.

Boe sek tidak menyambut, ia hanya mangeluarkan suara “Hm” dan lalu menyerang dengan pukulan Tan-hong-tiauw-yang (Angin dan matahari). Dengan pukulan itu, kedua tangannya terpentang lebar dan terangkat tinggi, sehingga si nona sukar menggunakan It-yang cie lagi. Tapi Kwee Siang tak kehabisan modal. Dengan cepat ia menyilangkan kedua telapak tangannya dan balas menyerang deugan Biauw-chioe-kong-kong (Tangan yang lihay ke lihatan kosong), yaitu jurus ketujuh puluh dua dari Kong beng koen, gubahan Loo hoan tong. Cioe Pek Tong Kong beng koen adalah ilmu yang belum pernah tersiar didunia maka untuk sekian kalinya, Boe sek ter-heran2. Dengan cepat ia berkelit kesamping dan hampir berbareng mengirim pukulan Pi na hoa cit seng (Tujuh bintang). Bagaikan arus kilat, tahu2 tangannya sudah menyentuh telapakan tangan si nona, yang jika tidak melawan dengan menggerakkan Lwekang, tulang tangannya pasti akan patah.

Kwee Siang mengerti, bahwa tangannya sudah ada dibawah kekuasaan lawan, tapi hati nya masih penasaran. Jangan kegirangan dulu kau! Belum tentu bisa mematah tulang tanganku,” katanya didalam hati. Ia segera mengempos semangat melawan tenaga si pendeta dengan Cat-po-san-chioe ( Kipas-besi ) . llmu ini yang merupakan ilmu simpanan dari Tiat-Ciang-kang (ilmu tangan besi) adalah satu ilmu “keras” yang paling ditakuti dalam Rimba Persilatan.

Sebagai seorang ahli, Boe sek tentu saja mangenal ilmu itu dan jantungnya memukul keras. Ia jadi serba salah. Jika ia menggunakan kekerasaan sinona bisa terluka berat dan ia sama sekali tidak bermaksud until mencelakai gadis itu. Disamping itu untuk berterus terang, ia memang merasa agak segan terhadap Tiat-ciang-kang. Sesudah memikir sejenak, ia segera menarik pulang tangannya.

Sekali lagi, si nakal tertawa nyaring. ” Awas! Pukulan yang ke sepuluh. Apa kau masih belum bisa menebak partaiku ?” teriaknya. Sambil berteriak begitu, ia mengebas keatas dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menyambar kejanggut Boe-sek. Tanpa merasa, semua pendeta mengeluarkan seruan tertahan, sebab pukulan itu, yang diberi nama Kouw hay hoei tauw ( Memutar kepala di laut kesengsaraan ) adalah salah situ pukulan Kin na chioe hoat ( Ilmu menangkap dan menyengkeram), dari Siauw lin pay sendiri.

Tapi Kouw hay hoei tauw agak berlainan dengan Kim na chioe hoat lain cabang, karena biasanya hanya di gunakan pada saat berbahaya untuk menolong jiwa. Dengan pukulan itu, tangan kiri sipenyerang menolak kepala musuh, sedang tangan kanan menyambar leher, sehingga jika berhasil, leher musuh bisa patah, setidaknya terluka berat.

Melihat sinakal berani menggunakan pukulan tersebut dihadapannya, seolah seorang sasterawan mengugulkan diri dihadapan Nabi Khong Coe. Boe sek jadi geli dalam hatinya. Selama puluhan tahun, ia sudah melatih pukulan tersebut sehingga setiap gerakanya sudah terjadi secara wajar. Secepat kilat, ia miringkan badan dan menggeser maju kakinya, sedang tangan kirinya menyambar kebawah ketiak si nona dan tangan kanannya mencekal belakang lutut Kwee Siang.

Pukulan itu yang diberi nama Sia can tiauw hay (Mengempit gunung melompati lautan) merupakan pukulan tunggal untuk memunahkan Kouw hay hoei-tauw.

Si nona kaget tak kepalang dan tahu2 ke dua kakinya sudah terangkat naik dari muka bumi. Sebenarnya dengan menggunakan sikut, ia masih bisa menyikut lawan. Tapi sebab gerakan Boe sek cepat luar biasa, sebelum sempat bergerak, ia sudah tak berdaya.Dengan demikian, putri Kwee Ceng telah dikalahkan.

Selagi kedua tangannya mencekal sinona, mendadak Boe sek terkesiap. “Celaka !” ia mengeluh. “Aku hanya memperoleh kemenangan dalam pertempuran, tapi masih belum tahu siapa gurunya dan apa nama partainya.”

Kwee Siang memberontak sekuat tenaga. “Lepaskan aku!” teriaknya. “Cring!” serupa benda jatuh dari saku sinona.

“Toahweeshio, apa benar2 kau tak mau melepaskan diriku ?” serunya dengan suara ke takutan.

Boe sek Siansoe adalah seorang berlibat yang berilmu tinggi dan yang mencintai segenap makhluk Tuhan. Maka itu, mendengar suara sinona cilik, is lantas saja tertawa ter bahak2.

“Nona kecil, loolap sudah berusia lanjut dan pantas menjadi kakekmu,” katanya seraya tersenyum. “Apa kau masih perlu merasa takut ?” Sehabis berkata begitu, dengan menggunakan tenaga yang diperhitungkan, ia melontarkan tubuh sinona kira2 dua tombak jauhnya dan kedua kaki Kwee Siang hinggap dimuka bumi tanpa kurang suatu apa.

Sebagai ksatria yang tak akan menjilat ludah sendiri. Boe sek segera manggutkan kepalanya untuk mengaku kalah. Selagi kepalanya mengangguk, tiba-tiba ia melihat serupa benda hitam diatas tanah dan benda itu adalah sepasang Lohan (pendeta yang berilmu tinggi) yang terbuat daripada besi.

“Toahweeshio, apa kau mengaku kalah ?” tanya Kwee Siang.

Boe sek mengangkat mukanya yang berseri-seri dan seraya tertawa girang, ia menjawab.

“Bagaimana aku bisa kalah dari seorang bocah cilik? Aka tahu, ayahmu adalah Tay hiap Kwee Ceng, ibumu Liehiap Oey Yong dan majikan pulau Thoa hoa adalah kakekmu. Ayahandamu memiliki kepandaian yang beraneka ragam, karena ia pernah berguru dengan Kanglam Citkoay, dengan Kioe-cie sin-kay, tokoh-tokoh Coancien pay dan lain lain partai lagi. Kwee Jie kaouwnio, kau adalah putrinya pendekar kelas satu pada jaman ini sehingga tidaklah heran, jika kau memiliki kepandaian luar biasa.”

Kwee Siang kemekmek, ia tak pernah mimpi akan mendengar jawaban begitu.

Melihat paras bingung dimuka sinakal, sambil tertawa geli Boe sek membungkuk dan menjemput dua Lo han besi itu.

“Kwee Jie kouwnio, aku si pendeta tua tak boleh mendustai seorang bocah cilik,” katanya. “Aku bernasil menebak asal usulmu karena melihat sepasang Lo Han besi ini. Apa Yo Tayhiap baik ?”

“Apa kau pernah berjumpa dengan Toako dan Liong cici?” ia balas menanya. “Aku datang kemari justru untuk mendengar-dengar tentang mereka. Kau mungkin belum tahu, bahwa toakoku dan Liong sudah merangkap menjadi suami istri.”

Boe sek mengangguk beberapa kali, “Pada beberapa tahn yang lalu, Yo Tayhiap pernah datang berkunjung kekuil kami untuk beberapa hari dan aku merasa sangat cocok dengannya,” menerangkan si tua. “Belakangan kami mendengar, bahwa ia membinasakan kaizar Mongol diluar kota Siangyang, sehingga namanya menggetarkan seluruh dunia. Waktu menerima warta itu, kami semua merasa girang bukan main. Tapi sekarang kami tak tahu, dimana ia berada. Ah. Kalau begitu ia sudah menikah. Aku berani memastikan, bahwa istrinya adalah seorang wanita yang boen boe song coan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang).”

Kwee Siang berdiri bengong dan mengawasi ketempat jauh. Ia menghela napas seraya berkata dengan suara perlahan. “Kalau begitu, kalian pun tak tahu dimana mereka berada. Siapa yang bisa memberi keterangan?”

Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula, “Sekarang baru kutahu, kau adalah Boe sek Siansu. Tak heran. Jika kau memiliki memiliki begitu tinggi. Hmm! Aku belum menghaturkan terima kasih untuk hadiah ulang tahunku. Sekarang belum terlambat. Biarlah hari ini saja aku menghaturkan banyak terima kasin kepadamu.”

Sipendeta tertawa. “Orang sering mengata kan, bahwa tanpa berkelahi tidak bisa menjadi sahabat,” katanya. “Bagi kita berdua, Kata-kata itu sungguh tepat sekali. Eh, kalau kau bertemu dengan Yo Tayhiap, kuharap kau jangan memberitahukan bahwa aku si tua telan menghina seorang wanita muda,”

Kedua mata sinona memandang puncak2 gunung yang tertutup awan, “Sampai kapan. … sampai kapan baru akan bisa bertemu dengannya” katanya.

Sebagaimana diketahui, pada waktu Kwee Siang merayakan hari ulang tahunnya yang keenam belas, Yo Ko telah mengundang jago jago Rimba persilatan untuk berkumpul di kota Siang yang, guna memberi selamat panjang umur. Pada hari itu, dengan memandang muka Yo Ko, ahli-ahli silat dari “jalanan hitam” dan “jalanan putih” telah berkumpul di Siangyang. Boe sek yang kebetulan sedang repot tak bisa datang berkunjung dan hanya mengirim seorang wakil untuk memberi selamat dan menyampaikan barang antaran, Dan barang antaran yang dikirimnya bukan lain sepasang Lo han besi itu dipasang alat alat dan jika alat2 tersebut diputar, anak2an itu segera menjalankan satu pukulan Lo han koen. Yang membuatnya adalah seorang pendeta aneh yang pada satu abad berselang pernah bertempat tinggal dikuil Siauw lim sie. Kwee Siang yang masih ke kanak2an merasa sangat ketarik dengan mainan yang selalu di bawa2nya didalam saku. Pukulan Kauw hay hoei tauw yang barusan digunakannya, sebenarnya telah didapat oleh si nona dari kedua Lo han besi itu. Tak dinyana, karena gara2 itu juga hari ini asal usulnya telah ditebak jitu oleh Boe sek Siansoe.

“Berhubung dengan peraturan yang turun tumurun, aku merasa menyesal tak bisa mengundang Kwee Jie-kouwnio datang berkunjung kekuil kami,” kata Boe sek. “Aku percaya kau tak akan jadi kecil hati.”

“Tak apa2,” kata sinona dengan masgul. “Ada yang aku hendak tanyakan.”

Sambil menunjuk Kak wan, pendeta tua itu berkata pula. “Tentang Soeteeku itu, aku akan menerangkan kepadamu perlahan2. Begini saja. “Si tua akan menemani kau turun gunung dan kita cari sebuah rumah makan, supaya aku bisa menjadi tuan rumah untuk minum beberapa cawan arak. Bagaimana pikiranmu?”

Mendengar kata2 itu, semua pendeta kaget tercampur heran. Boe sek Siansoe adalah seorang yang mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim sie. Bahwa ia sudah berlaku begitu hormat terhadap seorang gadis remaja, adalah suatu kejadian luar biasa.

“Taysoe, janganlah kau berlaku begitu sungkan,” kata sinona de ngan perasaan jengah.” Aku menyesal bahwa barusan dengan semberono aku sudah melakukan perbuatan sangat tak pantas terhadap beberapa Sueheng. Aku memohon Taysoe sudi menyampaikan maafku kepada mereka.

Biarlah kita berpisahan disini saja dan dilain hari, kita pasti akan bertemu pula.” Sehabis berkata begitu, ia segera memberi hormat, lalu memutar dapan dan mulai bertindak turun dari tanjakan itu.

“Nona kecil, mengapa kau menolak tawaranku yang diajukan dengan setulus hati?” kata Boe sek sambil tertawa. “Beberapa tahun berselang, karena sedang repot, aku tak bisa menghadiri pesta hari ulang tahunmu, sehingga sampai sekarang hatiku masih merasa tak enak. Kalau hari ini aku tidak mengatarkan kau sampai 30 li, aku seperti juga tidak mengenal peraturan untuk melayani tamu terhormat.”

Mendengar kata2 itu yang tulus iklas dan juga karena merasa senang dengan cara2 si tua yang polos, Kwee Siang segera berpaling dan berkata sambil bersenyum.”Marilah.”

Dengan berendeng pundak mereka turun dari tanjakan itu dan tak lama kemudian, tibalah mereka dipendopo Lip swat teng. Tiba2 mereka mendengar suara tindakan kaki dan waktu menengok, mereka melihat, bahwa orang yang membuntuti adalah Thio Koan Po. ” Saudara Thio,” menegur Kwee Siang.” Apakah kau juga ingin mengatarkan tamu?”

Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. “Benar!” jawabnya.

“Pada saat itulah, se-konyong2 dari jauh mereka melihat seorang pendeta bertindak keluar dari pintu kuil dan kemudian lari turun sekeras kerasnya dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Alis Boe sek berkerut. “Ada apa begitu ter-buru2 ?” tanyanya.

Begitu berhadapan dengan Boe sek, pendeta itu memberi hormat dan lalu bicara bisik2. Paras muka si tua laatas saja berubah. “Apa benar ada kejadian begitu?” teriaknya.

“Loo hong-thio (pemimpin kuil) mengudang Sioe-co (kepala bagian) untuk berdamai.” jawabnya.

Melihat paras muka Boe-sek. Kwee Siang mengerti, bahwa Siauw-lim-sie sedang menghadapi urusan sulit. Maka itu, ia lantas saja berkata: “Loo-sian-soe, dalam persahabatan yang paling penting adalah kecintaan hati. Segala adat istiadat tiada sangkut pautnya dengan persahabatan. Jika Loo-sian-soe mempunyai urusan, uruslah saja. Di lain hari, kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk makan minum sepuas hati.”

“Tak heran Yo Tay hiap begitu menghormatimu,” memuji Boe sek. “Kau benar2 seorang gagah, seorang jago betina. Aku merasa girang bisa bersahabatan dengan seorang seperti kau.”

Kwee Siang bersenyum deagan paras muka ke-merah2 an dan sesudah mereka saling memberi hormat, si pendeta tua segera kembali kekuil Siauw-lim-sie.

Sinona lalu meneruskan perjalanannya dengan dibuntuti Thio Koen Po dari belakang. Pemuda itu tak berani berjalan berendeng, ia mengikuti dalam jarak lima-enam tindak.
“Saudara Thio, mengapa mereka menghinakan gurumu ?” tanya nona Kwee sambil menengok kebelakang. “Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi, gurumu sebenarnya boleh tak usah takuti mareka.”

Koen Po mempercepat tindakannya. “Mereka bukan sengaja menghina Soehoe,” jawabnya. “Peraturan di dalam kuil selalu dipegang keras sehingga siapapun juga membuat pelanggaran, tak akan terluput dari hukuman.”

Kwee Siang jadi heran. “Gurumu adalah seorang kesatria dan dalam dunia jarang terdapat manusia yang hatinya begitu mulia,” katanya. “Kedosaan apakah yang telah di perbuatnya ?”

Pemuda itu menghela napas panjang. “Latar belakang kejadian ini sebetulnya sudah di ketahui nona,” jawabnya. “Yang menjadi gara-gara adalah kitab Leng-keh-keng.”

“Ah ! Kitab yang dicuri Siauw Siang Coe dan In Kek See ?” menegas si nona.

“Benar,” jawabnya. “Hari itu, waktu berada di puncak Hwa-san, atas petunjuk Yo Tay hiap, aku telah menggeledah badan kedua orang. Sesudah turun gunung, mereka tak kelihatan mata hidungnya lagi. Dengan apa boleh buat, Soesoe dan aku segera kembali kekuil dan melaporkan kepada Sioe co dari Kay-loet-ton. Leng keh keng adalah kitab yg di tulis oleh Tatmo Couwsoe sendiri dan merupakan salah sebuah barang berharga dalam Siauw-lim-sie. Maka itu dapatlah dimengerti, jika Soehoe tak bisa terlolos dari hukuman.

“Gurumu dihukum tak boleh bicara ?” tanya pula si nona.

“Ya, menurut peraturan yang sudah turun temurun,” sahutnya. Menurut peraturan itu, seorang yang dihukum harus memikul air dengan kaki tangan dilibat rantai dan tak boleh bicara”.

“Menurut katanya para tetua hukuman memikul air malahan ada baiknya untuk yang terhukum. Dengan membungkam, ia mendapat kemajuan dalam latihan rokhani dan dengan memikul air tangannya akan bertambah besar.”

Si nona tertawa geli. “Kalau begitu, gurumu sebetulnya bukan menjalani hukuman, tapi sedang melatih badan.” katanya. “Ah ! Memang aku yang terlalu rewel dan suka mencampuri urusan orang lain.”

“Bukan, bukan begitu,” kata Koen Po dengan cepat, “Untuk kebaikan nona, Soehoe merasa sangat berterima kasih dan tak akan melupakannya.”

Kwee Siang menghela nafas. “Lain orang sudah melupakan aku sama sekali,” katanya didalam hati.

Sesaat itu, tiba2 terdengar suara bunyi keledai yang sedang makan rumput didalam hutan. “Saudara Thio, tak usah kaum engantar lebih jauh lagi.” katanya sambil bersiul dan tunggangannya segera menghampiri.

Koen Po mengawasi dengan sorot mata duka. Ia kelihatannya merasa berat untuk berpisahan, tapi ia tak mengeluarkan sepatah kata,

Kwee Siang yang dapat membaca jalan pikiraannya, segera merogoh saku dan mengeluarkan sepasang Lo han besi. “Kau ambilah ini” katanya seraya mengangsurkannya.

Koen Po terkejut, ia tak berani menyambutinya. “Ini . ini . .” katanya ter-putus2.

“Aku berikan ini kepadamu,” kata si nona , “Kau ambil lah.”

Pemuda itn tergugu: “Aku . . aku ..”

SiNona segera memasukkan sepasang han besi itu kedalam saku Koen Po dan kemudian melompat naik keatas punggung keledai.

Tapi, sebelum ia berangkat, diatas tanjakan se konyong2 terdengar teriak: “Kwee
Jie-bouwnio! Tahan!” Si nona menengok dan melihat Boe Sek Siansoe sedang mendatangi dengan ber-lari2.

“Pendeta tua itu ternyata kukuh sekali,” pikirnya. “Perlu apa ia mengatarkan aku?”

Begitu berhadapan dengan sinona, Boe Sek segera berkata pada Koen Po: “Lekas kau kembali kekuil. Kau tak boleh berkeliaran lagi digunung ini.”

Pemuda itu mengangguk sambil melirik sinona, ia segera mendaki tanjakan.

Sesudah Koen Po berada jauh. Boe sek segera mengeluarkan selembar kertas dari dalam lengan jubahnya dan berkata: “Kwee Jie-kauw nio, apa kau kenal tulisan siapa ini ?”

Sinona menyambuti dan membaca dua baris huruf yang tertulis diatasnya. “Sepuluh hari kemudian, Koen-leon Sam seng (Tiga nabi gunung Koen-loen san) akan datang berkunjung ke Siauw lim-sie untuk meminta pelajaran,”

“Siapa Koen loen Sam seng ?” tanya sinona “Suaranya sombong sekali!”

“Kalau begitu nona pun tak mengenal mereka katanya.” Situa berdiri bengong. “Urusan ini benar benar mengherankan,” katanya dengan suara perlahan.

“Mengapa mengherankan ?” tanya Kwee Siang.

“Biarpun baru pernah bertemu, aku menganggap nona sebagai seorang sahabat lama dan aku bersedia untuk menerangkan se-jelas2nya kata Boe-sek. “Apa nona tahu dari mana datangnya kertas ini ?”

“Diantarkan oleh suruhan Koe-loen Sam-seng.” Jawabnya.
“Jika disampaikan oleh seorang suruhan, kami tentu tak menjadi heran.” kata siPendeta.
“Orang sering mengatakan, bahwa pohon yang tinggi selalu mengundang serangan angin. Dan sudah sejak lama, selama beberapa ratus tahun, Siauw lim sie dikenal sebagai sumber pelajaran ilmu silat dan oleh karena demikian, banyak sekali ahli silat datang berkunjung untuk menjajal kepandaian kami. Hal ini adalah hal yang lumrah. Dipihak kami, setiap kali orang menantang, kami selalu coba membujuknya, supaya ia membatalkan niatan itu. Sedapat mungkin, kami coba mengelakkan pertandingan. Kami sungkan merebut kemenangan. Orang2 yang masih suka berkelahi, mana boleh jadi murid Budha

“Benar, perkataan Taysoe benar sekali,” ka ta sinona sambil mengangguk.

Akan tetapi, pada umumnya, seorang ahli silat yang datang berkunjung, masih penasaran jika belum memperlihatkan kepandaiannya,” kata pula Boe sek. “Maka itu, dalam kuil kami dibentuk bagian Lo han tong yang bertugas untuk melayani para tamu itu.”

Sinona tertawa-tawa geli. “Aha ! Kalau begitu Taysoe bertugas sebagai tukang berkelahi,” katanya.
Situa tertawa getir. “Sebagian besar ahli ahli silat yang datang kemari dapat dilayani oleh para murid dan aku tak usah turun tangan sendiri,” katanya. “Tapi hari ini karena melihat gerakan2 nona yang luar biasa, aku terpaksa turun tangan sendiri.”

“Terima kasih banyak2 atas pujian Toahweeshio,” kata sinona sambil membungkuk dan tertawa manis.

“Ah, aku sudah melantur kelain tempat,” kata Boe sek. “Sekarang kita kembali pada surat tantangan itu. Untuk bicara sejujurnya kertas ini diambil dari dalam tangan patung Hang-liong Lo-han yang terdapat didalam kamar Lo-han-tong.”

“E eh! Siapa yang menaruhnya?” tanya si nona.

Sipendeta meng garuk2 kepala. “Kami tak tahu, inilah justru yang mengherankan,” jawabnya. “Dalam Siauw lim-sie terdapat ratusan pendeta, sehingga seorang luar tak mungkin menyelinap masuk, tanpa diketahui. Apa pula kamar Lo han tong siang malam dijaga oleh delapan murid dengan bergantian. Barusan, mendadak saja seorang murid melihat kertas itu didalam tangan Hang liong Lo han dan ia segera melaporkan kepada Loo-hong-thio. Semua orang jadi heran tak habisnya dan mereka lalu memanggil aku untuk diajak berdamai.”

Mendengar sampai disitu, Kwee Siang lantas saja dapat menebak jalan pikiran sipendeta. “Bukankah kau merasa curiga terhadapku?” tanyanya. “Kalian menganggap, bahwa aku mempunyai hubungan dengan manusia2 yang menamakan dirinya sebagal Koen-loen Sam-seng. Aku mengacau diluar dal mereka diam2 masuk ke Lo han-tong untuk menaruh surat itu. Bukankah begitu dugaanmu?”

“Aku sendiri tidak, hatiku bebas dari segala prasangka,” sahutnya. “Tapi nona tentu bisa mengerti, jika Loo-hong-thio dan Boe siang Soe-heng agak curiga. Secara kebetulan, surat itu muncul pada waktu nona mau berangkat.”

“Sekali lagi aku memastikan, bahwa aku tidak mengenal tiga manusia itu,” kata Kwee Siang.

“Toa-hweeshio, apa yang mesti ditakuti? Jika mereka benar2 berani menyateroni, iringlah segala kemauannya.”

“Takut kami tentu tak takut,” kata situa. “Jika nona tidak bersangkut paut dengan mereka, aku boleh tak usah berkuatir lagi.”

Kwee Siang mengerti, bahwa maksud si pendeta tua adalah baik sekali. Boe sek rupanya menyangka tiga orang itu ada berhubungan dengan dirinya, sehingga jika sampai bergerak ketiga orang itu sampai terluka, si pendeta akan merasa tak enak hati terhadapnya. Maka itu, ia lantas saja berkata. “Toa hweesio, jika mereka datang baik2 dan bicara baik2, kau boleh menyambutnya secara baik2 pula. Tapi kalau mereka kurang ajar, hajarlah, supaya mereka tahu lihaynya Siauw lim-sie. Dilihat dari suratnya, mereka kelihatannya sombong luar biasa.”

Bicara sampai di situ, dalam otaknya mendadak berkelebat serupa pikiran dan ia lalu berkata pula: “Toa, hweeshio, apa tak mungkin didalam kuil terdapat konconya yang diam2 sudah menaruh kertas itu ditangan Hang liong Lo han?”

“Kemungkinan ini sudah direnungkan oleh kami,” sahutnya. “Tapi rasanya tak mungkin terjadi. Tinggi tangan Hang liong Lo han da ri lantai ada tiga tombak lebih dan murid yang membersihkannya, selalu harus menggunakan tangga. Orang yang memiliki ilmu mengentengkan badan sangat tinggi, belum tentu bisa mencapainya. Andaikata benar ada pengkhianat, dia pasti tak mempunyai ilmu yang begitu tinggi.”

Penuturan yang sangat manarik itu sudah nembangkitkan rasa kepengin tahu dalam hati Kwee Siang. Ia kepingin tahu, bagaimana macamnya Koen loen Sam Seng dan kepingin tahu pula bagaimana kesudahan pertemuan itu. Hanya sayang, tak mungkin ia menyaksikan itu semua dengan mata sendiri, karena Siauw lim-sie tak bisa menerima tamu wanita.

Melihat sinona ter-menung2. Boe sek menduga, bahwa nona itu sedang memikiri daya upaya untuk mengelakkan ancaman bahaya. Maka dari itu, sambil tersenyum ia berkata. “Kwee Jie kouwnio, selama ribuan tahun Siauw-lim-sie telah mengalami banyak gelombang dan taufan, tapi begitu jauh, belum pernah dirusak orang. Jika Koen loen Sam sang sungkan di ajak berunding, kamipun tak akan mengorbankan keangkeran Siauw lim sie dengan begitu saja. Kwee Jie kouwnio, setengah bulan kemudian, kau boleh men-dengar2, apa Koen loen Sam seng sudah berhasil menghancurkan kuil kami” Waktu mengucapkan kata2 yang paling akhir, muncullah kembali keangkeran Boe sek di jaman muda, suaranya nyaring dan berpengaruh, sedang kedua matanya ber-kilat2.

“Toa hweeshio, jangan kau gampang2 naik darah,” kata sinona sambil tertawa geli. “Cara2 yang berangasan tak sesuai dengan kedudukanmu sebagai murid Sang Buddha. Baiklah setengah bulan lagi, aku menunggu warta menggirangkan.” Sehabis berkata begitu, ia mengedut les keledai dan lalu mulai turun gunung. Diam2 ia mengambil keputusan, bahwa sepuluh hari kemudian ia akan kembali untuk menonton keramaian.

Sambil jalankan keledai perlahan2, rupa2 pikiran ber-kelebat2 dalam otak si nona. “Mungkin sekali Koen loen Sam seng tak mem punyai kepandaian berarti, sehingga aku tak bakal menyaksikan keramaian, yang menarik nati,” pikirnya. “Ah jika di antara mereka terdapat orang2 yang memiliki kepandaian kira2 seperti kakek, ayah, ibu atau Yo Toa koo, peritiwa Sam seng mengacau Siauw lim sie barulah sedap ditonton.”

Mengingat Yo Ko, hatinya lantas saji berduka. Selama tiga tanun, ia telah menjelajahi berbagai tempat, tapi selalu menubruk angin. Ciong lim -san Kuburan Mayat Hidup sunyi-senyap, dilembah Ban hoa kok hanya terdapat rontokan laksaan bunga, Coat ceng kok hanya penuh dengan tampukan puing, sedang di Hong leng touw pun, ia tidak bisa menemukan tapak2 Yo Ko dan Siauw Long Lie. Ia menghela napas ber-ulang2 dan berkata dalam hatinya. “Andaikata, kubisa bertemu dengan dia nya, apa artinya pertemuan itu ? Bukan kah akan hanya menambah luka yang pedas perih ? Bukankah hanya menyingkirnya dia ke tempat jauh banyak baiknya untuk diriku ? Hai ! Terang2an kutahu, bahwa apa yang kupikir adalah bayangan bunga di kaca atau bayangan rembulan di muka air. Tapi. . . aku tak berkuasa untuk menindas dorongan hati . .untuk menindih keinginan mencari dia.”

Sambil melamun, la membiarkan keledainya jalan sejalan-jalannya. Diwaktu lohor ia sudah terpisah agak jauh dari Siau sit san, Disepanjang jalan, ia menikmati pemandangan yang sangat indah dan dari jauh ia memandang puncak timur dari Siauw sit san yang menjulang kelangit. Mendadak, dari antara pohon-pohon siong yang sudah ribuan tahun tuanya, lapat-lapat terdengar suara khim. “Si apa yang menaruh khim ditengah gunung yang sunyi ini ?” tanyanya didalam hati. Karena kepingin tahu, ia melompat turun dari keledainya dan berjalan kearah suara tetabuhan itu,

Sesudah datang lebih dekat, ia mendapat kenyataan, bahwa suara khim itu diiringi dengan suara lain, seperti semacam nyanyian.

Semenjak kecil, di bawah pimpinan ibunya Kwee Siang telah mempelajari berbagai ilmu sehingga, walaupun tidak terlalu mendalam, ia mengenali baik ilmu menabuh khim, ilmu main tiokie ( catur Tioaghoa ) , Unit surat dan melukis yang umumnya di miliki oleh orang2 terpelajar pada jaman itu, di tambah dengan otaknya yang sangat cerdas, ia tak usah kalah dari orang2 biasa dan malahan ia masih sanggup menimpali kakeknya dalam ilmu musik dan melayani Coe Coe Lioe dalam ilmu surat. Sekarang mendengar suara tabuh tabuhan yang agak aneh itu, ia segera mendekati dengan indap-indap.

Dalam jarak belasan tombak, barulah terang baginya, bahwa suara khim itu diiringi oleh suara ratusan burung. Dengan rasa heran, ia lalu mengintip dari belakang satu pohon besar dan terlihat seorang lelaki yang mengenakan baju putih sedang duduk di bawah tiga pohon siong sambil menabuh khim. Di dahan2 ketiga pohon itu terdapat ratusan ekor burung besar dan kecil yang menyanyi menurut irama tabuh2an itu. Suara khim dan bunyi burung adalah sedemikian akur sehingga didengar dari jauh, sukar sekali orang dapat membedakan, yang mana suara khim, yang mana suara burung.

Kwee Siang terpesona dan dengan hati ber debar2, ia mendengari musik luar biasa itu, yang semakin lama jadi semakin keras. Tiba2 di sebuah kejauhan terdengar ramai suara gerakan sayap burung yang mendatangi dengan cepat sekali dan di lain saat ratusan burung gereja tiba di situ, sebagaian segera hinggap di cabang2, sebagian pula terbang ber-putar2. Tiba-tiba Kwee Siang ingat suatu hal. “Ah” katanya di dalam hati. “Apakah lagu ini bukan lagu Pek niauw hong (

Ratusan burung menghadap kepada burung Hong) yang sudah tak dikenal lagi dalam dunia ? Menurut katanya kakek, dalam lagu tersebut suara khim menyerupai bunyi burung Hong yang bisa menyebabkan kedatangan ratusan burung. Tapi, apa benar dalam dunia terdapat ilmu memetik khim yang begitu tinggi?”

Berapa lama kemudian, suara itu berubahlah perlahan, kawanan burung mulai meninggalkan dahan2 dan lalu terbang berputaran diatas pohon. Mendadak terdengar suara “ting” dan orang ita berhenti memetik alat musiknya. Setelah terbang memutar beberapa kali lagi, ratusan burung itupun turut bubar.

Orang itu dongak dan sesudah menghela napas, dari mulutnya terdengar nyanyian seperti berikut.

Mengapa siang hari begitu cepat saatnya
Ratusan tahun lewat dalam sekejap mata
Langit yang luas tiada batasnya.
Takdir mendurita tak bisa dibantah.
Lihatlah rambut si Niekauw suci.
Sebagian sudah seperti salju yang putih.
Thian kong bertemu dengan Gioklie
Tertawa ter-bahak2 laksana kali.
Aku ingin mengeluarkan kereta.
Dan mendorongnya pulang kekampung halaman.
Pak tauw menuang air kata2.
Dan mengajak semua orang minum secawan.
Kekayaan dan, kemewahan tak jadi idam-idaman.
Yang diharapkan ialah awet muda sepanjang jaman.

Suara orang itu sedih sekali, seperti juga ia merasakan, bahwa penghidupan manusia dalam dunia ini diliputi dengan kesengsaraan yang tidak habis2nya. Kwee Siang jadi turut merasa terharu, tanpa merasa dua butir air mata mengalir turun kedua pipinya. Ia mendongak seraya berkata.

“Memutar pedang!
Mengangkat alis!
Air bening, batu putih, mengapa bersimpang siur?
Manusia hidup tanpa sahabat sejati.
Hidup ribuan tahun, tiada berarti.”

Tiba2 dari bawah khim, orang itu menghunus sebatang pedang bersinar hijau. “Aha Kalau begitu, dia seorang Boe boe coan cay (pandai ilmu surat dan ilmu perang)” pikir si nona. “Coba kulihat ilmu silatnya.

Perlahan2 orang itu berjalan kesebidang tanah lapang. Tapi sebaliknya dia bersiasat, ia menggores tanah dengan pedangnya, segaris demi segaris.

“E eh? Kiam hoat apa itu?” tanya sinona dalam hatinya. “Benar2 dia manusia aneh.”

Orang itu terus memcuat garisan2 melintang, sesudah menggores sembilan belas kali ia berhenti dan lain mulai membuat garisan2 membujur, yang jaraknya

bersamaan satu sama lain, yaitu kurang lebih satu kaki. Seperti juga garisan melintang, ia membuat sembilanbelas garisan membujur.

Dengan menuruti caranya orang itu, Kwee Siang meng-garis2 tanah dengan telunjuknya. “Wah! Kurang ajar!” katanya didalam hati, “Papan Wie-kie !” ( Wie kie semacam catur yang menggunakan biji putih dan biji hitam).

Sesudah selesai, dengan ujung pedang ia membuat bundaran disudut kiri atas dan sudut kanan papan catur itu. Kemudian ia membuat tanda silang, juga disudut kiri atas dan sudut kanan bawah.

Kwee Siang yang mengintip dari sebelah kejauhan, mengerti, bahwa orang itu sedang mengatur biji Wie kie, tanda bundar mewakili biji putih, tanda silang merupakan biji hitam.

Orang itu lalu mulai jalankan biji2nya. Sesudah jalan enambelas biji, ia kelihatan bersangsi. Apakah biji putih harus bergulat terus atau mengambil sikap membela diri disepanjang pinggiran papan? la menancap pedangnya ditanah dan mengawasi papan dengan berpikir keras.

“Dilihat begini, dia seorang yang hidup kesepian,” pikir sinona: “Ia memetik khim sendirian dan berkawan dengan burung.” Ia tak punya kawan untuk main Wie

kie dan harus main seorang diri”

Sesudah memikir beberapa saat, orang itu lalu mulai jalankan lagi biji2 Wie kie. Ternyata, biji putih sungkan mengalah dan sa tu pertempuran hebat lantas saja terjadi disudut kiri atas. Putih dan hitam lantas ber gerak2 dan saling makan dengan serunya sama2 coba merebut kedudukan Tionggoan (tengah2). Tapi, biar bagaimanapun, karena memang sudah kalah setingkat, biji putih terus berada dibawah angin. Sesudah jalan 93 kali, biji putih sudah terjepit, tapi masih ber gulat terus sedapat mungkin.

Si nona menonton pertempuran itu dengan hati berdebar. Tiba2 tanpa merasa ia berteriak. “Mengapa tak mau meninggalkan Tiong goan dan mundur ke See ek (sebelah barat)”

Orang itu terkejut. Ia melihat bahwa bagian barat papan catur itu memang terdapat sebidang tanah yang kosong, dan jika biji putih menerjang kesitu, masih bisa dipertahankan keadaan seri.”

“Bagus ! Bagus!” serunya dan lalu menjalankan biji putih kejurusan barat. Sesudah jalan beberapa kali, barulah ia ingat kepa da orang yang memberi tunjuk. Ia melemparkan pedangnya diatas tanah dan memutar tubuh. “Orang yang berilmu siapakah yang memberi pelajaran ?” teriaknya. “Aku sungguh merasa berterima kasih.”

Sehabis berkata begitu ia mengoya kearah Kwee Siang.

Si nona mendapat kenyataan, bahwa orang itu, yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bermuka lonjong panjang dan bermata dalam, sedang badannya jangkung kurus. Sebagai seorang jago betina yang tak menghiraukan perbedaan antara lelaki dan perempuan, perlahan-lahan Kwee Siang berjalan keluar dari tempat sembunyinya dan berkata seraya tertawa. “Barusan aku merasa kagun waktu mendengar Sian-seng memetik khim dengan diiring nyanyian dari ratusan burung. Sesudah itu, dengan tak kurang rasa kagumku, kumelihat Sianseng membuat papan Wie kia dengan menggaris tanah dan main Wie xie dengan menggunakan pedang, Karena itu, aku jadi banyak mulut dan aku harap Sianseng sudi memaafkan.”

Mendengar perkataan sinona, orang itu kelihatan girang sekali. “Dari kata2mu. nona ternyata mahir dalam ilmu memetik khim,” katanya sambil bersenyum. “Jika sudi, aku memohon nona suka perdengarkan satu dua lagu.”

“Memang benar aku pernah belajar menabuh dari ibuku, tapi jika dibandingkan dengan kepandaianmu, aku masih kalah jauh sekali,” kata sinona. “Tapi jika menolak terlalu keras, aku merasa tak enak hati. Biarlah aku akan mendengarkan sebuah lagu. Tapi jangan tertawa.”

“Bagaimana aku berani ?” kata orang itu sambil mengangsurkan khimnya dengan kedua tangan.

Khim itu sudah berusia tua dan enteng se kali. Sesudah mengakurkan tali2nya. Kwee Siang segera memetik lagu Kho phoa. Kepandaian sinona memang tidak seberapa tinggi dan lagu yang didengarnya tidak luar biasa. Tapi walaupun begitu, pada paras muka orang itu terlukis rasa kaget tercampur girang. Mengapa? Karena lagu Kho phoa mengenakan jitu pada apa yang dipikirnya, sehingga ia merasa amat girang dan berterima kasih ter hadap sinona. Sesudah selesai Kwee Siang menabuh, untuk beberapa saat ia masih bengong dengan mata mengawasi ketempat jauh.

Syair lagu Ko phoa diambil dari Sie keng (Kitab Syair). Itulah sebuah nyanyian dari seorang Tay soa, seorang yang mengasingkan diri dari pergaulan umum.

Dalam syair itu dikatakan bahwa cita2 yang luhur dari seorang laki2 sejati yang berkelana sebatangkara didaerah pegunungan tidak akan berubah, biarpun pada mukanya terlihat sinar kedukaan dan didalam hatinya terdapat rasa kesepihan.

Perlahan2 si nona menaruh khim diatas tanah dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lalu barjalan pergi, akan kemudian melompat keatas punggung keledai dan meneruskan perjaanan yang tak tentu rimbanya.

Siang dan malam lewat dengan cepatnya dan dalam sekecap tibalah hari kesepuluh, yaitu hari yang dijanjikan Koen loen Sam seng untuk menyataroni Siauw lim sie. Sudah berapa hari Kwee Siang mengasah otak untuk mencari daya guna masuk kekuil Siauw lim sie, tapi ia belum juga berhasil.” Sungguh malu aku menjadi anak ibuku”, pikirnya dengan mendongkol.

“Ibuku begitu pintar, anaknya sedemikian tolol. Biarlah aku datang saja diluar kuil dan menunggu kesempatan. Mungkin sekali, selagi repot berkelahi, mereka tak sempat merintangi aku.”

Pagi itu sudah menangsal perut dengan makanan kering, ia tujukan keledainya ke Siauw lim sie. Waktu berada dalam jarak kurang lebih sepuluh li dari kuil, tiba2 ia mendengar suara kaki kuda dan dari jalanan gunung di sebelah kaki kelihatan mandatangi tiga penunggang kuda. Ketiga ekor kuda itu satu bulu dauk, satu kuning dan satu lagi putih bertubuh tinggi besar dan cepat sekali larinya. Dalam sekejap, mereka sudah melewati sinona dan menuju kearah kuil. Ketiga penunggang kuda itu rata2 berusia kira2 limapuluh tahun. Mereka mengenakan baju pendek warna hijau dan diatas pelana masing2 tergantung kantong kain yang berisi alat senjata. ” Ah! Mereka tentulah Koen loen Sam seng, ” pikir Kwee Siang. “Jika terlambat, bisa2 aku ketinggalan nonton.”

Ia segera menjepit perut keledai dengan lututnya dan menepuk leher binatang itu. Sambil berbunyi kerena, keledai itu lantas saja lari congklang. Biarpun kurus kecil, dia ternyata kuat sekali dan cepat larinya. Tak lama kemudian, dia sudah bisa menyusul dan membuntuti ketiga penunggang kuda itu.

Sekarang si nona bisa melihat lebih tegas. Penunggang kuda dauk bertubuh kate kecil, Penungggang kuda kuning berpotongan badan sedang dan penungggang kuda putih seorang jangkung kurus. Selanjutaya ia pun mendapat kenyataan, bahwa ketiga binatang itu berbulu sangat panjang sampai dikakinya sehingga berbeda sekali dengan kuda di wilayah Tiong goan.

Begitu tahu ada yang membututi, ketiga orang itu segera menggeprak tunggannya yg lantas saja kabur sekeras-kerasnya sehingga Kwee Siang lantas saja ketinggalan jauh sekali.

Sesudah me]alui dua-tiga-li, si nona belum juga melihat bayangan2 ketiga penunggang kuda itu. Biarpun kuat, tenaga keledai kecil kurus itu, sangat terbatas.

Napasnya sudah tersengal-sengal dan dia kelihatannya sudah lelah sekali. “Binatang tak punya guna!” bentak sinona. “Biasanya kau banyak lagak dan selalu mau lari cepat cepat. Tapi waktu aku justeru memerlukan tenagamu kau lantas saja keok.” Melihat tak gunanya coba menyusul lagi, ia lalu melompat turun dari punggung si kurus dan duduk mengaso di sebuah pendopo batu dipinggir jalan dan membiarkan keledai makan rumput.

Belum lama ia duduk mengaso sekonyong konyong terdengar pula suara kaki kuda dan ketiga penunggang kuda yg tadi sesudah male wati satu lembah, kelihatan mendatangi.

“Eh, mengapa mereka kembali begitu cepat?° tanyanya di dalam hati.

Setibanya dipendopo satu itu, mereka segera melomat turun dari tunggangan mereka dan lalu duduk mengaso bersama-sama si nona. Orang yang bertubuh kate kecil, bermuka merah dan yang paling menyolok adalah hidungnya yang merah mengkilap seolah olah bara.

Ia mempunyai paras yang selalu tersungging senyuman. Si tua yang bertubuh jangkung kurus, pucat sekali mukanya, di antara warna putih pias terdapat sinar

biru, seolah olah ia tak pernah kena sorotan matahari. Dengan demikian, warna kedua orang itu bertentangan satu sama lain: yang satu merah membara, yang lain pucat pias. Orang ketiga, yang badannya sedang sedang saja, tidak mempunyai ciri ciri luan biasa, kecuali mukanya yang berwarna kuning seperti orang sakitan.

Sesudah menyapu ketiga orang itu dengan matanya yang bening tajam, Kwee Siang ber senyum seraya menanya: “Samwe Loosian seng (ketiga tuan) apakah kalian barusan mengunjungi Siauw lim sie? Mengapa, baru naik kalian sudah turun kembali?”

Si muka pucat melirik seperti orang kekhi tapi si muka merah tertawa dan balas menanya dengan suara manis. “Bagaimana nona tahu, kami pergi ke Siauw lim-sie
?”

“Kalau bukan ke kuil kemana lagi?” kata Kwee Siang.

Si muka merah mengangguk. “Benar,” katanya. “Kemana nona sendiri mau pergi?”

“Kalian pergi ke Siauw Lim sie, akupun mau kesitu,” jawabnya.

Tiba2 simuka pucat menyelak:” Siauw lim sie tak pernah mempermisikan orang perempuan masuk kedalam kuil dan juga tak pernah mempermisikan masuknya orang yang membawa senjata.”

Ia bicara dengan suara sombong, tanpa melirik kepada si nona.

Kwee Siang jadi mendongkol. “Tapi mengapa kalian sendiri membawa senjata?” tanyanya. “Bukankah dalam kantong dicelana, berisi senjata ?”

“Bagaimana kau bisa dibandingkan dengan kami,” kata simuka pucat dengan suara tawar.

“Sombong sungguh! Siapa sebenarnya kalian?” tanya sinona dengan suara yang sama tawarnya. “Apa Koen loen Sam seng sudah bertempur dengan pendeta2 Siauw 1im sie?” “Bagaimana kesudahannya ?”

Mendengar kata2 Koen loen Sam sang,” ketiga Orang itu jadi kaget bukan main dan paras muka mereka lantas saja berubah.

“Nona kecil,” kata simuka merah.’”Bagaimana kau tahu hal Koen loen Sam seng ?’

“Tentu saja kutahu,” jawabnya.

Mendadak simuka pucat maju setindak dan membentak: “She apa kau ? Siapa gurumu Ada urusan apa kau datang kesini ?’

“Bukan urusanmu,” sinona balas membentak.

Simuka pucat yang sangat berangasan dan yang selama puluhan tahun selalu dihormati orang, lantas saja meluap darahnya. la segera mengangkat tangan untuk menggaplok si jelita yang dianggap sangat kurang ajar. Tapi sebelum tangannya melayang, tiba2 ia ingat kedudukannya yang sangat tinggi. la insyaf bahwa adalah sangat tidak pantas, jika sebagai seorang tua, ia menghina seorang muda, lebih2 seorang wanita. Mengingat begitu, ia mengurungkan niatnya untuk menggampar muka, tapi tangannya menyambar terus kepinggang sinona dan tiba2 pedang Kwee Siang bersama sarungnya sudah pindah tangan! Kecepatan orang tua itu, sungguh sukar dilukiskan.

Selama berkelana dalam dunia Kangouw kejadian getir itu belum pernah dialami oleh nona. Kepandaian yang dimilikinya memang belum cukup untuk malang melintang dengan leluasa. Akan tetapi, jago2 Rimba Persilatan sebagian besar tahu, bahwa ia adalah puteri Kwee Ceng, sedang pentolan2 dalam kalangan tersesat juga banyak sekali mengenalnya karena atas undangan Yo Ko, mereka pernah datang di Siang yang untuk memberi selamat panjang umur kepadanya. Maka itu semua orang berlaku sungkan terhadap si nona, jika tidak memandang muka Kwee Ceng, memandang Yo Ko. Di samping itu si nona mempunyai paras yang cantik dan adat yang polos terbuka. Ia tidak pernah bersikap sombong dan memandang siapapun juga sebagai sesama manusia. Bukan jarang ia mengajak buaya2 kecil minum arak ber-sama2. Dengan demikian, biarpun dunia Kang ouw penuh dengan duri dan bahaya, sebegitu jauh ia berkelana dengan tak kurang suatu apa. Belumm pernah ada
orang yang berani mengnina padanya.

Ia kemekmek waktu mendapat kenyataan bahwa pedangnya telah dirampas si tua. Ia angin coba merebut kembali, tapi ia tahu ke pandaiannya masih kalah terlalu jauh. Tapi kalau menyudahi saja, hatinya sangat penasaran.

Sementara itu, sambil megang pedang orang dalam tangan kirinya, si muka pucat berkata dengan suara dingin: “Aku akan menyimpan pedangmu ini untuk sementara waktu. Bahwa kau sudah berani berlaku begitu karang ajar terhadapku, adakah karena seorang tua dan gurumu kurang mengajarmu. Beritahukanlah, supaya mereka datang kepadaku untuk meminta pulang pedangmu ini. Dengan baik2 aku akan menasehati ayah ibu dan gurumu, supaya mereka lebih memperhatikan kau.”

Paras muka si nona lantas saja berubah merah. Si tua seolah2 memandangnya sebagai bocah nakal yang kurang ajar. Dengan gusar, ia berkata dalam hatinya.

“Bagus! Kau mencaci aku seperti juga mencaci kakek, ayah dan ibuku. Apa benar kau punya kepandaian begitu tinggi sehingga kau begitu sombong?” Sesudah dapat menenteramkan hatinya yang bergoncang keras, sambil menahan amarah ia menanya, “siapa namamu ?”

Si muka pucat mengeluarkan suara di hidung. “Apa? Kau berani menanya siapa nama ku?” bentaknya. “Kau sungguh-sungguh tak tahu adat. Kau harus mengatakan begini, Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama Loo cianpwee yang mulia ?” Mengerti ?”

“Jangan rewel!” bentaknya. “Aku merdeka untuk menggunakan kata apapun juga. Berapa harganya pedang itu? Kau seorang tua, tapi tidak menghargai usiamu yang tua. Tak malu mencuri pedang orang! Sudahlah ! Aku tak mau pedang itu” Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dari pendopo.

Se-konyong2 satu bayangan berkelebat dan simuka merah menghadang didepannya. “Seorang gadis remaja tak boleh gampang marah,” katanya saraya ber-senyum2.

“Kalau sudah menikah, apa kau boleh marah2 seperti anak kecil dihadapan mertua? Baiklah, sekarang aku memberitahukan kau. Dalam beberapa hari sesudah melalui
perjalanan berlaksa kami bertiga saudara seperguruan baru saja tiba di Tionggoan dari daerah See ek (daerah sebelum barat) . …”

“Aku sudah tahu,” memotong sinona sambil monyongkan mulutnya. Didaerah Tiong-goan memang tidak terdapat namamu bertiga.

Ketiga orang itu saling meagawasi.

“Nona, bolehkah aku mendapat tahu siapa gurumu ?” tanya si muka merah.

Sebenarnya Kwee Siang tak suka memberi tahu nama ayah dan ibunya, tapi sekarang, karena sudah jengkel, ia lantas saja menjawab: “Ayah she Kwee bernama Ceng. Sedang ibuku she Oey bernama Yong. Aku tak punya garu, hanya kedua orang tuaku yang menurun kan sedikit ilmu silat.”

Ketiga kakek itu saling mengawasi. Saaat kemudian barulah simuka pucat berkata. “Kwee Ceng? Oey Yong? Dari partai mana mereka ? Murid siapa ?”

Dengan pertanyaan itu sinona jadi gusar. Nama kedua orang tuanya tersohor dikolong langit, jangankan orang2 dari Rimba Persilatan, sedangkan rakyat jelatapun mengenal Kwee Tay hiap, seorang pendekar yang telah bantu membela kota Siang-yang.

Tapi, melihat paras sungguh2 dari ketiga orang itu, Kwee Siang segera mendapat lain ingatan. “Koen-loen-san terletak didaerah barat dan terpisah jauh dari wilayah Tionggoan” pikirnya. “Ketiga orang lihai memiliki ilmu ilmu silat yang sangat tinggi, tapi ayah dan ibu belum pernah me-nyebut2 nama mereka. Maka itu, memang mungkin sekali, mereka belum pernah mendengar nama kedua orang tuaku.” Mengingat begitu darahnya yang barusan sudah meluap, mereda kembali. “Aku sendiri she Kwee bernama Siang,” katanya pula. “Siang adalah Siang dari Siang yang. Nah sesudah memperkenalkan diri, bolehkah menanya she dan nama kalian yang mulia ?”

Si muka merah tertawa hahahihi. “Bocah perkataanmu tepat sekaii, ” katanya. “Dengan jawabanmu itu, kau menghormati orang yang lebih tua,” Sambil menunjuk si muka kuning, ia berkata pula: “Itulah Tosoeko (kakak seperguruan yang paling tua) kami. Ia she Phoa bernama Thian Keng. Aku sendiri adalah Jie soe heng (kakak kedua),aku she Phoe, namaku Thian Loo” la menuding pada si muka pucat dan melanjutkan perkataannya. “Yang itu adalaa Sam soetee( adik ketiga), she Wie, bernama Thian Bong. Kau lihat! Kami bertiga saudara seperguruan masing2 mengambil huruf “Thian (Langit) untuk nama kami.”

“Hm!” Kwee Sing mengeluarkan suara dihidung dan berdiam sejenak mengingat2 tiga nama itu. “Tapi apakah kalian sudah bertanding dengan pendeta2 Siauw lim se?

Kalau sudah, siapa yang lebih unggul?” tanyanya kemudian.

Si muka pucat Wie Thian Bong lantas saja menjadi gusar dan membentak dengan suara keras. “Eh, bagaimana kau tahu? Bahwa kami ingin menjajal ilmu dengan Siauwlim sie hanya diketahui oleh beberapa orang saja. Bagaimana kau bisa tahu? Lekas bilang! ” Seraya berteriak ia mendekati Kwee Siang dan menatap wajah si-nona dengan mata melotot.

Tentu saja Kwee Siang jadi dongkol. Jika mereka menanya baik2 mungkin sekali ia akan memberitahukan dengan segala senang hati. Tapi dengan cara yang kasar itu, ia lantas saja mengambil putusan untak menutup rahasia. “namamu bertiga sebenarnya kurang tepat. ” katanya dengan suara tawar “Mengapa tak dirubah menjadi Thian Ok (Ok berarti jahat)?”

“Apa kau kata?” bentak Thian Bong.

“Kwee Siang menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku sungguh jarang lihat manusia yang begitu galak seperti kau” katanya dengan adem.

“Sesudah merampas barangku, kau masih bersikap begitu ganas. Bukankah kau seperti juga penitisan dari binatang jahat dilangit?”

Tiba2 tenggorokan Wie Thian Bong mengeluarkan suara aneh, se olah2 menggaungnya binatang buas dan dadanya lantas saja melembung keatas, sedang rambut dan alisnya bangun serentak.

“Samtee!” kata Phoei Thian Loo simuka merah dengan cepat. “Jangan kau naik darah.”

Sanbil berkata begitu, ia menyeret tangan Kwee Siang kebelakangnya, sehingga badannya sendiri berada diantara kedau orang itu, Melihat hebatnya gerak gerik Wie Thian Bong sehingga jika ia turun tangan, pukulannya tentu hebat luarbiasa, hati si nona jadi keder juga.

Sementara itu, dengan tangannya Wie Thian Bong mencabut pedang Kwee Siang, sedang jariji tangan kirinya mementil badan pedang. “Cring!” pedang itu patah dua.

Kemudian ia memasukkan pedang buntung itu ke dalam sarungnya seraya berkata dengan suara mengejek: “Siapa yang kepingin senjata yang tak gunanya ini ?”

Bukan main kagetnya si nona. Biarpun kepandaian itu belum bisa menandingi Ian cia San thong (ilmu mementil) dari kakeknya tapi tenaga Lwee kang yang begitu dahsyat sungguh jarang terlihat dalam Rimba persilatan

Melihat perubahan pada paras muka si nona, Wie Thian Bong jadi bungah hatinya. Ia dongak dan tertawa ter-bahak2. Suara tertawa itu, yang disertai Lwee kang sangat menusuk kuping dan malahan menggoncangkan juga genteng2 di atas pendopo batu itu.

Se-konyong2, berbareng dengan suara gedbrakan, atap pendopo berlubang besar dan dari lubang itu jatuh serupa benda yang sangat besar.

Semua orang terkejut, terhitung Wie Thian Bong sendiri. Ia sama sekali tak pernah menduga, bahwa suara tertawanya biarpun di sertai Lwee kang bisa merusakkan atap pendopo batu.

Waktu orang tahu, benda apa yaag jatuh itu, rasa kaget jadi semakin besar. Ternyata yang rebah di lantai adalah seorang lelaki yang mengenakan baju putih dan kedua tangannya memeluk khim. Ia rebah disitu sambil meramkan kedua matanya, se-olah2 sedang tidur pulas.

Mendadak terdengar teriakan Kwee Siang “Aha ! Kau berada di sini ?”

Orang itu bukan lain dari pada si pria yg pandai memetik khim dan yaag telah di temui si nona pada beberapa hari berselangi.

Per-lahan2 orang ita membuka matanya. Begitu melihat Kwee Siang, ia melompat bangun seraya berkata. “Nona, aku cari kau kesegala tempat. Tak tahunya kau berada disini.”

“Perlu apa kau cari aku?” tanyanya. “Aku lupa menanya she nona yang mulia dan nama yang besar,” jawabnya.

“Apa itu she mulia nama besar?” kata Kwee Siang seraya mencebikan bibir. Aku paling sebal dengan kata2 yang banyak kembangnya.”

Orang itu kelihatan kaget, tapi di lain saat ia tertawa besar. “Benar, nona,” katanya “Memang, semakin manusia berlagak pintar semakin kosong otaknya.”

Sambil berkata begitu, ia mengawasi Wie Thian Bong dengan mata melotot dan kemudian tertawa dingin.

Kwee Siang jadi girang sekali. Ia tak nyana si baju putih seorang yang menarik.

Paras muka Wie Thian Bong yang pucat jadi lebih pucat lagi. “Siapa tuan?” tanyanya.

Ia tidak menggubris dan sambil berpaling kepada Kwee Siang, ia menanya: “Nona, siapa namamu ?”

“Aku she Kwee bernama Siang.” jawabnya

Orang itu menepuk kedua tangannya dan berseru dengan suara girang. “Ah ! Mataku benar2 kotokan tak mengenali gunung Thay san yang besar. Kalau begitu kau Kwee Toakouwnio yang namanya kesohor diseluruh jagat! Kecauli manusia-manusia tolok, siapapun juga mengenal ayahmu Kwee Ceng Kwee Tayhiap, dan ibumu, Oey Yong Oey Liehiap Dalam dunia Kangoaw, siapakah yang tidak mengenal mereka? Mereka adalah orang2 yang boen-boe-song-coan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang ), mahir menggunakan macam senjata dan sudah menyelami dasarnya berbagai ilmu silat paham dalam ilmu penabuh khim, tio kie, menulis huruf-huruf indah, melukis, bersyair, dan bersajak. Dari dulu sampai sekarang, kepandaian mereka jarang tandingan didalam dunia. Ha ha ha ! Tapi masih juga terdapat manusia-manusia yang tidak mengenal mereka!”

Kwee Siang jadi girang sekali. “Kalau begitu sudah lama dia bersembunyi diatas atap pendopo dan sudah mendengari pembicaraanku dengan ketiga orang itu.”

katanya di dalam hati, “Didengar dari perkataannya, ia pun belum mengenal kedua orang tuaku. Kalau sudah mengenal, ia tentu tak akan memanggil aku sebagai Kwee Toakouwnio (nona Kwee yang paling besar). Sungguh lucu ia mengatakan ayahku mahir dalam ilmu menabuh khim, main tio kie, menulis huruf indah dan sebagainya. Memikir begitu, seraya bersenyum ia menanya. “Siapa namamu?”

“Aku she Ho, namaku Ciok Too.” jawab nya, (Ho Ciok Too berarti Tidak cukup berharga untuk dibicarakan).

“Ho Ciok Too?” menegas si nona. “sungguh satu nama yang merendahkan diri.”

“Benar.” jawabnya. “Tapi namaku banyak lebih baik dari pada nama yang menggunakan perkataan2 sombong seperti “Langit dan bumi”. Sedikitnya namaku tidak memuakkan orang yang mendengarnya.”

Siapapun mengerti, ia sedang mengejek ketiga Soehengtee itu (saudara seperguruan yang menggunakan huruf “Thian” langit itu), maka sesudah manyaksikan cara Ho Ciok Too menjatuhkan diri dari lubang atap mereka tahu bahwa orang itu bukan sembarangan orang dan oleh karenanya, se-bisa2 mereka menahan sabar. Tapi mendengar ejekan yang paling belakang, Wie Thian Bong meluap darahnya. Dengan sekali membalik tangan la menggapelok dagu orang. Ho Ciok Too menundukkan kepalanya dan molos dari bawah bahu. Mendadak Wie Thian Bong merasa tangan kirinya kesemutan dan tahu2 pedang, Kwee-Siang yang sedang dicekalnya sudah berpindah tangan. Sebagaimana diketahui, waktu merampas pedang itu dari tangan nona Kwee, gerakannya cepat luar biasa, Dari sini dapatlah dibayangkan, bagaimana cepat gerakan Ho Ciok Too yang dengan begitu mudah sudah berhasil merampas senjata itu.

Wie Thian Bong terkesiap. Dilain detik, dengan gusar ia menerjang dan lima jerijinya yang dipentang bagaikan gaetan, menyambar pundak Ho Ciok Too. Dengan sekali mengegos Ho Ciok Too sudah berhasil menyelamatkan diri. Sementara itu, hampir berbareng Phoa Thian Keng dan Phoei Thian Loo melompat keluar dari pendopo. Dengan gergetan, Wie Thian Bong mengirim serangan2 berantai dengan kedua tangannya dan dalam sekejap, ia sudah menyerang tujuh delapan kali. Tapi lawannya tetap bersikap tenang. Kemudian diserang bagaikan hujan dan angin sedikitpun ia tidak membalas. Dengan mengengos kekiri kanan, kedepan dan kebelakang, ia kelit pukulan2 hebat itu.

Biarpun masih bersia muda dan kepandaiannya tidak seberapa tinggi, nona Kwee Siang adalah puterinya ahli2 silat nomor satu pada jaman itu dan dengan sendirinya, ia mempunyai mata yang sangat tajam. Melihat gerakan Ho Ciok Too yang begitu gesit dan lincah, ia yakin bahwa orang itu adalah barbeda dengan berbagai ilmu silat yang terdapat diwilayah Tionggoan.

Sementara itu, sesudah menyerang dua puluh jurus lebih tanpa berhasil, tiba2 Wie Thian Bong menggeram dan mengubah silatnya. Jika tadi serangan2 dikirim bagaikan kilat, sekarang gerakan-gerakannya banyak lebih perlahan, tapi disertai dengan tenaga yang sangat hebat. Sesudah ia menyerang beberapa jurus, Kwee Siang yang berada didalam pendopo, turut merasakan sambaran-sambaran pukulannya, sehingga buru-buru ia melompat keluar.

Ho Ciok Too pun lantas saja mengubah sikap. Kini ia tak berani memandang enteng lagi musuhnya. Setelah menyelipkan pedang Kwee Siang dipinggangnya, berdiri tegak dan badannya seolah-olah sebuah gunung yang kokoh teguh. “Kau menggunakan ilmu keras?” tanya Ho Ciok Too, lalu “Apa kau rasa diriku tidak mampu ?” Pada saat kedua tangan Wie Thian Bong menyambar, sambil mengerahkan Lweekang, ia memapaki dengan tangan kirinya. Karena melawan keras! “Tak!” kedua tangan beradu dengan dahsyatnya. Badan Wie Thian Bong ber-goyang2 terhuyung kebelakang dua tiga tindak, sedang kedua kaki Ho Ciok Too tetap berdiri tegak.

Wie Thian Bong yang selala menganggap bahwa Gwakangnya (ilmu luar, yaitu ilmu yang menggunakan teanga kekerasan) jarang tandingan, jadi penasaran sekali.

Sesudah menarik napas panjang, sambil membentak keras sekali lagi is menghantam dengan kedua tangannya. Ho Ciok Too pun mengeluarkan teriakan nyaring, dan satu tangannya kembali memapaki pukulan lawan. “Dak !”, kedua bau tangan beradu pula, kali ini hebat luar biasa, sehingga debu dan pasir meluruk turun dari lubang diatap pendopo. Hampir berbareng dengan bentrokan itu, tubuh Wie Thian Bong terhuyung lagi dan sesudah sempoyongan empat lima tindak, barulah ia bisa berdiri tegak.

Sesudah dikalhkan dua kali, Wie Thian Bong jadi mata merah. Rambutnya terurai, kedua matanya melotot, sehingga macamnya menakuti sekali. Dengan kedua tangan memegang perut, dia menarik napas panjang. Dilain saat, dadanya melesak kedalam, perut melembung keluar, se-akan2 sebuah tambur dan tulang2nya berkerotokan.

Dalam keadaan yang menyeramkan itu, setindak demi setindak ia mendekati lawannya.

Melihat begitu, Ho Ciok Too mengerti, bahwa lawannya akan segera menyerang dengan menggunakan seantero kepandaian dan tenaga Lwekang. Ia tak berani berayal lagi dan buru2 monyedot nafas untuk mengerahkan Lweekang.

Menurut kebiasaan, sesudah mengerahkan Lweekang yang hebat itu, dari jarak empat lima tindak, Wie Thian Bong sudah mengirim pukulan. Tapi sekarang ia tak berbuat begitu. Dengan perlahan, ia terus maju hingga berhadapan dengan lawan. Sesudah itu, barulah kedua tangannya bergerak, yang satu memukul muka, yang lain menyambar kepunggung. Tujuan kedua pukulan, itu adalah untak membuyarkan seantero Lwekang Ho Ciok Too.

Ho Ciok Too pun lantas saja menyambar dengan kedua tangannya. Tangan kiri menempel dengan tangan kiri, tangan kanan dengan tangan kanan. Tetapi didalam tangan itu, dia mengeluarkan dua tenaga yang berbeda, satu “keras” dan yang satu “lembek”. Dengan begitu tangan Wie Thian Bong yang memukul keras kepunggung seperti juga menghantam kapas, sedang tangan kanan yang menyambar kemuka se-akan2 menyentuh tembok tembaga. “Celaka !” Wie Thian Bong mongeluh. Hampir berbareng, ia merasakan dorongan tenaga yang sangat hebat dan tanpa ampun lagi badannya didorong keluar dari pendopo.

Itulah akibat keras melawan keras. Yang bertenaga lebih lemah, dialah yang celaka. Didorong dengan tenaganya sendiri yang berbalik dan ditambah dengan dorongan tenaga Ho Ciok Too, Wie Thian Bong pasti bakal muntah darah.

Pada saat yang sangat berbahaya, yaitu sedetik sebelum roboh, tiba2 Phoa Thian Keng dan Phoei Thian Loo membentak keras: “Keluarkan pukulan!” Dengan berbareng mereka mendorong kedepan dan tenaga tangan mereka merupakan semacam tembok lembek yang tidak kelihatan. Punggung Wie Thian Bong bersandar diarus tenaga itu dan ia tertolong dari luka berat didalam badan. Tapi meskipun begitu, isi perutnya mendapat goncangan hebat, tulang2nya seolah terpukul hancur dan ia merasakan kesakitan biasa disekujur badannya.

Melihat saudara seperguruannya dirobohkan secara begitu menyedihkan bukan main gusar nya Phoei Thian Loo, tapi paras mukanya masih tetap tersenyum. “Kekuatan tenaga tangan tuan sangat jarang terdapat didalam dunia,” katanya. “Aka sugguh marasa tahluk.”

Mendengar kata2 xu, Kwee Siang tertawa. Dalam hatinya. “Koen loen Sam seng tiada bedanya seperti kodok didalam sumur” pikirnya. “Mengenai tenaga tangan siapakah yang dapat menadingi ayahku dalam pukulan Hang Liong Sip pat ciang?”

Sesudah berdiam sejenak, seraya tertawa hahahihi, si-muka marah berkata pula: “Aku si tua yang tak punya kepandaian berarti, sekarang ingin meminta pengajaran dari Kiam hoat tuan”

“Phoei-heng berlaku sangat manis terhadap Kwee Kouwnio dan akupun tak mempunyai ganjelan terhadapmu,” jawabn:ya. “Aku rasa kita boleh tak usah menjajal kepandaian.”

Kwee Siang terkejut. Kalau begitu, ia menghajar Wie Thian Bong karena kurang ajar terhadapku,” katanya didalam hati.

Sementara itu, tanpa menggubris penolakan orang, Phoei Thian Loo segera menghampiri tungggangannya dan mengambil sebatang pedang panjang dari kantong senjata. “Srt!” ia menghunusnya dan paras mukanya latas saja berubah keren!. Sambil melonjorkan tangan kirinya, ia mendongakkan pedang yang dicekal dalam tanganaya. Itulah pukulan yang diberi nama Sian-jin-tit-loan (Dewa mengunjuk jalan).

Ho Ciok Too bersenyum seraya berkata “Jika Phoei-heng mau juga bertanding, biarlah aku melayani beberapa jurus dengan menggunakan pedang Kwee Kouwnio.”

Sehabis berkata begitu ia mencabut pedang buntung yang terselip dipinggangnya. Pedang itu asal nya memang pedang pendek. Panjangnya tak lebih daripada dua kaki. Sesudah dipatahkan Wie Thiang Bong, yang ketinggalan hanya tujuh delapan dim, sehingga lebih pendek daripada pisau belati biasa.

Sambil mencekal sarung pedang ditangan kirinya, tanpa menegur lagi ia segera mengirim tiga serangan kilat yang cepat luar biasa. Hanya karena senjatanya terlalu pendek, maka serangan2 itu tidak mengenakan sasarannya. Phoei Thian Loo terkesiap. “Cepat sungguh gerakannya !” pikirnya. “Kiam-hoat apa itu? Jika ia menggunakan pedang panjang, jiwaku mungkin sudah melayang”

Dilain pihak, sesudah menyerang tiga kali beruntun, Ho Ciok Too melompat kesamping dan berdiri tegak. Ia hanya mengenggos dan berkelit, waktu Phoe Tnian Loo balas menyerang. Tiba2 selagi dihujani serangan, sekali lagi ia mengirim tiga tikaman berantai, sehingga silat lawan jadi kalang kabut. Dilain saat, seperti tadi, ia meloncat lagi kesamping dan berhenti menyerang. Dipermainkan begitu rupa. Phoei Thian Lpo meluap darahnya. Sambil membentak keras ia menyerang seraya memutar pedangnya yang lantas saja me nyambar2 bagaikan kilat. Badannya yang kurus kecil se-akan2 dikurung sinar pedang yang berkelebat seperti titiran.

Semakin lama pertempuran dilakukan semakin cepat, sehingga gerakan2 kedua lawan itu sukar dapat dilihat tegas. Se-konyong2 terdengar bentakan Ho Ciok Too.

“Awas !” Hampir berbareng dengan bentakan itu, sarung pedang yang dicekal dalam tangan kirinya, menyambar. “Trang !”, sarung itu masuk diujung pedang lawan dan pedang buntung meluncur ketenggorokan Phoei Thian Loo.

Walaupun lihay, simuka merah tak bisa menangkis lagi, sebab pedangnya tak bisa bergerak. Tapi sebagai orang yang kepandaian tinggi, dalam bahaya ia tak jadi bingung. Buru2 ia melepaskan pedangnya dan sambil melenggakkan kepala, ia membuang diri dan bergulingan ditanah.

Sebelum Phoei Thian Loo melompat bangun tiba2 berkelebat satu bayangan dan tangan Phoei Thian Keng sudah mencekal gagang pedang yang barusan dilepaskan oleh Soetee nya. Dengan sekali membetot, ia sudah mencabut pedang itu dari sarung pedang buntung yang dipegang Ho Ciok Too.

“Sungguh indah gerakan itu!” puji Ho Ciok Too dan Kwee Siang hampir berbaring.

Ternyata, sikakek yang mukanya seperti orang berpenyakitan dan tidak pernah mengeluarkan sepatah kata, memiliki kepandaian yang paling tinggi diantara ketiga orang2 itu.

“Aku sungguh merasa sangat takluk akan kepandaian tuan.” kata Ho Ciok Too sambil membungkuk. Ia berpaling pada Kwee Siang dan berkata pula “Kwee Kouwnio. sesudah mendengar lagumu pada beberapa hari yang lalu, aku telah menggubah sebuah lagu baru yang aku ingin mempersembahkan kepadamu untuk dinilai.”

“Lagu apa ?” tanya sinona.

Tanpa menghiraukan tiga otang tua itu, ia lantas saja bersila diatas tanah, meletakkan khimnya dipangkuan dan lalu menyetel tali2 nya.

Melihat begitu, Phoa Thian Keng lalu mendekati dan berkata. “Tuan sudah merobohkan kedua Soeteeku dan sekaranglah aku yang ingin meminta pengajaranmu.”

Ho Ciok Too menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Tidak, sudah cukup,” katanya. “Pertandingan silat tidak menimbulkan banyak kegembiraan. Sekarang aku ingin memetik khim untuk diperdengaran kepada Kwee Kouwnio. Laguku adalah sebuah lagu baru. Jika suka, kalian boleh duduk mendengari. Kalau tidak, kalian

merdeka untuk berlalu.” Sehabis berkata begitu, jari2 nya mulai memetik tetabuhan itu.

Sesudah mendengari beberapa saat, Kwee Siang jadi kaget bercampur girang. Semenjak belajar memetik khim, belum pernah ia mendengar lagu yang begitu luar biasa. Luar biasa, karena lagu itu merupakan kombinasi dari lagu Ko-phoa yang pernah diperdengarkan olehnya dan lagu Kian kee (nama semacam rumput). Kedua lagu itu yang sebenarnya sangat berbedaan telah digubah begitu rupa sehingga merupakan sebuah lagu baru yang sangat merdu dan harmonis, Syair lagu ini antara lain berbunyi.

Siorang pertapaan.
Berkelana dipegunungan
Rumput,Kian kee hijau2.
Embun berubah menjadi salju.
Dan sidia.
Berada disatu sudut dunia

Mendengar sampai disitu, hati sinona berdebaran. “Siapa sidia ?” tanyanya dihati. “Apa dimaksudkan aua ? Mengapa suara khim itu sedemikian merdu dan mengharukan hati?” Mengingat begitu, mukanya lantas saja bersemu dadu. Ia merasa kagum bukan main, sebab dalam kombinasi itu, yang telah merupakan sebuah lagu Kian kee masih bisa mempertahankan kepribadiannya sendiri.

Phoa Thian Keng dan kedua Soeteenya, yang tidak mengerti ilmu musik, jadi mendongkol bukan main. Disamping cara2 Ho Ciok Too yang terus memetik tali2 khim tanpa memperdulikan mereka, dianggapnya sebagai suatu hinaan.

Sesudah mendengari beberapa saat, Phoa Thian Kheng tidak dapat menahan sabar lagi. Ia mendekati dan sambil menotok pundak kiri Ho Ciok To dengan ujung pedang, ia membentak. “Bangun kau ! Mari kita jajal kepandaian.”

Ho Ciok Too yang sedang memusatkan seluruh semangat kepada tetabuhannya, seolah olah tidak mendengar tantangan itu. Ia seperti juga sedang berkelana disatu pegunungan yang amat indah dan dari jauh ia melihat seorang gadis jelita yang tengah berdiri diatas sebuah pulau kecil yang dikurung air…

Tiba2 ia merasa pundak kirinya sakit dan ia tersadar. Ia dongak dan melihat Phoa Thian Kheng berdiri didekatnya sambil mencekal pedang terhunus yang barusan telah digunakan untuk menotol pundaknya. Ia mengerti, bahwa jika tidak melawan, mungkin sekali ia akan terluka secara konyol. Hanya sungguh sayang, lagunya belum selesai. Sebagai seorang seniman tulen, ia tak rela menghentikan lagunya ditengah jalan.

Maka itu, tangan kirinya segera mengulurkan pedang buntung yang lalu digunakan untuk menangkis senjata Phoa Thian Kheng, sedang tangan kanannya tetap memetik tali2 khim.

Dengan kedua mata tetap memperhatikan tetabuhannya, Ho Ciok Too menangkis setiap serangan lawan. Phoa Thian Kheng jadi semakin gusar dan menyerang tambah hebat. Tapi kemanapun juga pedangnya menyambar, Ho Ciok Toa selalu menangkis.

Kwee Siang yang sedang kesengsem juga tidak memperdulikan serangan itu. Akan tetapi ia mendongkol, sebab suara bentrokan senjata telah merusak irama. Ia membentak. “Hai ! Apa kau tuli akan merdunya lagu ini. Jangan merusak ! Cobalah kau menyerang menurut tempo tepukan tanganku”

Tapi tentu saja Phoa Thian Kheng tak meladeni. Sambil membentak keras, dengan gusar ia mengobah kiam hoatnya dan menyerang bagaikan hujan angin sehingga suara bentrok an senjata jadi semakin gencar dan irama khim jadi semakin dikacaukan.

Ho Ciok Too juga mendongkol dan seraya menambah Lweekang, ia menangkis satu tikaman. “Trang !” pedang Phoa Thian Keng patah dua. Hampir berbareng, tali kelima dari Cithian khim ( khim yang bertali tujuh ) juga putus.

Paras muka Phoa Thian Keng jadi pucat bagaikan mayat. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meloncat keluar dari pendopo batu dan kemudian, bersama kedua Soeteenya, dia melompat naik kepunggung tunggangan mereka yang segera dikaburkan keatas gunung.

Kwee Siang heran. “E eh!” katanya. “Mengapa mereka lari kearah kuil ?” Ia nengok dan melihat Ho Ciok Too sedang memegang tali Khim yang putus itu dengan paras duka. “Mengapa dia begitu jengkel ?” tanyanya di dalam hati. “”Berapakah harganya tali khim?

Ho Ciok Too menghela napas dan berkata dengan suara perlahan: “Tujuh tahun aku barlatih, tapi hatiku tetap belum bisa tenang. Tangan kiriku berhasil mematahkan senjata, tapi tangan kanan memutuskan tali khim.”

Sekarang si nona baru mengerti, bahwa ia berduka karena merasa kepandaiannya belum sempurna. Ia tertawa seraya barkata: “Dengan tangan kiri melawan musuh dan tangan kanan memetik khim, kau sebenarnya menggunakan ilmu Hoen sin Jie yong (ilmu memecah pikiran). Dalam dunia ini, hanya tiga orang yang mahir dalam ilmu itu. Bahwa kau belum mencapai taraf yang tinggi, tak usah dibuat jengkel!”

“Siapa tiga orang itu?” tanya Ho Ciok Too.

“Yang pertama adalah Loo boan thiong Cioe Pek Thiong,” jawabnya. “Yang kedua ayanku sendiri, sedang yang ketiga Yo Hoe jin, Siauw Liong Lie. Selain tiga orang itu, malahan kakekku, ibuku atau SintiauwTayhiap Yo Ko tiada yang mampu memiliki ilmu yang luar biasa itu.”

“Bolehkah kau memperkenalkan orang2 berilmu itu kepadaku ?” tanya Ho Ciok Too.

“Kalau kau mau bertemu dengan Thia thia (ayah) mudah sekali,” jawabnya. “Tapi dua orang lainnya sangat sukar dicari, karena mereka tak punya tempat kediaman yang tentu”

Ho Ciok Too berdiri bengong, seperti juga ia masih merasa sangat menyesal karena putus nya tali khim itu. Si nona tertawa seraya berkata dengan suara menghibur.”Dengan sekali gebrak. kau sudah berhasil merobohkan Koen loen Sam-seng dan hasil itu boleh dibuat bangga. Perla apa kau berduka karena hal yang remeh itu?”

Ho Ciok Too terkesiap. “Koen-loen Samseng?” ia menegas, “Apa kau kata? Bagaimana kau tahu?”

“Bukankah ketiga orang itu dikenal sebagai Koen-loen Sam sang?” tanyanya. “Kepandaian mereka mamang cukup tinggi, tapi jika mau coba2 membentur Siauw lim sie, kurasa mereka agak tahu diri . . . ” Melihat paras muka Ho Ciok Too mengunjuk perasaan heran yang semakin besar, si nona lalu menaya. “Mengapa kau kelihatannya heran?”

“Koen loan Sam seng . . . Koen loan Sam seng Ho Ciok Too . . . itulah aku sendiri!” katanya dengan suara perlahan.

Sekarang giliran Kwee Siang yang terheran heran. “Kau… kau Koen loen Sam seng?” tanyanya. ” Mana yang dua lagi?

“Koen loen Sam seng hanya satu orang,” jawabnya, “Di See ek aku telah mendapat nama walaupun bukan nama besar. Kawan2 disitu menganggap, bahwa aku memiliki

kepandaian tinggi dalam ilmu main khim, ilma pedang dan ilmu main catur, sehingga oleh karena nya, kata mereka, aku boleh dinamakan sebagai Khim seng dan Kiam seng dan Kie sang (Nabi khim, Nabi pedang dan nabi kie. Kie berarti Tio kie atau catur). Lantaran aku suka sekali berdiam digunung Koen loen san, maka mereka memberi julukan -Koen loan Sam seng- kepadaku. Tapi aku selalu merasa malu dengan istilah Seng itu. Mana bisa manusia seperti aku menamakan diri sebagai seorang nabi ? Biarpun gelaran itu diberikan oleh orang lain, tak boleh aku menerimanya dengan begitu saja. Maka itulah, aku segera mengubah namaku, Aku menggunakan nama Ho Ciok Too, yang jika disambung jadi -Koen loan Sam seng Ho Ciok Too- (Koen loen Sam seng tidak cukup berharga untuk dibicarakan). Dengan demi kian orang tidak bisa mengatakan, bahwa aku manusia sombong.”

Si nona menepuk2 tangan dan tertawa geli, “Oh, begitu?” katanya: “Mati hidup aku menduga, bahwa Koen loen Sam seng terdiri dari tiga orang. Tapi siapakah ketiga orang tua itu ?”

“Mereka adalah orang2 Siauw lim pay.” Kwee Siang terkejut. “Siauw lim pay ?” ia menegas. “Hm ! . . . . Ilmu silat mereka kurang. Yang lain cukup tinggi …

benar! Ilmu pedang sikakek muka merah memang Tat mo Kiam hoat. Tak salah! Si muka penyakitan paling belakang menyerang dengan ilmu Wie to Hok mo kiam (ilmu pedang telukan iblis), Tadi aku tidak bisa melihatinya karena dalam ilmu pedang itu terdapat banyak sekali perubahan. Tapi. . mengapa mereka mengaku baru datang dari See-ek ?”

“Ada sebabnya,” jawab Ho Ciok Too, “Pada musim semi tahun lalu, aku main khim di puncak Keng sin hong gunung Koen loen san. Tiba-tiba aku mendengar suara pertempuran di luar gubuk. Aku segera keluar dan melihat dua orang yang masing-masing terluka berat sedang berkelahi mati-matian, Aku berteriak supaya berhenti, tapi dia tak meladeni. Karena merasa tak tega, aku segera memisahkan mereka. Begitu dipisahkan, salah seorang terbalik matanya dan menarik napasnya yang penghabisan. Yang satu lagi belum mati dan dulu aka membawanya kedalam gubukku dan coba menolong dengan memberikan pel Siauw yang tan kepadanya. Tapi sebelah lukanya terlalu berat, obatku tidak berhasil. Sebelum meninggal, ia memperkenalkan diri sebagai In Kek See..”

“Ah!” seru sinona, “Orang yang satunya lagi mestiaya Siauw Siang Coe. Bukankah orang yang binasa lebih pula bertubuh jangkung kurus dan bermuka seperti mayat
?”

“Benar,” jawabnya. “Bagaimana kau tahu?”. Kata sinona sambil tertawa. “Aka tak nyana pada akhirnya kedua mustika hidup itu mampus dengan saling bunuh.”
Ho Ciok Too menghela napas dan berkata pula: ” Sebelum mati, In Kek See mengatakan bahwa selama hidup, ia telah berbuat banyak sekali kedosaan dan sekarang ia merasa sangat menyesal, tapi sudah terlambat. Ia memberitahukan, bersama Siauw Siang Coe, ia telah mencuri sejilit kitab suci dari Siauw lim sie. Sesudah memiliki kitab itu, mereka saling curiga. Masing2 merasa kuatir, bahwa jika yang satu memahami kitab itu terlebih dulu dan berhasil mempertinggi ilmu silatnya, dia segera menurunkan tangan jahat untuk membinasakan yang lain guna memiliki sendiri kitab suci itu. Demikianlah, masing2 saling mengawasi dua
sungkan berpisahan. Mereka makan disatu meja dan tidur satu ranjang Sedikitpun hati mereka tak pernah tenang. Diwaktu makan, masing-masing kuatir racun. Diwaktu tidur, masing-masing takut kalau-kalau yang satu turunkan tangan jahat selagi pulas. Di samping itu, mereka juga kuatirkan kejaran pendeta2 Siauw lim sie. Mereka kabur sampai di See-ek. Setibanya di Keng sin hong, keduanya sudah lelah sekali. Mereka mengerti bahwa dengan hidup begitu terus menerus, belum sepuluh hari, mereka tentu sudah binasa. Mereka jadi nekat dan terus bertempur untuk mengakhiri keadaan yang gila itu. In Kek See mengatakan, bahwva ilmu silat Siauw Siang Coe sebenarnya banyak lebih tinggi dari padanya. Semula ia tak mengerti, mengapa dalam perkelahian, Siauw Siang Coe hanya lebih unggul sedikit. Belakagan ia baru igat, bahwa kawan yang berubah jadi musuh itu telah mendapat luka di gunung Hwa-san. Jika mereka tidak saling curiga, mereka tentu tak akan mendaki Koen loen-san.”

Mendengar penuturan itu, Kwee Siang kelihatan berduka. Ia menghela napas berkata: “Hai! Karena sejilid kitab, mereka bersama-sama mengorbankan jiwa. Berapa harganya kitab itu ?”

Ho Ciok Too mengangguk dan kemudian melanjutkan perkataannya : “In Kek See bicara dengan napas tersengal-sengal dan suara ter-putus2. Akhirnya ia meminta supaya aku suka pergi kekuik Siauw-lim-sie dan menemui seorang pendeta yang bernama Kak wan. Ia memberitahukan, bahwa kitab suci itu berada didalam minyak. Aku heran mengapa didalam minyak? Selagi mau menayakan terlebih terang, ia sudah tak tahan lagi dan pingsan. Ia pingsan untuk tidak tersadar pula. Sesudah ia mati, aku teras memikiri arti perkataannya. Di dalam minyak ? Apa ia maksud kan kitab itu di bungkus didalam kain minyak. Dengan teliti aku memeriksa jenazah mereka, tapi aku tak bisa mendapatkan kitab itu. Sesudah menerima permintaan orang, aku tidak bisa menyampingkan dengan begitu saja. Mengingat bahwa aku memang belum pernah menginjak wilayah Tiong-goan, maka dengan menggunakan kesempatan itu, aku segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil Siauw lim sie sebagian guna memenuhi pesanan orang dan sebagian lagi guna pesiar”

“Tapi mengapa kau sudah mengirim surat tantangan ?” tanya Kwee Siang.

Ho Ciok Too bersenyum waktu menjawab: “Asal mulanya adalah gara2 ketiga orang itu. Mereka bertiga adalah murid2 Siauw lim sie yang tidak mencukur rambut. Menurut katanya orang2 Rimba persilatan di daerah Barat (See ek), mereka adalah orang orang dari tingkatan Thian dan tingkatannya itu sama tingginya dengan Hong thio Siauw lim sie Thian heng Siansoe. Menurut dugaan orang. Soecouw mereka dulu telah kebentrokan dengan saudara2 seperguruannya dalam kuil Siauwlim sie dan sebagai akibat bentrokan itu, ia pergi ke daerah Barat dan mendirikan sebuah cabang Siauw lim pay. Hal ini bukan hal yang mengherankan. Ilmu silat Siauw lim sie telah di bawah oleh Tatmo Couw soe dari Thian tiok (India) ke Tiong goan (Tiongkok asli). Sekarang dari Tiong goan di angkat pula ke daerah Barat. Tak mengherankan, bukan ?

“Mendengar julukanku sebagai Koen loen Sam seng, mereka bertiga jadi penasaran. Mereka sesumbar ingin menjajal kepandaianku. Mereka tidak menghiraukan gelaran Khim seng dan Kie sang. Tapi gelaran Kiam seng (Nabi pedang) ? Ha ! Tak boleh dibiarkan saja?”

“Secara kebetulan muncul urusan In Kek See. Maka itu, aku segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil Siauwlimsie, sekalian menjajal2 kepandaian mereka. Sebelum tiba di Tiong goan, aku sengaja menyingkirkan diri dari mereka. Tapi tak dinyana, mereka bisa datang begitu cepat.”

“Oh, begitu?” kata Kwee Siang. Semua dugaan ternyata meleset semua. Sekarang ketiga orang itu sudah tiba dikuil. Entah apa yang dikatakan mereka !”

“Dengan pendeta2 Siauw lim-sie, aku tak punya ganjelan apapun juga,” kata Ho Ciok Too. “Itu sebabnya, untuk menunggu kedatangan tiga orang itu, aku menjanjikan sepuluh hari. Sekarang penjajalan kepandaian sudah dilakukan, segala apa sudah jadi beres. Mari kita naik keatas. Sesudah aku menyampaikan pesanan In Kek See, kita boleh lantas turun lagi.”

Si-nona mengerutkan alis. “Pendeta2 Siauw lim-sie mempunyai semacam peraturan yang sangat keras, yaitu, wanita dilarang masuk kedalam kuil,” kata Kwee Siang.
“Fui ! Aturan apa itu?” kata Ho Ciok Too. “Bagaimana kalau kita menerobos masuk ?”

Sebenarnya Kwee Siang adalah seorang gadis pemberani yang suka cari urusan. Tapi karena merasa malu hati terhadap Boe sek Sian soe, ia segera menggelengkan kepala seraya berkata: “Jangan! Aku menunggu di luar kuil, kau masuk sendiri saja, supaya jangan banyak urusan.”

“Baiklah,” kata Ho Ciok Too. “Lagu yang tadi belum selesai. Begitu kembali, aku akan memetik sekali lagi”

Per-lahan2 mereka mendaki gunung, tapi sesudah tiba didepan pintu, mereka belum melihat bayangan satu manusiapun.

“Sudahlah, aku juga tak perlu masuk,” katanya. “Aku akan panggil saja pendeta itu.” Sehabis berkata begitu, ia berteriak. “Ho Ciok Too datang berkunjung ke Siauw limsie, ingin menyampaikan omongan kepada Kakwan Taysoe.”

Hampir berbareng dengan teriakannya, belasan lonceng besar dalam kuil berbunyi dengan serentak, sehingga seluruh Siauw sit san se olah2 tergetar.

Mendadak pintu kuil terbuka dan dari kiri kanan keluar dua basis pendeta yang mengenakan jubah warna abu2. Kedua barisan itu masing terdiri dari lima puluh empat murid Lohan tong dan jumlah mereka adalah sesuai dengan seratus delapan Lo han. sesudah itu keluar delapan belas pendeta yang badannya dikerebungi jubah pertapan warna kuning Mereka adalah murid2 Tat mo tong yang berusaha lebih tinggi daripada murid2 Lo han tong. Sesaat kemudian dari dalam kuil berjalan keluar tujuh pendeta yang sudah berusia lanjut. Mereka adalah Cit loo (Tujuh Tetua) dari Simsian tong yang berkedudukan sangat tinggi. Beberapa diantaranya memiliki ilmu silat luar biasa, tapi yang lain tidak mengenal ilmu silat dan ia duduk dalam Sim siantong karena pengetahuannya yang sangat mendalam mengenai agama Buddha. Mereka malahan sangat dihormati oleh Hong thio Siauw limsie sendiri.

Paling akhir keluarlah Hong thio Thian beng Sansea, yang diampit olah kepala Tat ma tong Boe Shian Siansoe dan kepala Lo han tong Boesek Siansoe. Phoa Thian Keng, Phoei Thian Loa dan Wie Thian Bong mengikuti di sebelah belakang, bersama kurang lebih delapan puluh murid2 Siauw lim sie, yang tidak jadi pendeta.

Itulah penyambutan yang hebat luar biasa dan dapat dikatakan belum pernah, atau sedikitnya langka sekali, diberikan kepada seorang tamu. Menurut kebiasaan pembesar negeri, biarpun pangkatnya sangat tinggi, atau tokoh Rimba persilatan Paling banyak disambut oleh Hongthio, Boesek dan Boesiang sebegitu jauh di ingat orang Cii Loo dari Sim sian tong belum pernah keluar menyambut tamu.

Mengapa sekarang diadakan upacara penyambutan yang begitu besar? Sebab yang terutama yalah karena Ho Ciok Too tanpa diketahui oleh siapapun juga, sudah menaruh surat tantangan dalam tangan patung Hang liong Lohan. Kepandaian yang luar biasa itu mengejutkan hatinya para pemimpin Siauw lim sie. Selain itu, Phoa thian Keng dan kedua Soeteenya yang baru tiba dari See ek, juga telah menceritakan lihaynya Koen loan Sam seng, sehingga para pemimpin Siauw lim sie lebih berwaspada lagi.

Karena berpisahan sangat jauh, Siauwlimpay cabang See ek sangat jarang berhubungan dengan cabang Tiong cioe yaitu Siauw lim sie dan siauw sit san. Akan tetapi, para pendata tahu, bahwa Soe siok couw mereka mereka yang telah pergi ke Barat memiliki kepandaian yang sangat tinggi, sehingga murid marid atau cucu2 muridnya tentu juga bukan sembarangan ahli silat. Maka itu, sesudah mendengar keterangan Phoa Thian Keng bertiga, para pemimpin Siauw lim sie lantas saja mangambil tindakan2 yang seperlunya. Disamping tindakan2 didalam kuil, pucuk pimpinan juga telah mengeluarkan perintah, supaya murid Siauw lim sie, tak perduli pendeta atau orang biasa yang bertempat tinggal dalam lingkungan lima ratus li harus segera datang kekuii guna menunggu perintah2 selanjutnya.

Semua para pendeta itu menganggap bahwa Koen loen Sam seng terdiri dari tiga orang Sesudah mendapat keterangan Phoei Thian Keng, barulah mereka tahu bahwa Koen loan Sam seng hanya seorang dan bahwa ia memperoleh gelaran itu sebab mahir dalam tiga macam ilmu, yaitu ilmu main khim, ilmu pedang dan ilmu main catur. Mengenai ilmu main khim dan main catur, para pendeta tidak menghiraukannya. Yang mereka harus ber-siap2 yalah untuk menghadapi ilmu pedang dari orang itu. Maka itulah, semenjak mendapat tantangan, siang malam ahli-ahli pedang Siauw lim sie berlatih keras.

Sementara itu, karena merasa sengketa dengan Koen loan Sam seng adalah gara-gara mereka, Phoa Thian Keng dan kedua Soetee nya ingin sekali bisa membereskan pertikaian tersebut dengan tangan mereka sendiri, Untuk memapaki dengan menunggang kuda, setiap hari ia meronda disekitar gunung. Mereka kepingin sekali menjajal kepandaian lawan diluar kuil dan sesudah itu barulah mereka ingin balik kekuil, supaya Koen loen Sam seng bisa mengukur tenaga dengan para pendeta.

Dengan demikian mereka pikir biarlah dilihat, apa cabang Tiong cioe atau cabang See ek dari Siauw lim pay yang lebih unggul.

Tapi diluar dugaan, dalam pertandingan di pendopo batu, dengan mudah mereka telah dirobohkan oleh Ho Ciok Tao.

Begitu mendapat warta tentang kekalahan Phoa Thian Keng dan 2 Soeteenya Thian beng Sian soe insaf, bahwa hari itu adalah hari memutus utuh runtuhnya nama Siauw lim sie.

Biar bagaimanapun juga, gelar “sumber pelajaran Lima silat dikolong langit” yang sudah dipertahankan Siauw lim sie selama ribuan tahun, tak boleh hancur dalam tangannya. Tapi dalam pada itu, ia agak keder, karena merasa bahwa kepandaiannya, kepandaian Boe sek dan Boe siang, Tidak lebih unggul banyak diatas kepandaian Phoa Thian Keng bertiga, itulah sebabnya mengapa dengan terpaksa ia mengundang Cit long Sim sian tong untuk turut keluar menyambut, guna mem beri bantuan jika perlu. Tapi sampai berapa tinggi kepandaian tujuh tetua itu, ia dan Boe sek serta Boa siang juga tak tahu pasti. Apa jika ada bahaya Cit loo bisa menolong muka siauw lim sie masih merupakan sebuah teka teki.

Begitu berhadapan dengan Ho Ciok Too dan Kwee Siang, Thian beng segera merangkap kedua tangannya seraya berkata. “Apakan Kie soe (tuan) yang mahir dalam ilmu Khim Knim Kie? Loo ceng (aku pendeta tua) tidak bisa menyambut dari jauh dan untuk itu, aku harap Kie soe, suka memaafkan,”

Ho Ciok Too segera membalas hormat dengar membungkuk. “Boanseng (orang yang tingkatannya rendah) merasa tidak enak hati sudah mengacau dikuil yang angker ini dan Boan seng sungguh tidak sanggup menerima penyambutan yang begini besar”

Mendengar jawaban itu, Thian beng berkata dalam hatinya. Kata2nya cukup menyenangkan. Dilinat dari romannya, ia baru berusia kira2 tiga puluh tahun. Apa benar ia mempunyai kepandaian tinggi?” Memikir begitu, ia lantas saja berkata lagi: “Ho Kie toe jangan terlalu sungkan. Marilah kita masuk untuk minum air teh dingin dan Lie kie soe (nona) ini …” ia tidak meneruskan perkataannya dan pada paras mukanya terlihat perasaan sangsi.

Melihat pendeta itu mau menolak Kwee Siang, Ho Ciok Loo dongak dan tertawa tawa 2.

“Loo hong thio,” Katanya, “Boan-seng datang kemari karena menerima permintaan seseorang untuk menyampaikan sepatah kata. Sesudah menyampaikan ita, Boan seng akan segera berlalu. Akan tetapi, peraturan dalam Kuil Loa bong thio yang memandang tinggi kepada pria data memandang rendah kepada wanita, adalah peraturan yang tidak dimengerti olehku. Harus diketahui, bahwa ilmu Sang-Buddha tiada batasnya dan semua makhluk Tuhan adalah sama rata. Maka itu, menurut Boan seng, peraturan itu agak bertentangan dengan pelajaran Sang Buddha.”

Thian beng Sian soe adalah seorang pendeta yang berilamu tinggi dan berpandangan luas. Ia segera dapat membedakan, apa yang benar dan apa yang salah.

Mendengar perkataan Ho Ciok Too, ia segera bersenyum dan berkata. “Trima kasih atas petunjuk Kie soe. Peraturan itu memang peraturan yang agak sempit. Kalau begitu, akupun mengundang nona untuk turut minum teh.”

Kwee Sang melirik kawannya sambil bersenyum. sedang didalam hati ia memuji ketajaman lidah pemuda itu.

Thian beng segera minggir kesamping dan mengangkat tangannya sebagai undangan supaya kedua tetamu itu masuk. Tapi sebelum Ho Ciok Too bertindak dari samping kiri Thian beng tiba2 maju seorang pendeta tua yang bertubuh krus .”Dengan bebeapa perkataan saja, Kie soe sudah meniadakan peraturan Siauw lim sie yang sudah berjalaa ribuan tahun, katanya.”

“Peraturan itu bukan tak boleh dirubah. Tapi kita harus menyelidiki. apa orang yang menyebabkan berubah peraturan2 itu, benar2 seorang yang berkepandaian tinggi. Maka itu aku mengharap Ho Kie soe suka memberi sedetik pelajaran, supaya para pendeta bisa membuka mata dan tidak merasa penasaranlagi karena mengetahui, bahwa orang yang merobah peraturan kami, ia orang yang sungguh sungguh berkepandaian tinggi,” Orang bicara itu adalah Boe siang Sian soe, kepala Tatmo tong. Ia bicara dengan suara nyaring luar biasa, sehingga telinga yang mendengarnya merasa sakit sebagai akibat dari tekanan tenaga Lweekang yang sangat dahsyat.

Mendengar perkataan Boe siang, paras muka Phoa Thian Keng dan kedua Soeteenya lantas saja berubah. Mereka merasa diejek, bahwa mereka telah dijatuhkan oleh seorang yang belum tentu memiliki kepandaian tinggi.

Sementara itu, waktu melirik Bu sek Sia soe, Kwee Siang melihat sorot bingung dan jengkel pada muka pendeta itu. “Toa hweeshio adalah seorang baik dan juga sahabat Toakoko,” katanya didalam hati. Jika Hiok Too dan pendeta Siau lim sie sampai bertempur, tak perduli siapa yang kalah dan siapa menang hatiku merasa tak enak.” Memikir begitu, lantas saja ia berkata dengan suara nyaring.

“Ho Toako, aku sebenarnya tidak perlu masuk kekuil. Beritahukanlah sekarang omongan yang ingin disampaikan olehmu dan sesudah itu, kita boleh segera berlalu”

Sehabis berkata begitu, sambil menunjuk Boe sek, ia melan jutkan perkataannya. “ltulah Boe sek Sian soe, sahabat baikku. Kedua belah pihak sebaiknya jangan merusak keakuran.”

Ho Ciok Too kelihatan terkejut. “Oh, begitu ?” katanya sambil berpaling kepada Thian beng dan berkata pula : “Loo hong thio, yang mana Kak wan Siansoe ? Aku menerima permintaan seseorang untuk menyampaikan perkataan kapadanya.”

“Kak wan Sian-soe ?” menegas Thian beng dengan suara perlahan.

Dalam kuil Siauw lim-sie, Kak wan berkedudukan rendah dan selama beberapa puluh tahun, ia menyembuyikan diri dalam perpustakaan Cong keng-kok. Ia tidak banyak dikenal dari sebegitu jauh, belum pernah orang menambahkan kata2 “Siansoe” dibelakang nama gelarnya. Maka itu, untuk sementara, Thian beng tak ingat siapa adanya. “Kak wan Siansoe”. Sesudah bengong beberapa saat, barulah ia berkata: “A ! Ho Kie soe tentu maksudkan pendeta yang jaga kitab Lang keh keng.

Apakah Kie soe mencari dia dalam hubungan soal kitab itu ?”

“Entahlah,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.

Thian bang segera berpaling kepada seorang murid dan berkata: “Coba panggil Kak wan.” Murid itu lantas saja berlalu untuk mejalankan tugasnya.

Boe siang Siansoe yang rupanya sangat bernapsu, sudah tak bisa menahan sabar lagi. Begitu mendapat kesempatan, ia segera berkata pula: “Ho Kie sie, kau dijuluki sebagai Khim kiam-kie Sam-seng dan kata Seng itu tentu tak dapat dimiliki oleh sembarang orang. Tak usah disangsikan lagi, Kie soe mempunyai kepandaian yang baik, tinggi dalam tiga rupa ilmu itu, 10 hari yang lalu, Kie soe telah menulis surat dan berjanji untuk memperlihatkan kepandaianmu. Tapi mengapa sesudah datang kemari, kau jadi begitu pelit dan sungkan memberi pelajaran kepada kami ?”

Ho Ciok Too menggelengkan kepala. “Nona ini sudah mengatakan, bahwa kedua belah pihak tidak boleh merusak keakuran,” katanya.

Boe siang jadi gusar sekali. Ia terutama gusar karena, Ho Ciok Too sudah menantang lebih dulu dan tantangan itu dianggap sebagai kekurang-ajaran terhadap Siauw-lim sie. Disamping itu, ia juga gusar sebab Phoa Thian Keng dan kedua Soetee telah dirobohkan hingga diluaran orang bisa menyiarkan cerita, bahwa murid Siauw-lim pay dijatuhkan oleh Kiam seng. Tapi iapun yakin, bahwa sebagian besar murid2 Siauw-lim sie bukan tandingan Ho Ciok Too dan oleh karenanya, ia segera mengambil keputusan untuk turun tangan sendiri. Ia maju dua tindak seraya berkata: “Menjajal ilmu tak selamanya merusak keakuran. Mengapa Ho Kie soe menolak begitu keras ?” Ia berpaling kepada muridnya dan berkata pula. “Ambil pedang !”

Didalam kuil sudah diSediakan macam2 senjata, tapi pada waktu keluar menyambut tamu para pendeta itu tentu saja merasa tak pantas untuk membawa senjata.

Dengan cepat murid itu sudah keluar kembali dengan membawa tujuh delapan batang pedang yang lalu diangsurkan kepada Ho Ciok Too. “Apa Kie soe membaWa pedang sendiri atau ingin meminjam senjata kami?” tanyanya.

Sebaiknya dari menjemput senjata yang diangsurKan Ho Ciok Too membungkuk dan mengambil sebutir batu kecil. Tiba2 dengan mengunakan batu itu, ia membuat sembilan belas garis melintang dan sembilan belas garis membujur diatas batu hijau yang menutupi jalanan didepan kuil, Setiap garis itu sangat lurus, seperti juga di babat dengan menggunakan penggaris. Tapi apa yang mengejutkan yalah setiap goresan masuk dibatu kira2 satu dim dalamnya. Batu hijau itu adalah batu gunung Siauw sie san yang keras bagaikan besi. Ratusan tahun orang mundar mandir di atasnya, tanpa rusak sedikit juga.

Sesudah membuat garis2 itu yang merupakan papan catur, sambil tertawa Ho Ciok Too berkata: “Mengadu pedang agak terlalu ganas, sedang suara khim pun sukar diadu. Maka itu, jika Toahweeshio merasa gembira, mari kita main catur.”

Apa yang diperlihatkan Ho Ciok Too sangat mengejutkan hatinya Thian beng, Boesek, Boe siang dan Cit loo dari Sim sian tong. Thian beng Siansoe yakin, bahwa Lweekang yang setinggi itu tidak dipunyai oleh siapa pun juga dalam kuil Siauw limsie. Ia jadi bingung bukan main, tapi baru saja ia memikir untuk mengaku kalah, tiba-tiba terdengar suara berkerincin dan rantai besi dan di lain saat, Kak wan muncul sambil memikul dua tahang besi, sedang di belakangnya mengikuti seorang pemuda yang bertubuh jangkung. Begitu tiba dihadapan Thian beng, ia segera memberi hormat seraya menanya. “Apakah Loo hong thio memanggil aku ?”

“Ho Kie soe ingin bertemu dan bicara denganmu.” jawabnya.

Ia memutar badan dan merasa heran, sebab tak tahu siapa adanya orang itu. “Siauw ceng adalah Kak wan,” ia memperkenalkan diri. “Omongan apa yang hendak disampaikan oleh Kie soe ?”

Sesudah membuat papan catur, kegembira Ho Ciok Too terbangun. “Omongan itu aku akan beritahukan sebentar.” katanya. “Toahweesio manakah yang ingin melayani aku main catur ?” Ho Ciok Too adalah seorang yang keranjingan main khim, pedang dan tiokie. Kalau gilanya datang, ia melupakan apapun juga.

“Kepandaian Kie soe dalam membuat papan catur dengan menggores batu, belum pernah di saksikan oleh loolap,” kata Thianbeng. “Samua pendeta dalam kuil kami tak dapat menandinginya.”

Mendengar perkataan Thian beng dan melihat papan catur itu, barulah Kak wan tahu, bahwa Ho Ciok Too datang di Siauw Iim sie untuk memamerkan kepandaiannya.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menaruh kedua tahang besi di pundaknya sambil menyedot napas untuk mangumpulkan semua tenaga dalamnya di kedua lutut.
Sesudah itu, setindak demi setindak, ia berjalan digarisan pinggir dari papan catur itu.

Semua orang terkesiap dan mengawasi tindakan Kak wan dengan mata membalalak. Mengapa ?

Ternyata, di tempat yang dilewati rantai besi yang melibat di kakinya, terdapat goresan-goresan yang lebarnya kira-kira lima dim dan goresan-goresan itu telah merusak garis yang dibuat Ho Ciok too! Sesaat kemudian, tanpa merasa semua pendeta bersorak sorai.

Thian beng, Boe Sek, Boe siang dan lain2 pemimpin jadi kaget campur girang. Mereka tak pernah mimpi, bahwa pendeta tua yang tolol2an itu, memiliki lweekang tinggi. Mereka sudah berkumpul didalam satu kuil puluhan tahun lamanya, tapi tak seorangpun yang tahu kelihayan Kak Wan

Sebenarnya, biarpun seseorang mempunyai tenaga dalam yang hebat, ia tak mungkin membuat goresan seperti yang dibuat Kakwan diatas batu hijau yang amat keras itu. Hanyalah karena pendeta itu memikul dua tahang besi berisi air yang beratnya kurang lebih enam ratus kati sehingga tenaga yang sangat besar itu dapat disalurkan dari pundak ke rantai besi, maka selagi terseret, rantai besi itu seolah olah semacam cangkul yang mencangkul garis2 papan catur. Tapi meskipun demikian, walaupun Kak wan meminjam tenaga apa yang dipertunjuknya sudah jarang sekali terlihat dalam Rimba Persilatan.

“Toahweeshio!” teriak Ho Ciok Too. “Lwee kangmu hebat sekali, aku tak bisa menandingi”

Kak wan menghentikan tindakannya dan mengawasi tamu sambil bersenyum.

“Toahweeshio,” kata pula He Ciok Too. “Kita tidak bisa main catur lagi dan aku mengaku kalah. Sekarang aku ingin minta petunjukmu dalam ilmu pedang.”
Hampir berbareng dengan perkataannya, ia menghunus sebatang pedang panjang dari bawah Cit hian khim. Ia segera bergerak untuk menyerang dan gerakannya yang pertama sangat luar biasa, yaitu ujung pedang menuking dadanya sendiri, sedang gagang pedang menuding lawan. Semua orang ter-heran2 sebab didalam dunia belum pernah ada Khiam boat yang begitu aneh.

“Loo ceng hanya bisa membaca kitab, bersemedhi, menjemur buku dan menyapu lantai,” kata Kak wan. “Mengenai ilmu silat sedikitpun aku tidak mengerti,”

Ho Ciok Too tentu saja mau percaya. Seraya tertawa dingin ia lompat menerjang. Tiba tiba ujung pedang itu berbalik dan meluncur kedada si pendeta. Ternyata, dalam gerakannya yang pertama, yaitu? waktu ujung pedang manuding dadanya sehdiri, ia sedang mengumpulkan tenaga dalam dan kemudian, secara mendadak, membalikkan senjatanya dengan Lweekang itu.

Jika Ho Ciok Too menghadapi ahli silat biasa, serangan itu pasti akan berhasil. Akan tetapi Lweekang Kak wan sudah mencapai tarap dimana setiap gerakannya selalu terjadi secara wajar, menurut jalan pikirannya, Maka itu, biarpun pedang menyambar bagaikan kilat, jalan pikiran si pendeta lebih cepat dari sambaran pedang. Pada detik yang tepat, sebuah tahang melompat naik dan “tang” pedang menikam tahang dan lantas saja melengkung seperti bulan sisir, Buru2 Ho Ciok Too menarik pulang senjatanya, sedang tangan kirinya mengebas muka lawan. Sekali lagi tahang yang lain naik dan tangannya terpental kesamping

Ia kaget tercampur penasaran. Ia merasa pasti, bahwa kedua tahang besi yang sangat berat itu, tak akan bisa menangkis ceceran pedang jika ia menyerang dengan menggunakan kecepatan. Memikir begitu, ia lantas saja berseru: “Toahweeshio, kali ini kau hati2″ Pedangnya menggetar dan seperti kilat, ia mengirim enam belas tikaman berantai.

“Tang-tang-tang ! – - -” enambelas kali Cap-lak chioe Soen loei kiam (Pedang geledek enambelas kali menikam) menikam di tahang besi!

Melihat gerak gerik Kak-wan yang sangat repot dan bingung waktu diserang, semua orang percaya, bahwa memang sebenarnya ia tidak mengerti ilmu silat.

Pada waktu Ho Ciok Too baru mulai menyerang, semua orang sangat berkuatir. “Ho Kie-sie, jangan berlaku kejam !” teriak Boe sek dan Boe siang hampir berbareng,

“Ho Toako, jangan turuskan tangan jahat!” seru Kwee Siang.

Tapi heran sungguh, dalam caranya yang sangat luar biasa dan tidak sesuai dengan ilmu silat, Kak-wan mengangkat kedua tahang besi itu pergi datang dan semua tikaraan itu mampir ditahang air.

Sedang semua orang bisa melihat bahwa si-pendeta sebenaraya tak mengerti ilmu silat, Ho Ciok Tao seadiri, yang serangan2nya digagalkan hingga ia jadi sangat mendongkol, sedikitpun tidak merasa, bahwa lawannya menangkis tikaman2nya dengan gerakan wajar yang telah dapat berkat latihan Lweekang yang sangat tinggi. Maka itu, sesudah Cap-lak chioe Soen-loei-kiam, gagal, sambil membentak keras, ia menikam kempungan Kak-wan,

“Celaka !”seru sipendeta yang datam repotnya merangkap kedua tangan yang mencekal tahang. Berbareng dengan terdengarnya suara nyaring akibat beradunya besi, pedang Ho-Ciok Too tergencet diantara kedua tahang itu. Buru2 ia mengerahkan tenaga dalam dan coba membetot senjatanya, tapi sedikitpun tidak bergeming. Cepat bagaikan kilat, tangan kirinya menghantam muka lawan.

Semua orang terkesiap. Kak-wan yang sedang mencekal tahang besi itu, tak bisa menangkis lagi. Pada detik yang sangat berbahaya mendadak Thio Koen Po melompat dan menghantam pundak Ho Ciok Too dengan pukulan Soe thong Pat ta yang didapat dari Yo Ko. Pada saat yang bersamaan, Lweekang Kak wan sudah mengalir masuk kedalam tahang dan tiba-tiba saja sepasang “arus” air menyembur dari kedua tahang itu dan menyambar muka Ho Ciok Too, sehingga pukulannya kebentrok dengan air yang menyemprot dan ke dua dua nya basah kuyup.

Oleh karena tangan kanannya mencekal pedang yang di gencet tahang air dan tangan kiri menyambut sambaran air, maka ia tidak bisa menangkis lagi pukulan Thio Koen Po. “Bak !”, pukulan itu mengenakan tepat di pundaknya. Sekali lagi semua orang terkejut, sebab Thio Koen Po yaug masih seperti bocah, ternyata memiliki Lweekang yang cukup tinggi, sehingga badan Ho Ciok Too bergoyang2 dan terhuyung kebelakang beberapa tindak.

“O mi-to-hoed !” teriak Kak wan. “Ho Kie soe, ampuni Loo ceng ! Tikaman-tikaman mu menenakuti sangat.” Sehabis berkata begitu, ia menyusut air dan keringat yang membasahi mukanya dan lalu minggir kesamping.

Sekarang Ho Ciok Too naik darah nya. “Aku dengar dalam kuil Siauw lim sie berkumpul banyak sekali orang pandai dan ternyata memang benar begitu,” katanya dengan suara mendongkol. “Malahan seorang bocah cilik memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Bocah ! Mari kita main2. Jika kau bisa melayani aku dalam sepuluh jurus, Ho Ciok Too tidak akan datang lagi ke wilayah Tiong goan untuk se lama-lamanya.”

Boe sek, Boe siang dan yang lain-lain tahu bahwa Thio Koen Po adalah kacung Cong keng-kok dan sebegitu jauh belum pernah belajar silat. Entah bagaimana secara kebetulan, ia berhasil memukul orang she Ho itu. Mereka yakin, bahwa jika bertempur sungguh sungguh, dalam sejurus saja bocah itu bisa binasa dalam tangan lawannya.
“Ho Kie soe salah,” kata Boo siang. “Kau bergelar Koein loen Samseng dan ilmu silatmu telah menggetarkan seluruh jagat. Bagaimana kau boleh bertempur dengan satu kacung tukang masak air dan menyapu lantai ? Jika kau tidak kau main-main sepuluh jurus.

Ho Ciok Too menggelengkan kepala. “Tak bisa,” katanya. “Hinaan pukulan itu, bagaimana bisa disudahi saja. Bocah! Sambutlah!” Hampir berbareng dengan bentakannya, tangannya menyambar kedada Thio Koen Po. Jarak antara dia sangat dekat, sehingga biarpun Boe sek dan Boe siang ingin menolong, sudah tidak keburu lagi. Semua orang menduga, bocah itu akan segera terluka berat.

Diserang dengan pukulan hebat itu, kedua kaki Thio Koen Po tidak bergerak. Ia hanya menggeser ujung kakinya kekanan dan badan nya lantas saja turut berputar kekanan. Dalam gerakan itu, ia sudah berhasil mengempos pukulan lawan. Hampir berbaring, dengan tinju kiri melindungi pinggang, telapak tangan kanannya menyambar. Itulah pukulan Yoe co an hoa chioe (Pukulan menembus bunga) salah satu pukulan pokok dari ilmu silat Siauw lim pay.

Apa yang luar biasa, yalah, waktu memukul tubuhnya kokoh teguh bagaikan gunung, sedang pukulannya dahsyat seperti gelombang sungai Tiang kang. Semua orang kaget bukan main, karena pukulan itu bukan pukulan seorang pemuda yang masih hijau, tapi pukulan seorang tokoh kenamaan dari Rimba Persilatan. Sesudah pundaknya terpukul, Ho Ciok Too tahu, bahwa tenaga dalam pemuda itu banyak lebih kuat dari pada Phoa Thian Keng dan kedua saudara seperguruannya. Tapi ia yakin, bahwa dalam sepuluh jurus, ia akan dapat merobohkannya. Melihat sambaran Yoe coan hoa chioe yang sangat hebat itu, tanpa merasa ia memuji. “Bocah! Lihay benar pukulanmu!”

Jantung Boe siang berdebar2. Ia melirik Boe sek dan berkata seraya bersenyum: “Boe sek Soetee, aku memberi selamat, bahwa dengan diam-diam kau sudah mendapat murid yang begitu berbakat !”

Boe sek menggelengkan kepala dan berkata dengan suara perlahan. “Bukan ….”

Sementara itu, dengan beruntun Thio Koen Po sudah mengirim empat serangan berantai yaitu Auw po lat kiong (Menggeser kaki manarik busur), Tan hong tauw yang (Burung hong menghadap matahari), Sioe teek kiat chiang (Di bawah tangan baju memotong tangan) dan Jie long tan jan (Jie long memikul gunung). Setiap pukulan di sertai dengan Lweekang yang sangat tinggi, sehingga semua pendeta jadi kagum bukan main. Thian beng, Boe sek, Boe siang dan Cit loo dari Sim sian tong saling mengawasi dengan hati berdebar debar. “Pukulan-pukulannya yang sangat bagus dan cepat, masih dapat dimengerti,” kata Boe siang. “Tapi bagaimana dengan Lwee kangnya yang begitu hebat?”

Sesaat itu dengan paras muka ke merah2-an Ho Ciok Too mengirim pukulan yang keenam. “Sedang seorang bocah saja aku sudah tak mampu jatuhkan, bagaimana aku berani datang di perguruan silat ditempatnya Siauw lim sie dan mengirim surat tantangan .” pikirnya. “Bukankah perbuatanku itu hanya jadi bahan tertawaan orang2 gagah dikolong langit?” sambil memikir begitu, ia memutar badan dan lalu menyerang dengan pukulan Thian san soat piauw (Salju melayang2 digunung Thiansan), dalam sekejap seluruh badan Thio Koen po sudah dikurang dengan pukulan2 yang menyambar2 bagaikan turunnya salju.

Kecuali Yo Ko yang pernah memberi petunjuk kepadanya dipuncak Hwa san, Koen Po belum pernah menerima pelajaran dari lain guru, Oleh karena itu, ia jadi kaget bukan main ketika melihat serangan2 yang sehebat itu. Pada detik yang sangat berbahaya, dalam bingungnya ia memutar pinggang kekiri, mengangkat kedua tangannya sampai meleWati dagu dan telapakan tangan kiri ber hadapan dengan telapak tangan kanan. Itulah pukulan Song coan chioe (pukulan sepasang lingkaran) dari Siauw limpay, serupa pukulan yang teguh kokoh bagaikan gunung jika disertai dengan tenaga Lweekang yang kuat dan dapat memunahkan segala rupa serangan. Maka itulah semua serangan Ho Ciok Too, tak perduli dari mana datangnya, dapat ditangkis dengan Song coan chioe.

Sampai disitu, kegirangan pihak Siauw Lim sie tak dapat ditekan lagi. Dengan serentak murid2 Tat mo tong bersorak sorai.

Sedang sorakan masih belum mereda, sambil membentak keras, Ho Ciok Too meninju dada lawannya, pukulan itu adalah pukulan biasa saja, tapi disertai dengan tenaga dalam yang sangat dahsyat. Buru2 Koen Po menolak dengan kedua telapakan tangannya dalam pianhoa citseng. “Buk!”, telapakan tangan dan tinju beradu keras. Badau Ho Ciok Too ber goyang2 sedang Thio Koen Po terhuyung ke belakang beberapa tindak.

“Huh!” demikian terdengar suara Ho Ciok Too yang tanpa tenaga dalam mengubah gerakannya lalu maju setindak dan sekali lagi mengirim tinju deugan sepenuh tenaga. Thio Koen Po yaug ilmu silatnya saugat terbatas, kembali menangkis dengan Pian hoa cit seng yaitu mendorong dengan keduu telapakan tangaunya. “Buk !”, tubuh Koen Po sempoyongan lima tindak kebelakaug, sedang badan Ho Ciok Too terhuyung kedepan, “Tinggal satu pukulan lagi !” bentaknya dengau paras muka pucat.

“Sambutlah dengan seantero tenagamu!” ia maju dua tindak, memasang kuda2 dan mengirim pukulan dengan gerakan perlahan.

Sesaat itu, ratusan pendeta Siauw lim sie mengawasi sambil menahan napas. Semua orang yakin, bahwa dengan pukulan itu, Ho Ciok Too mempertaruh nama besarnya dan bahwa ia tentu menggunakan seantero tenaga Lwee kang yang dimilikinya.

Untuk ketiga kalinya, Koen Po menyambut dengan Pian hoa cit seng. Sekali ini, beradunya tinju dan telapak tangan tidak mengeluarkan suara apapun juga. Kedua lawan dengan berbareng mengempos semangat mengarahkan seluruh Lweekang mereka.

Mengenai ilmu silat, Ho Ciok Too lebih unggul ratusan kali lipat daripada Thio Koen Po tapi dalam tenaga Lweekang, ia masih belum bisa mengatasi pemuda itu. Semua orang tak pernah mimpi, bahwa secara kebetulan Koen Po memperoleh pelajaran dari Kioe yang Cin ken keng dan memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.

Sama juga mereka bertahan sambil memusat seantero tenaga dalam di tangan mereka. Se-konyong2, berbareng dengan keluarnya suara “huh”, Ho Ciok Too mundur setindak karena ia merasa darahnya meluap ke atas, Se bisa2 ia masih mau coba mempertahankan diri, tapi mendadak matanya gelap dan ia lantas memuntahkan darah dari mulutnya. Walau tidak tahu apa artinya memuntahkan itu tak tabu, bahwa lawannya sudah terluka berat Thio Kaen Po kaget bukan main. “Celaka !” teriaknya sambil memburu untuk memapah lawan.

Ho Ciok Too mengebas tangannya dan seraya tertawa getir, ia berkata. “Ho Ciok Too! Ho Ciok Too! Kau benar2 orang edan!” berpaling kearah Thian beng Siansoe dan menyoja sampai ketanah. “Ilmu silat Siauw lim-sie sudah kesohor ribuan tahun dan benar saja nama itu bukan nama kosong,” katanya. Hari ini aku bisa membuka kedua mataku lebih lebar. Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan dengan sekali menotol tanah dengan ujung kakinya, tubuhnya melesat beberapa tombak jauhnya. Ia berhenti sebentar dan menengok kearah Kak-wan. “Kak-wan Taysoe,” katanya. “Orang itu mengatakan, bahwa kitab suci berada didalam minyak. Ia minta aku menyampaikan perkataannya kepadamu.” Dilain saat dengan menotol tanah beberapa kali dengan ujung kakinya, ia sudah berada diluar dari rentetan pohon2 pek yang tumbuh disepanjang jalan. Semua pendeta merasa kagum bukan main, karena sesudah terluka berat ia masih bisa bergerak begitu cepat. Kepandaian dan keuletan itu sesungguhnya jarang ter dapat dalam Rimba Persilatan.

Sesudah musuh berlaen, semua pendeta segera mengawasi Thian beng untuk mendengar perintah lebih jauh. Tiba2 seorang pendeta tua yang bertubuh kurus dari Cit loo Sim sian tong berkata dengan suara nyaring dan menyeram kan.

“Siapa yang sudah turunkan ilmu silat kepada murid itu?”

Semua orang bergidik mendengar suara itu yang menyerupai bunyinya seekor burung malam. Thian bong, Boe sek dan Boe siang yang juga ingin mengajukan pertanyaan tersebut, dengan serentak mengawasi Kak wan dan Thio Po. Tapi guru dan murid itu tidak lantas menjawab. Mereka berdiri bengong dengan mulut ternganga.

“Kak wan memiliki Lweekang yang sangat tiggi, tapi bisa dilihat nyata, bahwa ia belum pernah belajar ilmu silat,” kata Thian beng.
“Apa yang mengherankan adalah ilmu silat Siauw lim dari anak itu. Siapakah yang sudah mengajarkannya?”

Semua murid Tat mo tong dan Lo han tong menunggu jawaban dengan hati berdebar2. Semua orang menganggap bahwa bocah itu yang sudah merobohkan musuh sedemikian tangguh, pasti bakal mendapat hadiah besar, sadang gurunya pun akan mendapat pujian tinggi.

Melihat Thio Koen Po tidak mejawab pertanyaannya, alis sipendeta tua mendadak berdiri dan pada paras mukanya terdapat sinar Pembunuhan. ” Hei! Aku tanya kau. Siapa yang mengajar Lohan koen kepadamu?” tanyanya pula dengan suara keras.

Thio Koen Po segera merogoh saku dan mengeluarkan sepasang Tiat lo han (Lo han besi) yang diberikan kepadanya oleh Kwee Siang.

“Teecoe (murid) belajar dari kedua Tiat lo han ini,” jawabnya. “Dengan se-benar2nya Tee coe belum pernah mendapat pelajaran ilmu silat dari siapa juga pun.”

Sipendeta tua maju setindak dan berkata pula dengan suara perlahan. “Kau bicaralah se tulus2nya. Siapa yang sudah turunkan ilmu silat kepadamu?” Walaupun diucapkan seperti berbisik, suara itu yang disertai Lweekang yang tinggi, dapat nyata oleh semua orang.

Thio Koen Po merasa sangat kecewa, tapi karena tidak merasa bersalah, maka biarpun melihat paras muka sipendeta tua yang menyeramkan, sedikitpun ia tidak merasa keder. “Tidak, dalam kuil ini, belum pernah ada seorang pun yang mengajar ilmu silat kepada Teecoe” katanya dengan suara nyaring. “Teecoe selalu berdiam di Keng kok, menyapu lantai, masak air dan melayani Kak wan Soehoe. Beberapa pukulan Lo han-koen itu telah dipelajari oleh Tee-coe sendiri dan jika ada gerak-gerik yang kurang benar, Teecoe memohon Loo soehoe sudi memberi petunjuk.

Si pendeta tua mengeluarkan suara di hidung dan kedua mata yaug ber-api2, ia menatap wajah Thio Koeh Po. Lama sekali ia mengawasi muka pemuda itu tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Kak wan tahu, bahwa pendeta Sim sian-tong itu mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim-sie dan ia adalah Soesiok (paman guru) dari Thian beng Siausoe. Melihat sikap situa tehadap muridnya, ia merasa sungguh tidak mengerti. Tiba2 waktu kedua matanya kebentrok dengan mata pendeta tua yang penuh dengan sorot kebencian, dalam otaknya berkelebat suatu keingatan. Ia ingat bahwa duapuluh tahun lebhn berselang, secara ke betulan dalam Cong kek kok ia mandapatkan se jilid buku tipis dengan tulisan tangan, yang mencatat suatu peristiwa besar dalam kuil Sauw lim-sie.

Kejadiannya seperti berikut. Pada tujuh puluh tahun lebih yang lalu, Hong thio kuil Siauw lim-sie adalah Kouw tin Siansoe, itu Soecouw atau kakek guru dari Thian beng Siansoe. Menurut adad, setiap tahun sekali ada hari perayaan Tiong-coe, di Tat mo tong diadakan ujian ilmu silat yang dikepalai oleh Hong thio, sIoe coe dari Tat mo-tong dan Lo han-tong. Tujuan dari ujian itu adalah untuk melihat kemajuan para murid Siauw limsie selama satu tahun.

Diluar dugaan, waktu diadakan ujian pada tahun itu, telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menyedihkan.
Sesudah semua murid memperlihatkan kepandaiannya, pemimpin Tat mo tong, Kouw tie Siansoe, segera naik kemimbar
dan membincangkan kepandaian setiap murid. Selagi Kouw-tie enak bicara, tiba2 muncul seorangTauw-to, atau pendeta yang memiara rambut, yang lantas saja berteriak; “Omongan Kouw tie Siansoe omongan kentut anjing! Dia sebenarnya tak tahu apa artinya ilmu silat dan berani mati, ia menduduki kursi Soei-co dari Tat mo-tong. Sungguh memalukan!”

Dengan kaget semua pendeta mengawas orang itu yang ternyata adalah Tauw to yaag bekerja didapur sebaai tukang menyalakan api. Pada sebelum guru mereka membuka mulut, murid2 Tat mo-tong sudah balas mencaci dengan kegusaran yang meluap-luap.

“Jangan banyak bacot kau!” teriak Si Tauw to “Gurunya kentut anjing, muridnyapun kentut anjing!” Sehabis memaki, ia berdiri di tengah ruangan dengan sikap menantang. Sejumlah pendetalantas saja maju untuk menghajar Tauwto itu, tapi satu demi satu, mereka dirobohkan secara mudah sekali. Apa yang lebih hebat lagi si Tauwto tidak berlaku sungkan2. Sembilan murid utama dari Tat mo tong telah dijatuhkan dengan luka berat atau patah kaki tangannya.

Kouw tie Siansoe kaget tercampur gusar. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Tauwto itu adalah ilmu Siauw limpay, sehingga dia bukan seorang luar yang sengaja datang untuk mengacau. Sambil menahan amarah, Kouwtie meanaya siapa gurunya. “Aku belajar sendiri, tak satu manusia pun yang mengajar aku,” jawabnya.

Apa latar belakang perbuatan Tauwto itu? Ternyata, selama baberapa tahun ia sering dianiaya olah pemilik bagian dapur yang beradat berangasan dan suka main pukul orang sebawahannya. Tiap kali ia muntah darah akibat pukulan pemilik dapur itu yang sering turun tangan tanpa mengenal kasihan. Dengan mendedam sakit hati yang sangat besar, diam2 ia belajar silat. Ia mendapat kesempatan luas untuk mencuri pelajaran, karena hampir semua murid Siauwlim si pandai ilmu silat jika seseorang bertekat untuk melakukan serupa pekerjaan lama atau cepat, ia pasti akan berhasil.

Dibantu dengan kecerdasan otaknya yang melebihi manusia biasa, maka dalam tempo belasan tahun, ia sudah memiliki, kepaudaian yang sangat tinggi. Tapi ia masih tetap menyembunyikan kepadaianaya itu dan terus bekerja sebagai tukang menyalakan api yang dengar kata Kalau dipukul oleh sipemilik dapur, ia sama sekali tidak melawan. Berkat Lweekangnya yang sangat kuat, ia sekarang tidak takut lagi segala pukulan. Dengan sabar ia berlatih terus. Sesudah merasa, bahwa kepandaiannya berada diatas semua pendeta Siawlim sie, pada hari ujian silat, dihari Tiongcoe, barulah ia turun tangan.

Sakit hati yang sadah didendam belasan tahun lamanya, menanam rasa benci terhadap semua pendeta Siauwlimsie, didalam lubuk hatinya, maka itu ia sudah menyerang tanpa sungkan2 lagi.

Sesudah mengetahui sebab musabab kejadian itu, Koawti Siansoe tertawa dengan seraya berkata, “Aku sungguh merasa kagum akan kegiatanmu itu.” Ia turun dari mimbar dan satu pertempuran hebat lantas saja terjadi. Pada masa itu, Kouwtie adalah orang yang berkepandaian paling tinggi di-kuil Siauwlimsie.

Mereka berdua segera serang menyerang dengan menggunakan ilmu2 pukulan yang paling hebat dan dalam tempo cepat, mereka sudah bertempur kurang lebih 500 jurus.

Semakin lama pertempuran semakin hebat, sehingga mencapai sesuatu titik yang sangat berbahaya. Pada saat itu, karena mengingat jerih payahnya si Touw to untuk memiliki kepandaianya yang begitu tinggi, dalam hati Kouw tie muncul perasaan sayang dan kasihan. Maka itu, sambil mementang kedua tangannya, ia membentak. “Mundurlah!”

Tapi sungguh sayang, si Tauw to salah tampah maksud orang yang baik. Ia menduga, bahwa dengan mementang kedua tangannya, Kouw tie Siansoe ingin menyerang dengan Sin ciang Pat ta (Delapan pukulan Tangan Malaikat), salah satu ilmu terlihay dari Siauw lim sie. Ia ingat, bahwa waktu berlatih dengan ilmu itu, seorang murid Tat mo tonG pernah mematahkan satu balok kayu dengan pukulan kedua tangannya. Maka ita, ia tahu hebatnya Sin ciang Pat ta. Biar bagaimanapun juga, biar memiliki kepandaian tinggi tapi karena ia belajar dengan mencuri dan tidak mendapat petunjak guru yang pandai, maka ia masih belum bisa menyelami ilmu Siauw lim pay sampai didasarnya.

Ia sama sekali tak tahu, bahWa dengan mementang kedua tangannya, Kouw tie Siansoe sebenarnya mengeluarkan pukulan Hoen kay cian ( pukulan memecah dan membuka) untuk meminjam dan memindahkan tenaga, dengan tujuan menghentikan pertempuran begitu lekas kedua belah pihak melompat mundur. Ia menduga, bahwa Koauw tie ciaag (pukulan pembelah hati), pukulan keenaam dari Sin ciang Pat ta. Dengan menduga begitu, ia berkata dalam hatinya: “Tak begitu gampang kau ambil jiwaku !” la melompat dam memukul dengan kedua tangannya.

Pukulan kedua tangan itu menyambar bagaikan gunung roboh. Dengan hati mencelos Kouw tie Siansoe buru2 membalik tangannya untuk menangkis, tapi sudah tak keburu lagi Dengan satu suara “buk !”, tulang lengan kiri dan empat tulang dadanya patah ! Semua pendata kaget dan bingung dengan serentak mereka memburu untuk memberi pertolongan. Tapi Kouw tie yang sudah terluka berat, hanya tersengal2 napasnya dan tidak dapat mengeluarkan sepatah kata lagi. Malam itu ia menutup mata.

Selagi seluruh Siauwlim sie diliputi kedukaan basar, malam itu siauw-To diam-diam menyatroni dam membinasakan sipendeta pemilik dapur serta lima pendeta yang mepunyai ganjelan dengannya.

Kejadian itu menerbitkan kegemparan dan kegusaran yang tiada taranya dalam sejarah Siauw-lim sie. Pendeta pimpinan lantas saja mengirim puluhan pendeta yang berkepandaian tinggi untuk membekuk Tauw to kejam itu, tapi sesudah mencari sana sini diseluruluh Kang-lam, dan Kang-pak(daerah sebelah selatan dan utara Sungai Besar), usaha mereka tidak berhasil.

Dan akibat dari peristiwa itu, dalam Siauw lim sie belakangan muncul gelombang yang merupakan perebutan kekuasaan dan saling salah menyalahi. Dalam gusarnya, pemimpin La han tong, Kouw hoei Sian soe, telah pergi di See ek dimana ia kemudian membentuk sebuah cabang Siauw lim pay. Phoa Thian Keng dan kedua saudara seperguruannya adalah murid2 Kouw hoei Sian soe.

Demikian bunyi catetan dalam buku tipis itu, yang kebetulan dapat dibaca oleh Kak wan.

Sesudah itu, ilmu silat Siauw lim sie merosot banyak. Untuk mencegah terulangnya kejadian itu, para pemimpin lalu mengadakan peraturan, bahwa setiap murid Siauw lim sie hanya boleh belajar silat dibawah pimpinan guru dan bahwa siapa pun juga tidak boleh mencari belajar, orang yang melanggar diancam dengan hukuman sangat berat paling berat hukuman masih paling enteng diputuskan tulang dan uratnya, supaya dia orang barcacat. Selama puluhan tahun, peraturan itu dipertahankan dengan kerasnya dan tak pernah terjadi lagi peristiwa mencari belajar silat. Sesudah lewat banyak tahun, per-lahan2 orang2 mulai melupakan kejadian hebat itu.

Si pendeta tua anggota Sim sian tong itu, adalah salah seorang murid Kouw tie Sian soe. Selama puluhan tahun, ia tak pernah melupakan kebinasaan gurunya yang sangat menyedihkan. Maka itulah, begitu tahu Thio Koen Po memiliki ilmusilat tinggi tanpa mempunyai guru, kejadian yang sudah lampau kembali terbayang didepan matanya dan rasa sedih dan gusar me-luap2 dalam hatinya.

Mengingat apa yang telah dibacanya, tanpa merasa Kak wan mengeluarkan keringat dingin “Loo hong thio!” teriaknya. “Ini …. Koen Po….”

Belum habis perkataan itu, Boe siang Siansoe sudah membentak. “Murid2 Tat mo tong! Majulah! Bekuk dia!”
Hampir berbareng dengan perintah itu, delapan belas murid Tat mo tong segera mdlompat maju untuk mengurung Kak wan dan muridnya. Karena mereka membuat lingkaran besar, Kwee Siang pun turut terkurung di dalamnya.

“Murid2 Lo han tong! Mengapa kau belum mau maju?” seru si pendeta Sim sian tong. Semua murid Lo ham tong segera bergerak serentak dan membuat tiga lingkaran lain diluar lingkaran murid2 Tat mo tong,

Thio Koen Po jadi bingung bukan main, Apakah dengan mengalahkan Ho Ciok Too, ia telah melanggar peraturan kuil ! “Soehoe!” teriaknya. “Aku… aku… “

Kurang lebih sepuluh tahun, Kak wan telah hidup ber-sama2 muridnya dan kecintaan mereka tiada bedanya seperti kecintaan antara ayah dan anak. Ia tahu, bahwa jika Koen Po sampai kena ditangkap, biarpun tidak mati, ia bakal jadi orang bercacad.

“Kalau tak mau turun tangan sekarang, mau tunggu sampai kapan lagi?” tiba2 terdengar bentakan Boe siang Sian soe.

Delapan belas murid Tat mo tong lantas saja mendesak dengan hebataya. Tanpa memikir lagi, Kak wan memutar sepasang tahang besi yang bembuat sebuah lingkaran, disertai dengan tenaga Lweekangnya yang sangat dahsyat, sehingga semua pendeta-pendeta itu tidak bisa maju. Bagaikan senjatanya itu sepasang bandringan, kedua tahang besi itu ter-putar2 dan untuk menyelamatkan diri, murid2 Tat mo tong terpaksa melompat kebelakang. Sesudah semua penyerang terpukul mundur, tiba2 Kak wan menyapu dengan kedua tahangnya dan Kwee Siang masuk ketahang kiri dan Koen Po masuk ketahang kanan. Sesudah itu, bagaikan terbang, ia turun gunung dengan memikul kedua orang muda itu. Semakin lama suara berkerincingnya rantai jadi semakin jauh dan beberapa saat kemudian, tidak kedengaran lagi.

Karena peraturan Siauw lim-sie selalu dijalankan dengan keras. Maka, sesudah Sioe-co Tat mo-tong mangeluarkan perintah untuk menangkap Thio Koen Po, biarpun tahu tak bisa menyandak, semua murid Tat mo-tong lantas saja mengubar. Dalam pengejaran itu, terlihatlah siapa yang berkepandaian lebih rendah dan mengentengkan badannya masih agak cetek, lantas saja ketinggalan dibelakang. Sesudah siang terganti malam, hanya lima orang saja yang masih mengejar terus. Tiba2 jalanan terpecah jadi beberapa cagak. Mereka jadi bingung sebab tak tahu, jalanan mana yang diambil Kak wan. Demikianlah, mau tak mau dengan masgul mereka kembali kekuil untuk mendengar perintah jauh.

Sesudah kabur seratus li lebih, barulah Kak wan berani menghentikan tindakannya. Ternyata, ia sudah masuk kedalam sebuah gunung yang sepi. Meskipun memiliki Lweekang yang sangat tinggi, tapi sesudah lari begitu lama dengan pikulan yang begitu berat, ia tidak bertenaga lagi,

Kwee Siang dan Koen Po lanas saja melompat keluar dari tahang yang separuhnya masih penuh air. Mereka basah kuyup dan sesudah mangalami kekagetan hebat, paras maka mereka masih kelihatan pucat. “Soehoe,” kata Koen Po. “Kau mengaso dulu disisi, aku mau pergi cari makanan”

Tapi dalam gunung yang sepi, dimana ia mancari makanan? Sesudah pergi beberapa jam, ia kembali dengan hanya membawa buah buahan hutan. Sesudah menangsal perut mereka mengaso dengan menyender dibatu2.

“Toahweeshio,” kata Kwee Siang. “Para pendata Siauw lim-sie kelihatannya aneh-aneh.”

Kak wan tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan suara “hemm”

“Benar2 gila,” kata pula si nona. “Dalam kuil itu tak seorangpun yang bisa melawan Koen loen Sam seng Ho Ciok Too, yang hanya dapat dipukul mundur dengan mengandalkan tenaga kalian berdua. Tapi sebaliknya dari berterima kasih, mereka berbalik mau menangkap saudara Thio. Benar2 gila! Mereka agaknya tak bisa membedakan yang mana hitam, yang mana putih.”

Kak wan menghela napas. “Dalam hal ini kita tidak dapat menyalahkan Loo hong thie dan Boe siang soeheng” katanya. “Dalam Siauw lim sie terdapat sebuah peraturan . .. ” Ia tak bisa meneruskan perkataannya karena lantas batuk tak henti2nya.

“Toahweeshia, kau terlalu letih” kata Kwee Siang seraya me-mukul2 punggung sipendeta “Besok saja baru kau ceritakan
.”
Kak wan menghela napas, “Benar aku terlalu capai.” katanya.

Thio Koen Po segera mengumpulkan cabang kering dan membuat perapian untuk mengeringkan pakaian Kwee Siang dan pakaian nya sendiri. Sesudah itu mereka bertiga lalu tidur dibawah satu pohon besar.

Ditengah malam sinona tersadar. Tiba2 ia medengar Kak wan bicara seorang diri, seperti juga sedang menghafat kitab suci. Antara lain ia berkata: “… Tenang dia merintangi kulit dan buluku, niatku sudah masuk ketulang dia. Dan tangan saling bartahan. Hawa menembus. Yang dikiri berat, yang pikiran kosong, sedang yang dikanan sudah pergi. Yang kanan berat, yang kanan kosong, yang kiri sudah pergi . . . “

Sekarang Kwee Siang mendapat kepastian, bahwa apa yang dihafal si pendeta adalah kitab ilmu silat .
“Toahweahsio tidak mengerti ilmu silat, tapi ia seorang kutu buku yang membaca dan menghafal segala apa yang dihadapinya,” katanya didalam hati. “Beberapa tahun berselang, dalam pertempuran pertama dipuncak Hwa san. la telah memberitahukan, bahwa disamping kitab Leng keh keng, Tat mo Loo couw juga menulis sebuah kitab iImu silat yaag dinamakan Kioe yang Cin keng. Ia mengatakan bahwa pelajaran dalam kitab itu dapat menguatkan dan menyehatkan badan. Tapi sesudan berlatih menurut petunjuk2 kitab itu, tanpa marasa guru dan murid itu sudah memanjat tingkatan yang sangat tinggi dalam dunia persilatan. Hari itu, waktu diserang olah musuhnya Siauw Siang Coe, dengan sekali membalas saja, ia berhasil melukakan penyerangnya. Kepandaian yang setinggi itu belum tentu dimiliki Thia-thia atau Toakoko. Cara Thio Koen Po merobohkan Ho Ciok Too lebih2 mengagumkan. Apakah itu semua bukan berkat pelajaran Kioe yang Cin keng? Apakah yang barusan dijajalnya bukan Kioe yang Cin keng?”

Mengingat begitu, perlahan-lahan supaya tidak mengagetkan sipendeta, ia bangun dan duduk. Ia memasang kuping terang terang dan mengingat ingat apa yang di katakan Kakwan “Kalau benar apa yang dihafal Toa hwe shio adalah Cioe yang Cin keng, aku tentu tidak bisa menyelami artinya dalam tempo cepat, pikirnya. “Biarlah besok aka minta petunjuknya.”

Sesaat kemudian, Kak wan berkata kata pula: “… Lebih dulu dengan menggunakan hati memerintahkan badan, mengikuti orang lain, tidak mengikuti kemauan sendiri. Belakangan badan bisa mengikuti kemauan hati. Menurut kemauan hati dengan tetap mengikuti orang. Mengikuti kemauan sendiri artinya mandek, mengikuti orang lain artinya hidup. Dengan mengikuti kemauan orang lain, kita bisa mengukur besar kecilnya tenaga orang itu, bisa mengenal panjang pendeknya lawan. Dengan adanya pengetahuan itu, bisa maju dan bisa mundur dengan leluasa.”

Mendengar sampai di situ. Kwee Siang menggeleng2kan kepala. “Tak benar, tak benar.” katanya didalam hati. “Ayah dan ibu sering mengatakan, bahwa jika berhadapan dengan lawan kita harus lebih dulu mengusai lawan dan sangat sampai diri kita kita dikuasai lawan. Apa yaag dikatakan Toa hweshio tak benar.”

Selagi sinona memikir perkataan Kak wan, si pendeta sudah berkata lagi. “Lawan tidak bergerak, kita tidak bergerak. Lawan bergerak sedikit, kita mendului. Tenaga seperti juga longgar, tapi tidak longgar, hampir dikeluarkan, tapi belum dikeluarkan. Tenaga putus, pikiran putus…..”

Semakin mendengari Kwee Siang jadi semakin bingung. Semenjak kecil, ia telah dididik bahwa “orang yang bergerak lebih dulu mengusai lawan, sedang yang terlambat gerakannya dikuasai lawan. Dengan lain perkataan, pokok dasari lmu silatnya yalah ‘mendului lawan’. Tapi Kak wan mengatakan, bahwa mengikuti kemauan sendiri artinya mandek, mengikuti kemauan orang lain artinya hidup. Dan itu semua adalah sangat bertentangan dengan apa yang telah dipelajarinya.
“Jika aku berhadapan dengan musuh dan pada saat penting, aku mengikuti kemauan musuh2 mau ketimur aku ketimur musuh mau kebarat aku kebarat bukankah demikian, aku seolah olah cari penggebak sendiri?” kata nya di dalam hati.

Ilmu silat yg berpokok dasar. “Menguasai lawan dengan bergerak belakangan” baru dihargai orang pada jaman kerajaan Beng, pada jaman makmurnya partai Boe ciang pay. Maka dapatlah di mengerti, bahwa di waktu itu buntut kerajaan Song perkataan Kak wan membingungkan sangat hatinya Kwee Siang.

Dengan adanya kesangsian itu, banyak perkataan si pendeta tidak dapat ditangkap Kwee Siang. Ketika melirik, ia lihat Thio Koen Po sedang bersila dan mendengari perkataan gurunya dengan sepenuh perhatian. “Biarlah, tak perduli ia benar atau salah, aku mendengari saja,” pikirnya. “Dengan mataku sendiri, aku menyaksikan Toa hwashio melukakan Siauw Siang Coe dan mengusir Ho Ciok Too. Sebagai orang yang memiliki kepandaian begitu tinggi, apa yang dikatakannya tentu mempunyai alasan kuat.” Memikir begitu, ia lantas saja memusatkan pikirannya dan mendengari setiap perkataan yang diucapkan si pendeta.

Kak wan menghafal terus dan kadang2 dalam kata2nya terselip bagian2 dari kitab Leng-ka-keng. Hal ini sudah terjadi karena Kioe Yang Cin ken sebenarnya ditulis diantara huruf2 kitab Leng-ka-keng, sehingga si pendeta, yang sifatnya agak tolol, dalam menghafal Kioe-yan Cin keng, sudah menyelipkan kata2 dari kitab itu. Tentu saja Kwee Siang jadi makin bingung. Tapi berkat kecerdasan otaknya, ia berhasil juga menangkap sebagian dari apa yahg didengarnya.

Rembulan mendoyong kebarat dan makin lama suara sipendeta jadi makin perlahan. “Teahweeshio” kata si nona dengan suara membujuk. “Kau sudah sangat capai, tidurlah lagi”

Tapi Kak wan sepzrti juga tidak mendengarnya dan berkata pula dengan suara terlebih keras.

” …Tenaga dipinjam dari orang. Hawa dikeluarkan dari tulang punggung. Dari kedua pundak masuk di tulang punggung dan berkumpul di pinggang. Inilah hawa yang dari atas turun kebawah dan dinamakan “Hap” (MenutuP). Kemudian, dari pinggang hawa itu naik ketulang punggung dan dari tulang punggung meluas sampai di lengan dan bahu tangan. Inilah hawa yang naik dari bawah keatas dan dinamakan “Kay” (Membuka). “Hap” berarti mengumpulkan, sedang “Kay” berarti melepaskan. Siapa yang Paham akan artinya “Hap” dan “Kay” akan mengerti juga artinya Im-Yang (negatif dan positif). . . .”

Suaranya semakin perlahan dan akhirnya tidak terdengar lagi, seperti orang sudah pulas. Kwee Siang dan Thio Koen Po tidak berani mengganggu dan hanya mengingat apa yang barusan didengar.

Tak lama kemudian, bintang2 mulia menghilang, rembulan menyilam kebarat dan sesudah cuaca berubah gelap untuk kira2 semakanan nasi, disebelah timur mulai kelihatan sinar terang.

Kak wan masih tetap bersila sambil meramkan kedua matanya, sedang badannya tidak bergerak dan pada bibirnya tersungging satu senyuman. “Kwee Kauwnio, apa kau tidak lapar?” bisik Koen Po. “Aku mau pergi sebentaran untuk cari bebuahan. Ketika menengok, tiba2 ia lihat berkelebatnya satu bayangan manusia dibelakang pohon dan samar2, orang itu seperti juga mengenakan jubah petapaan warna kuning. Ia tersiap dan membentak: “Siapa ?” Seorang pendeta tua yang bertubuh jangkung muncul dari belakang pohon dan pendeta itu bukan lain daripada pemimpin Lo han tong, Boe sek Siansoe.

Kwee Siang kaget tercampur girang. “Toahweeshio,” tegurnya. “Mengapa kau terus membuntut? Apakah kau mau menangkap juga guru dan murid ini ?”

“Biar bagaimana juga, loo ceng (aku sipendeta tua) masih bisa melihat apa yang benar dan apa yang salah,” jawabnya dengan paras muka sungguh2. “Aku bukan seorang yang tak tau peraturan. Sudah lama sekali loo ceng tiba disili dan jika mau turuh tangan, loo ceng tentu tidak menunggu sampai sekarang. Kak wan soeteee, Boe siang Sian soe dan murid2 “Tat mo tong mengejar kejurusan timur. Lekas kalian lari kesebelah barat.”

Tapi pendeta itu terus bersila dan sedikit pun tidak bergerak. Koen Po mendekati seraya memanggil. “Soe hoe, bangunlah ! Lo han tong Sioe co ingin bicara denganmu.”

Kak wan bersila terus. Dengan jantung memukul keras, Koen Po menyentuh pipi gurunya yang dingin bagaikan es. Ternyata, Kak wan sudah meniggalkan dunia yang fana ini.

Simurid munubruk dan memeluk gurunya sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati. “Soehoe ! Soehoe !” teriaknya sambil menangis tersedu-sedu.
Boe sek Siauseo merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara perlahan : “dilangit tak ada awan, ditempat penjuru terang benderang angin membawa bau harum, seluruh gunung sunyi senyap. Hari ini bertemu dengan kegirangan besar. Bebas dari bahaya dan bebas pula dari segala penderitaan. Apa tak pantas untuk diberi selamat ?” Sehabis berdoa, orang beribadat itu segera berlalu tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi.

Bukan saja Koen Po tapi Kwee Siangpun mengucurkan tidak sedikit air mata. Sesuai dengan agama mereka jenazah semua pendata Siauw lim sie yang meninggal dunia diperabukan. Maka itu mereka lalu mengumpulkan kayu dan cabang2 kering dan kemudian membakar jenazah Kak wan.

Sesudah bares, Kwee Siang berkata dengan suara terharu. “Saudara Thio, kurasa pendeta2 Siauw lim sie akan terus berusaha untuk menangkap kau. Maka itu kau harus berlaku hati-hati. Disini saja kita berpisahan dan di hari kemudian, kita tentu akan mendapat ke sempatan untuk bertemu lagi.”

“Air mata sipemuda itu mengalir turun kedua pipinya. “Kwee Kouwnio katanya dengan suara parau.” Kemana saja kau pergi, aku mau mengikut.”

Mendengar jawaban itu, sinona merasa pilu bukan main dan ia berkata dengan suara gemetar. “Aku adalah orang yang tengah menjelajah dunia dan aku sendiripun tak tahu kemana aka bakal menuju.” Ia berdiam sejenak dan lula berkata pula. “Saudara Thio berusia sangat muda dan tak punya pengalaman dalam dunia Kang ouw, disamping itu pendata pendeta Siauw lim sie tentu bakal terus menerus manguber kau. Begini saja.” Seraya berkata begitu, ia meloloskan gelang emas dari pergelangan tangannya dan lalu menyerahkannya kepada pamuda itu. “Bawahlah gelang ini kekota Siang yang dan minta bertemu dengan ayah ibuku,” katanya lagi. “Mereka pasti akan memperlakukan kau dengan baik. Begitu lantas kau sudah barada dibawah perlindungan kedua orang tuaku para pendata Siauw lim sia pasti tak akan menyukarkan kaulagi.” Dengan air mata berlinang linang, Koen Pa menyambuti gelang mas itu.

Sesaat kemudian Kwee Siang berkata pula dengan suara gerak. “Beritahukanlah kedua orang tuaku, bahwa aku tak kurang suatu apapun dan aku harap mereka tidak memikiri diriku. Ayahku paling suka dengan pemuda yang gagah dan sesudah bertemu dengan kau mungkin sekali ia akan mengambil kau sebagai murid. Adikku sederhana dan polos dan aku merasa pasti ia bisa bergaul rapat denganmu. Hanya Ciecieku yang agak sombong dan jika kalau ada orang yang punya salah sedikit saja, ia lalu menyemprotnya tanpa sungkan2lagi. Tapi asal kau bisa mengalah, kurasa tak bakal terjadi apa-apa yaag tidak diingini.” Sehabis berkata ia memutar badan dan terus berjalan pergi.

Dapat dibayangkan bagaimana besar kedukaan Thio Koen Po pada waktu itu. Dengan berlalunya Kwee Siang ia betul merasa, bahwa ia hidup sebatang kara dalam dunia yang leba. Lama, lama sekali ia berdiri bengong didepan tumpukan sisa kayu dan abu bekas membakar guranya. Sesudah kenyang memeras air mata, perlahan-lahan, dengan hati seperti diris-iris, ia berjalan pergi. Tapi baru saja belasan tombak, ia kembali lagi dan lalu mengambil pukulan serta sepasang tahang besi, peninggalan mendiang gurunya. Sesudah itu, barulah ia meninggalkan tempat itu dengan tindakan lumbung, dengan kesepian dan dengan kedukaan besar.

Berselang kurang lebih setengah bulan, ia tiba didaerah Ouwpak dan sudah tak jauh lagi dari kota Siang yang. Untung juga, berkat pertolongan Boe sek Siang soe, dalam perjalanan itu ia tidak bertemu dengan pengejar pengejarnya.

Hari itu, diwaktu lohor, ia berada dikaki sebuah gunung yang besar. Waktu tanya seorang dusun, baru ia tahu, bahwa gunung itu guanung Boe tong atau Boe tong san, yang bukan saja besar dan angker, dengan hutan2 lebat serta tebing2 curam, tapi juga sangat indah pemandangan alamnya.

Selagi enak berjalan sambil memandang keindahan alam, tiba2 ia dilewati oleh dua orang pemuda dan pemudi dusun yang berjalan sambil berendeng pundak. Dilihat gerak geriknya tak bisa salah lagi mereka suami istri.

Dengan kupingnya yang sangat tajam, Koen po dapat menangkap perkataan si isteri yang sedang ngomeli suaminya. “Kau satu laki2 sejati, tapi sebaliknya dari mendirikan rumah tangga dengan tenaga sendiri, kau selalu mengandal kepada Ciecie dan Ciehoemu, sehingga akhirnya kau dihina. Kita berdua masih punya tangan dan kaki dan kita pasti bisa cari makan sendiri. Andaikata kita mesti hidup miskin dengan menanam sayur, tapi kita hidup dengan merdeka. Kau lelaki yang tak punya tulang punggung dan sungguh percuma kau hidup dalam dunia. Orang sering kata, kecuali mati, tak ada urusan besar. Apa kau tidak bisa hidup tanpa mengadai kepada orang lain?”

Sang suami tak berani menjawab mukanya berwarna ungu, seperti juga hati babi. Tanpa disengaja, perkataan wanita itu mengenakan jantung ati Koen Po. “Kau satu laki2 sejati, tapi sebaliknya dari mendirikan rumah tangga dengan tenaga sendiri, kau selalu mengandal pada Cieciee dan Ciehoemu, sehingga akhirnya kau dihina. Apa kau tidak bisa hidup tanpa mnegandal kepada orang lain?” Ia berdiri terlongong memikir kata2 itu. Dilain saat, sang suami mengucapkan bebera perkataan yang tidak dapat didengar oleh nya. Sesudah itu, mereka tertawa berkakakan. Rupanya silelaki sudah mengambil putusan untuk berdiri sendiri dan isterinya jadi girang sekali.

“Kwee Kouwhio mengatakan, bahwa Cie-cie nya beradat jelek dan biasa menyemprot orang tanpa sungkan? sehingga aku harus selalu mengalah,” pikirnya. “Aku adalah seorang laki2 sejati, perlu apa aku mesti menunduk begitu rupa didepan orang hanya untuk bisa hidup dengan selamat? Kedua suami istri dusun itu masih mempunyai semangat untuk berdiri diatas kaki sendiri. Masa aku, Thio Koen Po, mesti selalu bernaung dibawah atas orang dan hidup dengan memperhatikan sorot mata tuan rumah?”

Sesudah berpikir beberapa lama, ia segera mengambil putusan gagah. Dengan memikul kedua tahang besi, ia segera mendaki Boe tong san. Mulai waktu itu, ia minum air gunung makan buah2an dan melatih diri berdasarkan Kioe yang Ci keng yang didapat dari gurunya. Berkat kecerdasan dan juga karena apa
yang dipelajari ialah sebuah kitab luar biasa dalam dunia persilatan, maka dalam tempo belasan tahun Lweekangnya sudah mencapai tingkatan tinggi. Pada suatu hari, selagi jalan2 digunung itu, ia menyaksikan pertarungan sengit antara seekor ular dan seekor burung. Dengan segala kegesitannya burung itu meyerang dari berbagai jurusan, tapi ia masih kalah setingkat dari ular itu, hingga akhirnya dia terpaksa melarikan diri. Tiba2 saja Koen Po mendapat serupa ingatan dan tujuh malam, ia merenungkan ingatan itu dalam guha. Mendadak ia tersadar, kedua matanya, seolah menembus suatu tabir rahasia. Ia sekarang dapat memahami suatu pokok dasar yang luar biasa dalam dunia persilatan, yaitu: Dengan “Joe” (kelembekan) melawan “Kong” (kekerasan).

Tanpa merasa ia dongak dan tertawa terbahak-bahak. Tertawa kegirangan itu berarti muncul sutiu Tay cong soe (guru besar) baru dalam Rimba persilatan. Dan ilmu yang didapatnya sendiri, digabung dengan Lweekang berdasarkan Kioe yang Cin keng, ia telah menggubah semacam ilmu silat yang belakangan dikenal sebagai
ilmu silat Boe tong sedang muridnya telah bersatu dalam suatu “partai” persilatan baru yang dinamakan Boe tong pay. Sesudah lewat lagi sekian tahun, pada waktu berkelana di Tiongkok Urara, ia telah bertemu dengan tiga puncak gunung (Sam Hong) yang luar biasa dan oleh karenanya ia lalu menggunakan gelar Sam Hong untuk dirinya sendiri dan luar biasa dalam sejarah persilatan di Tiongkok.

Bagaimana dengan Kwee Siang? Puluhan tahun lamanya, sinoana berkelana diempat penjuru untuk mencari Yo Ko dan Siauw Liong Lie. Demi kecintaan yang suci murni dari muda sampai tua ia men-cari2 tanpa rasa menyesal sedikitpun juga. Tapi Yo Ko dan Siauw Liong Lie telah melenyapkan diri dan tak muncul lagi dalam dunia pergaulan. Waktu mencapai usia enampuluh tahun, tiba2 Kwee Siang terbuka matanya dan ia tersadar, akan kemudian mencukur rambut dan hidup sebagai pendeta perempuan dipuncak gunung Go bie san. Disitulah, dengan tekun ia melatih diri dam mempelajari ilmu silat,sehingga kian lama kepandaiannya jadi kian tinggi. Belakangan ia juga menerima murid dan serta cucu muridnya mempersatukan diri kedalam satu partai persilatan yang dikenal kedalam partai persilatan yang dikenal sebagai Go bie pay.

Dilain pihak, sesudah menderita kekalahan didepan kuil SiauW lim, Koen Loen Sam Seng Ho Ciok Too pulang kedaerah barat dan sesusai dengan sumpahnya selama hidup ia tak pernah menginjak lagi wilayah Tiong Goan. Sesudah berusia lanjut, barulah ia mengambil seorang murid yang mewarisi seni memetik Khim, ilmu main catur, dan ilmu silat pedangnya. Itulah sebabnya mengapa, walau pun bersumber didaerah Barat yang jauh, akan tetapi murid2 Koen-loen-pay rata rata boen
boecoan cay (mahir dalam ilmu surat dan dan ilmu pedang).

Dikemudian hari, partai rimba persilatan yang paling tersohor ialah Siauw Lim, Boe tong, Go bie dan Koen loen. Dalam keempat partai tersebut banyak sekali orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi,

Pada hari itu, waktu Kak wan Taysoe menghafal Kioe yang Cin keng, sebelum ia meninggal dunia ada tiga orang yang mendengarnya yaitu Boe sek Siansoe, Kwee Siang dan Thio Koen Po. Oleh karena pengetahuan padat dan kecerdasan ketiga orang itu berbeda-beda maka apa yang didapati merekapun berbeda-beda pula. Dengan begitu pelajaran ilmu silat Siauw lim Go bie dan Boe tong banyak sekali perbedaanya dan sedikit persamaanya.

Kwee Siang adalah putri ahli2 silat kelas utama dan pelajarannyapun beraneka warna. Maka itu ilmu silat Go bie banyak sekali corak ragamnya dan satu saja dapat dipahami sampai kedasar2nya, sudah cukup untuk membuat orang itu mendapat nama besar.

Mengenai Boe sek Siansoe, pada waktu mendengari Kioe yang Cin keng, ia sendiri memang sudah menjadi seorang ahli kenamaan. Didapatinya Kioe yang Cin keng hanyalah mempertiggi kepandaiannya, tapi pada dasar pokoknya ia tidak menarik keuntungan apapun juga.

Diantara ketiga orang itu, yang menarik ke untungan paling banyak ialah Thio Koen Po. Pada waktu itu, kecuali empat jurus ilmu silat yang ia dapat dari Yo Ko dan beberapa macam pukulan Lo han koen, belum pernah ia belajar ilmu silat. Maka itu ia telah menarik pelajaran2 yang paling murni dari kitab Kioe yang Cin keng. Akan tetapi, oleh karena ia memang tidak pernah belajar dibawah pimpinan guru yang pandai, maka ia kekurangan dasar2 ilmu silat, sehingga banyak sekali bagian Kioe yang Cin keng yang tidak begitu dimengerti olehnya. Belakangan, sesudah mempelajari pertarungan antara ular dan burung, barulah ia tersadar akan seluk beluknya iimu silat. Akan tetapi kejadian itu telah lama dilupakan, sehingga banyak bagian dalam kitab Kioe yang Cin keng sudan tidak diingat lagi olehnya.

Dengan demikian ilmu silat Siauw Lim, Boe tong dan Go bie masing2 mempunyai keunggulan sendiri2 dan kekurangannya2. Ketiga guru besar partai partai itu sama-sama memetik bagian-bagian dari Kioe yang Cin keng dan berdasarkan bakat serta kecerdasan masing-masing, mereka mempelajari, memperbaiki dan lalu menggubah imu-ilmu silat yang luar biasa.

Sebagaimana diketahui kerajaan Goan adalah kerajaan bangsa Mongol yang berkuasa di Tiongkok. Selama jaman penjajahan itu, ilmu surat tidak lagi begitu diperhatikan lagi, karena para penyinta negeri ber-lomba2 belajar ilmu silat. Pada jaman itu, dalam dunia Kang ouw banyak muncul orang2 luar
biasa yang berkepandaian luar biasa pula. Jumlah mereka lebih besar dan kepandaian mereka lebih tinggi dari pada orang2 dijaman buntutnya kerajaan Song, yaitu pada jaman Kwee Ceng, Oey Yong, Yo Ko, Siauw-Liong Lie pay sebagainya. Orang2 gagah yg muncul didaerah Barat kebanyakan murid2 dari Koen-loen-pay, sedang jago2 di wilayah Tiong goan, sebagian besar adalah orang2 Siauw-Lim, Boe-tong dan Go-bie. Disamping itu, masih ada ratusan malahan ribuan partai partai lain yang lebih kecil. Demikianlah sedikit pendahuluan dari kisah Membunuh Naga atau Ie-thian To-liong-kie.

TAHUN itu adalah tahun kedua dari Kaizar Goan-soen-tee. Robohnya Kerajaan Song sudah genap enam puluh tahun.

Waktu itu bulan Shagwee (Bulan Ketiga) Cong soe (orang gagah) yang berusia kira kira tigapuluh tahun, mengenakan baju biru itu dan pakai sepatu rumput, kelihatan berjalan di jalan raya dengan tindakan lebar. Di kedua pinggir jalanan itu, buah tho yang merah dan pohon Hoe yang hijau memperlihat kan keindahannya, tapi orang itu tidak memperhatikan sedikitpun jua.

“Hari ini Shagwee Jie Tie ( Bulan Ketiga tanggal 24)” katanya didalam hati. “Sampai Sie gwee Ceekauw (Bulan Keempat tanggal 9 ) masih ada empat belas hari. Dengan tidak mem-buang2 tempo barulah aku bisa tiba pada waktunya di Giok-hie-kiong, Boetong-san untuk memberi selamat ulang tahun ke sembilan puluh pada In-soe (guru).”

Orang gagah itu she Jie, bernama Thay Giam, murid ketiga dari Thio Sam Hong (Thio Koen Po), Couw soe Boe-tong-pay. Sesudah berusia tujuh puluh tahun, ialah sesudah ilmu silatnya mencapai tingkatan sangat tinggi, barulah Thio Sam Hong menerima murid. Maka itu biarpun sendiri sudah berusia sembilan puluh tahun, tapi tujuh muridnya masih muda. Murid kepala, Song Wan Kiauw belum cukup empat puluh lahun. Sedang murid yang paling kecil, Boh Kok Seng,baru berusia belasan tahun.

Tapi meskipun begitu, meskipun murid2 itu masih berusia muda, mereka sudah melakukan pekerjaan2 yang menggemparkan dunia Kang ouw. Kalau menyebutkan nama mereka, orang2 Rimba Persilatan selalu mengacungkan jempol. Boe-tong Cit-hiap ( Tujuh Pendaikar dari Boe tong) adalah pendekar2 dari sebuah partai yang lurus bersih.” kata mereka

Pada permulaan tahun itu, Jie Thay Giam mendapat titan gurunya untuk pergi ke propinsi Hokkian guna membinasakan seorang penjahat besar yang sangat menindas rakyat jelata. Penjahat itu bukan saja berkepandaian tinggi, tapi juga licin luar biasa. Sesudah menyelidiki dua bulan lebih, barulah ia berhasil mencari sarang penjhat itu, yang lalu ditantang olehnya. Dalam pertempuran yang sangat hebat, ia telah membinasakan musuh nya dangan pukulan kesebelas dari Thay kek koen Hian-hian Tohoat. Manurut perhitungan, ia bisa menyelesaikan tugasnya dalam tempo sepuluh hari, tapi diluar dugaan ia memerlukan waktu lebih dari dua bulan. Saat manghitung2, hari ulang tahun kesembilan puluh gurunya ternyata sudah dekat sekali sehingga oleh karenanya, ia buru2 berangkat pulang dari kota Lang lam.

Makin lama jalannya jadi makin sempit dan sisi kanan jalanan itu berdampingan dengan pantai laut. Tiba2 ia lihat tanah datar yang licin mengkilap bagaikan kaca dan dibagi jadi petakan2 yang luasnya kira-kira 7-8 tombak persegi. Sebagai orang yang sering berkelana disebelah selatan dan utara Sungai besar, Thay Giam mempunyai banyak pengalaman, tapi belum pernah ia melihat tanah yang begitu luar biasa. Sesudah menanya seorang penduduk pribumi, baru ia tahu, bahwa petakan2 itu bukan lain daripada sawah garam Untuk membuat garam, penduduk disitu memasukkan air laut kedalam sawah tersebut. Setelah kering, mereka keruk tanah yang mengandung garam yang kemudian dimasak dan dijemur lagi sampai menjadi garam yang putih bersih.

“Sudah tigapuluh tahun aku makan garam, tapi baru sekarang kutahu bagaimana sukarnya membuat garam,” katanya didalam hati.

Selagi enak berjalan, se,-konyong2 ia melihat 30 orang lebih yang deagan memikul piKulan, mendatangi dengau cepat dari jalanan Kecil disebelah barat. Mereka itu mengenakan pakaian seragam baja dan celana pendek warna hijau, dan kepala mereka ditutup dengan tudung lebar. Sekelebatan saja, ia bisa menebak, bahwa isi pikulan itu ialah garam.

Ia tahu, bahwa pembesar disepanjang pantai biasanya sangat kejam dan rakus dan biasa memungut bea Cukai garam yang sangat berat. Maka itu, walaupun bertempat tinggal ditepi lautan, rakyat tidak kuat makan garam resmi, dan terpaksa membeli garam gelap. Dilihat potongan badan dan gerakan orang2 itu hampir boleh dipastikan, bahwa apa yang diangkat mereka adalah garam gelap. Hal ini sedikitpun tak mengherankan. Yang mengherankan adalah pikulan mereka. Setiap pikulan bukan bambu dan juga bukan kayu berwarna hitam dan tak mempunyai sifat melenting (membal), sehingga bisa diduga, bahwa pemikul2 itu terbuat dari besi. Apa yang lebih mengherankan lagi, ialah, walaupun saban orang mikul barang yang beratnya tak kurang dari tigaratus kati, tapi tindakan mereka cepat luar biasa, seolah tidak menginjak tanah dan dalam sekejap mereka sudah melewati Jie Thay Giam.

“Kawanan pengusaha garam gelap ini memang juga terdiri dari jago2,” katanya dida lam hati. “Sudah lama aku dengar, bahWa Hay see pay (Partei Pasir laut) di Kanglam yang jual bell garam gelap, mempunyai pengaruh yang sangat besar dan anggauta yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, adalah sangat luar biasa, jika duapuluh lebih ahli silat beramai-ramai memikul garam.°

Jie Thay Giam adalah seorang yang gemar menyelidiki hal2 aneh. Diwaktu biasa, ia tentu akan mencari tahu kejadian yang luar biasa itu. Tapi Sekarang , mengingat hari ulang tahun gurunya, ia sungkan membuang tempo dan sambil mengempos, ia lalu menyusul dan melewati pemikul2 garam itu, yang jadi heran melihat tindakan Jie Thay Clam yang begitu enteng.

Lewat magrib Jie Thay Giam tiba diSebuah kota kecil dan dari keterangan seorang penduduk, ia mengetahui, bahwa kota itu adalah Am tong tin dalam wilayah Cie yauw koan. Dari situ, sesudan menyeberang sungai Cian tong kang ia akan tiba di Lim an dan dengan membelok kejurusan barat laut, sesudan melewati propinsi Kang say dan Ouw lam, barulah ia tiba di Boe-tong. Malam itu, karena tak ada perahu untuk menyeberang sungai, ia terpaksa menginap disebelah rumah penginapan kecil di Am tong tin.

Sesudah makan malam, baru saja mencuci kaki untuk naik keranjang, tiba2 ia dengar suara ribut-ribut dari sejumlah orang yang mau menumpang nginap. Mendengar lidah Ciat kang timar dan suara yang nyaring luar biasa, ia melongok keluar dan ternyata, bahwa orang2 itu bukan lain daripada kawan pemikul garam yang ia bertemu tadi. Menurut kebiasaan, orang2 dari perdagangan garam gelap adalah kaum kasar yang suka sekali minum arak dan makan minum seperti setan kelaparan. Tapi berbeda dengan yang lain, mereka hanya minta disediakan nasi, sayur-sayur dan tauw hu.
Sesudah bersantap, tanpa minum setetes arak, mereka lalu pergi tidur. Jie Thay Ciam sendiri lantas saja bersamadhi dan melatih lweekang untuk beberapa lama sesudah itu, ia segera merebahkan badan diatas pembaringan.

Kira2 tengah malam, dikamar sebelah sekonyong konyong terdengar suara keresekan. Pada waktu itu, Jie Thay Giam sudah menyelami ilnu silat Boe tong pay dan ia sudah mencapai tingkatan yang sangat tinggi, sehingga, biarpun sedang pulas nyenyak, suara keresekan itu sudah cukup untuk menyadarkannya.
Tiba2 ia dengar suara orang berbisik. “Perlahan2. Jangan mengageti tamu dikamar sebelah supaya tidak menimbulkan banyak urusan”. Pintu kamar dibuka per lahan lahan dan duapuluh orang lebih itu lantas keluar kedalam pekarangan penginepan. Jie Thay Giam mengitip dijendela. Sambil memikul pikulan, mereka semua keluar dangan melompati tembok, Walaupun tembok itu tidak tinggi, tapi bahwa mareka bisa melompatinya sambil memikul barang yang begitu berat, merupakan bukti, bahwa kepandaian mereka tak boleh di pandang enteng.

“Ilmu Silat mereka belum bisa menandingi aku, tapi dua puluh orang lebih yang rata2 memiliki kepandaian tinggi, bukan kejadian yang sering ditemui,” kata Jia Thay Giam didalam hati. Untuk beberapa saat ia berdiri bengong dengan perasaan sangsi. Kata2 orang itu “jangan mengageti tamu dikamar sebelah supaya tidak menimbalkan banyak urusan?” sangat mengganggu pikirannya. Jika ia tidak dengar perkataan itu, biarpun terbiasa, ia tentu sungkan memperdulikan urusan orang.

Tapi kata2 itu sudah lantas membangunkan rasa kesatriannya. “Kejahatan apa yang mau dilakukan mereka tanyanya didalam hati.
“Sesudah berpapasan denganku, tak bisa tidak aku mesti mencampuri. Jika aku bisa menolong satu dua orang, meskipun tidak keburu hadir dalam peringatan hari ulang tahun In-soe, In-soe tentu tak akan gusari aku.”

Jie Tay Giam sudah memikir begitu, olah karena setiap kali menerima murid baru, paling dulu Thio Sam Hong menasehati, bahwa sesudah berhasil dalam mempelajari ilmu silat, si murid harus mengutamakan sifat2 kesatria dan selalu bersedia menolong sesama manusia yang memerlukan pertolongan. Itulah sebabnya mengapa nama Boe-tong Cit-hiap tersohor bukan main. Mereka tersohor bukan saja sebab berkepandaian tinggi, tapi juga sebab sepak terjangnya sangat mulia.
Demikianlah, pada saat itu, dengan mengingat nasehat gurunya, Jie Thay Giam segera menyoren golok dan membekal kantong senjata rahasia, akan kemudian melompat keluar dari jendela dan tembok.

Begitu berada di luar rumah penginapan, ia dengar suara tindakan kaki kejurusan timur laut. Buru2 ia mengempos semangat dan mengejar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.

Malam itu malam tak berbintang, langit gelap gulita, ditutup awan awan tebal. Melihat tindakan orang orang itu yang cepat liar biasa, seolah olah mereka tidak merasakan tindihan pikulan yang sangat berat, Jie Thay Giam jadi semakin heran. “Penjual garam gelap berjalan ditengah malam buta adalah kejadian yang biasa saja,” pikirnya. “Apa yang luar biasa adalah kepandaian orang2 itu. Dengan memiliki ilmu silat yang begitu tinggi, kalau benar2 mereka mau berbuat jahat, jangankan merampok rumah hartawan, sedangkan sekalipun menggarong gudang pemerintah, mereka masih dapat melakukan tanpa bisa dicegah oleh opas2 atau tentara dikota ini. Mengapa mereka mau memikul garam ditengah malam buta untuk mendapatkan keuntungan yang sangat kecil? Tak bisa jadi. Dalam hal ini pasti terselip latar belakang yang luar biasa.” Memikir begitu ia terus menguntit.

Berselang kurang lebih setengah jam, kawanan penjual garam gelap itu sudah melalui dua puluh li lebih. Sedikipun mereka tak merasa dibuntuti orang, karena ia berjalan dengan terburu-buru dan juga sebab yang menguntit mempunyai ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi.

Tak lama kemudian, mereka tiba dijalanan yang berdampingan dengan pantai laut dimana gelombang demi gelombang menerjang ketepi dengan mengeluarkan suara keras.

Selagi enak berjalan, mendadak salah seorang yang rupanya jadi pemimpin rombongan mengeluarkan seruan perlahan dan semua kawannya segera menghentikan tindakan. “Siapa?” bentak si pemimpin.

“Apa sahabat2 dari Tiga Pinggir Air?” Balas tanya seorang yang berada di tempat gelap.

“Benar, siapa tuan?” tanya pula si pemimpin.

Jie Thay Giam bingung. “Apa itu, sahabat sahabat dari Tiga Pinggir Air?” tanya didalam hati. Tapi dilain saat ia mandusin dan dapat menebak bahwa “Tiga Pinggir Air” berarti “Hay-see-pay” terdapat huruf “Air”.

“Aku menasehati supaya kamu jangan campur-campur urusan To liong to,” kata pula orang yang berada ditempat gelap. ( To-Liong to Golok membunuh naga ).

Si pemimpin terkejut. “Apa tuan juga datang urusan To liong-to?” tanyanya.

“Hu hu hu ” orang itu tertawa dingin. Dia tidak memberi jawaban.

Mendengar suara tertawa itu, jantung Jie Thay Giam memukul keras. Suara itu aneh tak mungkin dilukiskan bagaimana anehnya dan begitu masuk kedalam kuping, pikiran orang yang mendengarnya lantas kalang kabut, se akan akan belasan ular bulu merayap ditulang punggung. Dengan perasaan sangat heran indap indap ia maju kedepan.

Dengan matanya yang terlatih, segera juga ia melihat, bahwa ditengah jalan menghadang seorang lelaki yang tubuhnya kurus dan kecil. Karena gelap gulita, ia tak dapat melihat tegas muka orang itu. Apa yang dapat di lihatnya ialah orang itu mencekal sebatang tongkat, sedang pada pakaiannya terdapat titik titik sinar yang berkeredepan, sehingga ia menarik kesimpulan bahwa orang itu mengenakan jubah sulam.

“To Liong to adalah mustika partai kami,” kata pula si pemimpin Hey see pay. “Golok itu telah di curi orang dan adalah sewajarnya saja jika kami berusaha untuk mendapatkan nya kembali.”

Sikurus lagi-lagi tertawa dingin dan tetap menghadang di tengah jalan.

Mendadak, seorang yang berdiri dibelakang si pemimpin, membentak dengan suara keras “Minggir! Dengan mencegat kami, kau hanya mencari mampus…”
Belum habis perkataannya, ia sudah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan jatuh kebelakang. Semua kawannya terkesiap. Hampir berbareng, sinar berkeradepan di jubah sikurus kering bergoyang goyang beberapa kali dan dia menghilang dari pemandangan.

Para anggauta Hay see pay kaget tercampur gusar, karena kawan ia yang baru jatuh sudah putus napasnya dan badannya meringkuk beberapa antaranya sudah melepaskan pikulan untuk mengejar sikurus. Tapi musuh itu yang gerakannya cepat bagaikan kilat sudah tak kelihatan bayang2annya lagi.

Jie Thay Giam heran bukan main. “Senjata rahasia apa yang digunakan oleh sijubah sulam?” tanyanya didalam hati. “Cara bagaimana ia dapat membinasakan orang dengan tangan dan badan tidak bergerak? Aku berdiri cukup dekat, tapi tak bisa lihat gerakan apapun juga.” la terus bersembunyi dibelakang batu besar, supaya tidak dilihat oleh orang2 Hey see pay yang sedang gusar.

“Biarlah kita tinggalkan jenazah Loo sie di tempat ini untuk sementara waktu,” demikian terdengar lagi suara pemimpin. “Kita harus membereskan dulu urusan yang lebih penting. Sebentar, sesudah selesai urusan kita, baru kita merawat jenazah Loo sio. Kitapun harus nyelidiki siapa adanya musuh itu. Semua kawannya mengiakan dan segera berlalu sambil memikul pikulan mereka.

Sesudah mereka pergi jauh barulah Jie Thay Giam keluar dari tempat sembunyi dan mendekati jenazah. Orang itu mati dengan badan meringkuk seperti seekor udang dan dari tanda tandanya kebinasaannya disebabkan racun yang sangat hebat. Sebab takut kena racun, ia tak berani menyentuh mayat itu. Ia jadi sangsi dan sesudah berpikir beberapa saat, ia lalu mengempos semangat dan menyusul kawanan Hay soe pay yang sudah pergi agak jauh.

Sesudah melalui beberapa li si pemimpin rombongan tiba-tiba mengeluarkan seruan perlahan dan semua kawannya segera berpencaran dan mendekati sebuah gedung disebelah timur laut dengan tindakan perlahan.

“Apakah golok To liong to berada dalam rumah itu?” tanya Jie Thay Giam dalam hati.

Diatas gedung besar itu terdapat sebuah lubang asap, darimana terus mengepul asap hitam yang dalam tempo lama berkumpul ditengah udara, tanpa mau buyar. Kawanan penjual garam gelap itu segera menaruh pikulan ditanah dan setiap orang lalu mengeluarkan sendok kayu yang digunakan untuk menyendok semacam benda dari dalam keranjang mereka. Benda itu lalu ditaburkan diseputar gedung. Melihat warna yang putih bagaikan salju, Jie Thay Giam merasa pasti, bahwa benda tu ialah semacam garam.

“Apa yang disaksikan olehku pada malam ini sungguh luar biasa,” pikirnya. “Jika diceritakan kepada In soe belum tentu ia mau percaya.”

Waktu menyebarkan garam itu, orang2 Hay see pay kelihatan sangat ber hati2 seperti juga kuatir benda itu menyentuh badan mereka. Sebagai seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kang ouw, Jie Thay Giam lantas saja mengerti bahwa garam itu mengandung racun hebat untuk mencelakakan penghuni gedung itu. Jiwa kesatrianya lantas saja terbangun. “Siapa salah, siapa benar, aku tak tahu, ” pikirnya.”Tapi perbuatan orang Hay soe pay terlalu rendah. Biar bagaimanapun juga, aku harus memberitahukan penghuni rumah itu, supaya dia jangan sampai celaka dalam tangan manusia2 rendah,” Melihat orang2 itu belum menyebar kan garam dibagian belakang rumah, buru2 ia mengmbil jalan mutar kebelakang gedung dan lain melompat masuk kedalam tembok pekarangan.

Dalam pekarangan yang sangat luas berdiri lima buah bangunan dengan tigapuluh atau empatpuluh kamar dan apa yang mengheran kan, seluruh gedung itu gelap gulita, tidak terlihat sinar lampu atau lilin. “Dirumah tengah, dari mana mengepul asap hitam, pasti ada manusianya, pikir-Jie Thay Glam. Karena kuatir penghuni runah menganggapnya sebagai musuh, ia lalu mengambil sebatang cabang kering, menyalakan api dan lalu menyulutnya. Sambil mengangkat obor itu tinggi2 ia berkata.”Murid Boe-tong-pay. Jie Thay Giam, datang berkunjung untuk memberitahukan satu rahasia. Aku tidak mengandung maksud kurang baik, harap kalian jangan curiga,” Walau perlahan suaranya tajam dan jauh, sehingga menurut perhitungan, setiap perkataannya bisa didengar oleh penghuni dalam lima rumah itu. Tapi sesudah mengulangi perkataannya dua kali, ia masih juga belum mendapat jawaban.

Jie Thay Giam adalah seorang pendekar dari sebuah partai kenamaan dan tentu saja nyalinya labih besar dari manusia biasa. Biarpun gedung itu menyeramkan, ia sungkan memperlihatkan kelemahan. Tanpa menghunus golok dan dengan hanya mengempos semangat supaya panca indranya jadi lebih tajam, ia segera bertindak masuk kedalam rumah yang mangeluarkan asap hitam.

Setelah melewati sebuah cim chee, ia tiba diruangan belakang. Mendadak ia berdiri terpaku, sebab dipinggir ruang itu menggeletak dua mayat, yang satu mengenakan pakaian too jin (imam), sedang yang lain memakai pakaian petani. Usia kedua orang itu sudah lanjut dan mukanya menyeramkan, seperti juga kesakitan hebat sebelum menghembuskan napas yang penghabisan. Tapi dibadan mereka sedikitpun tidak terlihat tanda-tanda luka barang tajam.

Jie Thay Giam berjalan terus untuk menyelidiki keadaan rumah itu. Ia mendapat kenyataan bahwa setiap pintu terbuka lebar tapi semua kamar gelap gulita, sehingga ia tak bisa lihat apa yang terdapat dalam kamar-kamar itu. Kecuali obor yang dibawanya, tidak terdapat lain penerangan seluruh rumah yang luas itu. Meskipun bernyali besar, mau tak mau hatinya berdebar juga.

Dari situ, ia terus pergi keruangan samping, dimana ia melihat pemandangan yang lebih hebat lagi. Dalam ruangan itu, menggeletak mayat dua puluh orang lebih dengan senjata2 mereka. Dilihat dari muka mayat2 itu, sebagian sudah mati lama juga sebagaian lagi baru saja mati. “Dari senjatanya, diantara mereka terdapat orang2 pandai.” katanya didalam hati. “Senjata untuk menotok jalan darah, roda Ngo-heng-loen, Poan-koan pit dan sebagainya. Jika orang2 itu tidak mahir dalam ilmu menotok jalan darah, mereka tentu tidak menggunakan senjata itu. Mengapa mereka mati disini? Mengapa ?”

Semula ia masuk gedung itu dengan sikap sembarangan. Tapi sekarang sesudah melihat mayatnya begitu banyak jago-jago, ia lantas saja berhati-hati. “Murid Boe-tong-pay Jie Thay Giam minta bertemu dengan Cianpwee untak melaporkan suatu urusan,” teriaknya kembali. Jawaban tetap tidak ada, tapi diruangan tengah terdengar suara orang meniup api dan suara merontoknya perapian. Dengan tindakan hati-hati, ia lalu menghampiri suara itu dan sesudah melewati tembok dan sekosol, tibalah ia di ruangan tengah.

Ia terkejut sebab merasakan menyambarnya hawa yang sangat panas. Ditengah-tengah ruangan terdapat sebuah dapur besar yang terbuat dari batu dan api di dalam dapur itu menjilat-jilat keatas. Diseputar dapur berdiri tiga orang yang sedang meniup dengan menggunakan tenaga Lweekang, sedang diatas dapur menggeletak melintang sedatang pedang yang panjangnya kira-kira empat kaki. Sebab panasnya, dari merah sinar api berubah hijau dan dari hijau berubah merah, tapi sinar golok tersebut masih tetap berkeredepan dan sedikitpun tidak melumer atau rusak karena panas api.

Ketiga orang rata2 berusia kurang lebih enampuluh tahun dan mereka semua mengenakan jubah hijau. Muka mereka penuh debu dan jubah mereka banyak berlubang akibat peletikan api, diatas kepala mereka mengepul uap putih dan saraya mengempos semangat, perlahan2 mereka meniup api. Setiap kali ditiup, api itu menjilat keatas kira2 lima kaki tingginya dan menggulung golok yang berkeredepan itu. Jie Thay Giam mengerti, bahWa ketiga orang tua itu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Dengan berdiri ditempat yang berapa tombak jauhnya dari perapian itu, ia sudah merasakan hebatnya hawa panas, sehingga dapatlah dibayangkan panasnya hawa yang menyambar ketiga kakek itu, yang berdiri dipinggir dapur. Tapi aneh sungguh, biarpun digulung api yang bersinar hijau, golok itu masih tetap utuh dan Warna nya tidak berubah sama sekali.

Mendadak diatas genteng terdengar suara menyeramkan “Berhenti! Marah golok mustika itu adalah kedosaan besar.”

Jantung Je Thay Giam memukul keras, karena ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara si jubah sulam. Tapi ketiga kakek itu tidak menghiraukannya dan malahan meniup semakin hebat. Mendadak hampir berbareng dengan terdengar nya suara tertawa dingin, satu bayangan yang bersinar emas berkelebatan dan bagaikan jatuhnya selembar daun, sijubah sulam sudah berdiri ditengah-tengah ruangan. Dengan bantuan sinar api, Jie Thay Giam bisa lihat tegas romannya orang itu, yang ternyata adalah seorang pemuda yang baru berusia kurang lebih duapuluh tahun, dengan muka yang tampan, tapi pucat dan bersorot hijau. Sulaman benang emas dijubahnya yang sangat indah dan mewah, merupakan gambar-gambar harimau, singa bunga-bunga. Dengan sikap tenang dan tanpa membawa senjata, ia berkata dengan suara dingin “Tiang pek sam khim, mengapa kau akan merusakkan senjata mustika itu ? “Seraya berkata, begitu ia maju setindak.

Sikakek yang berdiri disebelah barat mendadak mementang lima jari tangannya yang, terus menyambar kemuka orang. Sijubah sulam mengempas dan maju lagi setindak. Kakek yang berdiri disebelah timur dengan cepat meagambil satu martil yang terletak di pinggir dapur dan lalu menghantam kepala orang. Tapi gerakan pemuda itu gesit luar biasa. Dengan sekali miringkan badan, ia kermbali bisa meloloskan diri dari serangan kedua Martil itu menghantam tempat kosong dan jatuh dilantai dengan muncratnya lelatu api. Ternyata batu lantai bukan biasa, tapi batu gunung yang sangat keras.

Sikakek yang disebelah barat lantas saja bantu menyerang dengan kedua tangan yang jari2nya dipentang seperti cakar ayam. Ia menyerang secara nekat2an dengan pukulan-pukulan yang membinasakan, sehingga Jie Thay Giam jadi merasa sangat heran, “Sakit hati apa yang didendam orang-orang ini, sehingga mereka berkelahi dengan menggunakan pukulan pukulan yang kejam itu?” tanyanya didalam hati.

Tapi kepandaian si jubah sulam benar-benar luar biasa. Walaupun diserang oleh kedua kakek itu, ia masih bersenyum senyum dan melayani dengan sikap acuh tak acuh. Sesudah bertempur beberapa jurus, si kakek yang ber senjata martil membentak: “Siapa tuan ? Biar maui golok mustika, tuan harus lebih dulu memberitahukan she dan namamu,”

Tapi si jubah sulam tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin, mendadak ia memutar badan, disusul dengan suara “krak-krek” dari sikakek yang disebelah timur, terbang menghantam dan menjebloskan atap rumah, akan kemudian jatuh dipekarangan gedung !

Kakek yang martilnya terbang, dapat berpikir cepat. Ia tahu, bahwa mereka tengah menghadapi musuh yang satu, pihaknya dan meskipun tiga lawan satu, pihaknya pasti bakal dapat dirobohkan. Maka itu, buru2 ia mengambil satu jepitan api untuk menjepit golok To Liong to.

Pada waktu itu si kakek yang berdiri disebelah selatan, sudah siap sedia dengan senjata rahasianya dan menunggu kesempatan untuk menimpuk si jubah sulam. Akan tetapi karena gerakan pemuda itu gesit luar biasa, maka sedari tadi ia belum mendapatkan lowongan untuk menyerang. Sekarang, begitu lihat sikakek disebelah timur menangkat jepitan untuk menjepit To-Liong to hatinya terkesiap. Ia yakin, begitu lekas golok mustika itu jatuh kedalam tangan orang lain, ia sukar mendapatkannya kembali. Sesudah sikakek memiliki To liong to, mana mampu ia melawannya? Dalam bingungnya, ia jadi nekad dan bagaikan kilat, tangannya menyambar kedapur dan mencekel gagang golok.

Meskipun tidak sampai lumer sebagai,akibat dari pembakaran yang sangat hebat itu, golok itu panas luar biasa. Begitu tangan sikakek mencekel gagang golok, uap putih mengepul keatas dan semua orang mengendus bau daging dibakar. Tapi ia seperti juga tidak merasa sakit dan membelatak, ia tetap mencekel gagang golok itu. Karena kaget, pertempuran terhenti dan semua orang berdiri terpaku. Dilain saat, kakek itu sudah melompat kebelakang dan kemudian, sambil menenteng To-liong-to, bagaikan seorang edan, ia kabur dari ruangan itu.

Sijubah sulam tertawa dingin “Mana bisa begitu mudah?” katanya seraya turut melompat dan menjabret punggung sikakek yang lalu digentak kebelakang. Orang tua itu membalik tangannya dan To-Liong-to manyambar. Sebelum mata golok tiba, hawa panas sudah menyambar muka sijubah sulam, sehingga rambut dan alisnya lantas jadi hangus.

Pemuda itu terkejut dan tak berani menyambut dengan tangannya. Cepat bagaikan kilat, kedua tangannya mendorong kedepan dan tubuh sikakek terbang kearah mulut dapur!”

Jie Tay Giam yang sadari tadi menonton pertempuran itu sebenarnya tak ingin mencampuri sebab persoalan golok mustika tidak bersangkut paut dengan dirinya. Tapi pada detik jiwa sikakek terancam kebinasaan tanpa memikir panjang2 lagi, ia mengempos semangat dan melompat. Sedang badannya masih berada ditengah udara ia menjambret rambut orang tua itu law mengangkatnya keatas dan kemudian, dengan gerakan yang sangat indah ia hinggap diatas lantai. Lompatan itu yang merupakan ilmu mengentengkan badan paling tinggi dalam Rimba Persilatan dinamakan Tee in ciong “Lompatan awan tangga”.

Si jubah sulat dan Tiang-Pek-Sam-khim yang tadinya tidak memperhatikan padanya jadi kaget bukan main.

“Bukankah lompatan itu Tee in ciong yang kesohor dikolong langit?” tanya pemuda itu.

Mendengar orang menyebutkan nama ilmunya. Jie Thay Giam bermula merasa kaget, tapi kemudian ia girang karena mendapat pujian, “ilmu yang cetek itu tiada artinya untuk di-sebut2″, jawabnya dengan suara merendah. “Apakah aku bisa mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia?”

“Bagus! Bagus!” katanya, tanpa menjawab pertanyaan orang. “Orang mengatakan, bahwa ilmu mengentengkan badan Boe tong pay tiada keduanya dalam dunia. Perkataan itu ternyata ada benarnya juga”. Walaupun kata2nya memberi pujian, tapi suaranya bernada sombong, se olah2 seorang Cianpwee orang yang tingkatannya lebih tinggi sedang memuji kepandaian seorang Hoanpwee orang yang tingkatannya lebih bawah.

Jie Thay Giam mendongkol tapi ia menahan sabar. “Dengan sekali bergerak tuan sudah membinasakan seorang jago Hay see pay, katanya kepandaian tuan sungguh2 tak bisa diukur bagaimana tingginya.”

Si baju sulam kaget. “Eeh, dia lihat aku, tapi aku sendiri tak lihat dia,” katanya didalam hati. “Dimana bocah itu bersembunyi?”

Ia tersenyum tawar dan berkata dengan suara yang tawar pula. “Benar ilmu itu sukar dimengerti oleh orang luar. Jangankan tuan, sedangkan Ciang boen jin Boe tong pay sendiripun belum tentu bisa mengerti.”

Jie Thay Giam adalah seorang yang sangat sabar tapi mendengar hinaan terhadap gurunya, darahnya naik juga. Baik juga ia masih bisa menguasai dirinya dan merasa tidak perlu untuk menambah musuh karena beberapa perkataan kurang ajar itu ia bersenyum seraya berkata. “Dalam dunia persilatan memang terdapat banyak sekali ilmu2 yang murni dan yang sesat Boe tong pay hanya memiliki sekelumit ilmu dari lautan ilmu yang dalam dan luas. Ilmu yang dimiliki tuan memang juga tidak dipunyai oleh guruku.” Jawabnya yang sungkan itu mengandung duri dan ia seperti juga mau mengatakan bahwa Boe tong pay memang tidak mengerti segala ilmu sesat dan menyeleweng.

Sementara itu, sikakek yang mencekal golok mendadak memutar To Liong to dan lari menerjang keluar.

Jie Thay Giam yang berdiri paling dekat, paling dulu menerima serangan. Tiba2 ia merasakan sambaran angin hebat kearah pinggangnya. Sesudah menolong jiwa orang tua itu, sedikitpun ia tidak duga, bahwa dirinya bakal diserang cara begitu. Pada saat yang sangat berbahaya, ia menotol lantai dengan kakinya dan badannya lantas saja melesat keatas. Kakek itu sendiri terus lari keluar sambil menyabetkan To liong to secara membabi buta.

Si jubah sulam dan dua kakek lainnya tidak berani merintangi dengan kekerasar dan seraya ber-teriak2, mereka lalu mengumbar dari belakang.

Jie Thay Giam pun lantas turut mengudak. Berkat ilmu mengentengkan badannya yang sangat tinggi, biarpun mengubar belakangan, ia lebih dulu menyandak kakek itu, yang lari dengan tindakkan limbung dan kedua tangan mencekel To liong to, seperti juga tidak kuat menentengnya dengan satu tangan.

Begitu tahu dicandak orang, sambil mangeluarkan teriakan keras, ia melompat jauh dengan menggunakan seantero tenaga dan badannya lantas saja melesat keluar pintu depan. Heran sungguh, begitu kedua kakinya hinggap di tanah, ia terguling dan berteriak kesakitan seperti juga terluka berat.

Si jubah sulam dan kedua kakek lainnya menyusul dan coba merebut To liong to. Tapi dengan serentak merekapun turut2 robah dan mengeluarkan teriakan menyayat hati, seolah2 dipagut ular atau lain binatang berbisa. Sijubah sulam yang ilmunya paling tinggi dengan cepat melompat bangun dan lantas kabur sekeras2nya. Tapi ketiga kakek itu terus bergulingan dan tak bisa bangun lagi.

Melihat kejadian luar biasa itu Jie Thay Ciam segera bergerak untuk memberi pertolongan. Mendadak ia kaget sendiri sebab tiba2 saja ia ingat garam beracun yang disebar oleh orang2 Hay see pay. Melihat akibatnya terhadap Tiang-pek Sam khim dan sijubah sulam, racun itu mestinya hebat luar biasa ia tahu bahwa seputar gedung itu telah dikurung dengan garam beracun sehingga ia sendiripun tak tahu bagaimana harus meloloskan diri.

Ia berdiri diam dan mengasah otak. Sekonyong konyong ia lihat dua kursi tinggi dikedua samping pintu dan mendadak ia dapat pikiran baik. Buru2 ia membalik kedua kursi itu dan sambil menggaetkan kakinya dikursi ia berjalan seperti orang main jangkungan.

Ketiga orang tua masih terus bergulingan diatas tanah sambil mengeluarkan teriakan hebat. Thay Giam mengerti bahwa ia sedang berada ditempat yang sangat berbahaya cepat cepat ia merobek ujung bajunya dan dengan menggunakannya sebagai alat ia men jambret punggung sikakek yang mencekal To liong to dan sambil menentengnya ia lari kejurusan timur se-cepat2nya.

Inilah kejadian yang tak di duga2 oleh orang Hay see pang dengan serentak mereka melepaskan sejata rahasia. Tapi Jie Thay Giam yang gerakannya cepat luar biasa dalam sekejap sudah berada diluar jarak senjata rahasia. orang2 Hay see pang tak mau mengerti dan terus mengejar se-keras2nya.

Se konyong2, Jie Thay Giam melompat tinggi, sedang kedua kakinya menendang kedua kursi itu lantas saja terbang kebelakang dan menghantam beberapa pengejarnya. Mereka berteriak kesakitan dan semua kawannya terpaksa berhenti sejenak untuk melihat
keadaan mereka.

Dengan menggunakan kesempatan itu sambil mengempos semangat, Jie Thay Giam mempercepat tindakannya dan dalam sekejap ia sudah meninggalkan pengejarnya jauh sekali.

Sesudah lari lagi beberrapa jauh, ia hanya mendengar suara ombak laut dan suara kejaran musuh sudah tidak terdengar lagi.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
Sikakek tidak menjawab. Ia merintih kesakitan “Lebih baik cuci badannya yang penuh garam beracun,” pikir Thay Giam. Ia segera membawa orang tua itu keair yang cetek dan lalu melemparkannya keair itu, dengan menjaga supaya air laut tidak mengenakan badannya sendiri. Beberapa saat kemudian, kakek itu kelihatan tersadar, tapi belum bisa bangun. Selagi Thay Giam mau mengangsurkan tangan untuk menariknya, tiba2 menyambar gelombang besar yang secara kebetulan, sudah melontarkan badan situa keatas pasir.

“Sekarang kau sudah terlolos dari bahaya dan karena mempunyai urusan panting aku tidak bisa menemani terus, maka disini saja kita berpisahan.” kata Thay Giam.

Sambil menekan pasir dengan kedua tangan nya si kakek mengangkat badannya. “Kau kau…mengapa kau tidak merampas golak mustika ini?” tanyanya dengan suara heran.

Thay Giam tertawa. “Biarpun bagus, golok itu bukan milikku,” jawabnya. “Bagaimana aku bisa merampasnya?” Si kakek jadi semakin heran. Ia tak percaya dalam dunia ada orang begitu mulia. “Kau..,.kau…tipu busuk apa yang dijalankan olehmu?” tanyanya. “Kau ingin menyiksa aku?”

“Kita sama sekali tidak bermusuhan, bagai mana aku bisa menyiksa kau?” Thay Giam balas tanya seraya tersenyum. “Malam ini, secara kebetulan kita bertemu dan karena merasa tak tega melihat kau terluka, aku sudah memberi pertolongan.”

Orang tua itu menggeleng2kan kepalanya. “Jiwaku berada dalam tanganmu, kalaukau mau ,bunuhlah sekarang!” katanya dengan suara keras. Tapi jika kau turunkan tangan beracun, sesudah mati aku akan jadi setan penasaran dan akan terus me-ngubar2 kau.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar