Cerita Silat
To Liong To – 1
MUSIM semi gembira-ria,
Setiap peringatan Han-sit,
Bunga Lee-hoa mekar semua.
Sutera putih licin,
Bau harum bertebaran,
Pohon2 bagaikan giok,
Tertutup salju berhamburan.
Malam yang sunyi,
Sinar yang mengambang,
Cahaya, yang dingin.
Diantara bumi dan langit,
Sinar perak menyelimuti semesta a1am.
Ah, dia bagaikan Dewi dari gunung Kouwsia,
Bakatnya cerdas dan suci,
Wataknya agung dan murni.
Laksaan sari bunga besar kecil tak ketentuan,
Tapi siapa berani mengatakan, dia tak
berendeng dengan bunga2 kenamaan?
Jiwanya gagah,
Kepintarannya berlimpah2,
Sesudah rontok, semua sama.
Maka itu, dia pulang kekeraton langit’
Guna melihat keindahan nan ABADI.
Setiap peringatan Han-sit,
Bunga Lee-hoa mekar semua.
Sutera putih licin,
Bau harum bertebaran,
Pohon2 bagaikan giok,
Tertutup salju berhamburan.
Malam yang sunyi,
Sinar yang mengambang,
Cahaya, yang dingin.
Diantara bumi dan langit,
Sinar perak menyelimuti semesta a1am.
Ah, dia bagaikan Dewi dari gunung Kouwsia,
Bakatnya cerdas dan suci,
Wataknya agung dan murni.
Laksaan sari bunga besar kecil tak ketentuan,
Tapi siapa berani mengatakan, dia tak
berendeng dengan bunga2 kenamaan?
Jiwanya gagah,
Kepintarannya berlimpah2,
Sesudah rontok, semua sama.
Maka itu, dia pulang kekeraton langit’
Guna melihat keindahan nan ABADI.
Sajak diatas sajak “Boe siok liam” (Cita2 hidup
bebas dari segala keduniawian), adalah buah kalam seorang ahli silat ternama
dijaman Lan-song (kerajaan Song Selatan). Orang itu she Khoe bernama Cie Kie
(Kee) bergelar Tiang coen coe, salah seorang dari Coan cin Cin Cit coe (Tujah
Coe dari agama Coan cin kauw)
Dalam sajak itu Khoe Cie Kie bicara tentang bunga
Leehoa. Tapi sebenarnya, dalam melukiskan keagangan bunga Leehoa, is ingin
memberi pujian kepada seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian serba
putih. la membandingkan wanita itu seperti “Dewi dari gunung Kouw sia, bakatnya
cerdas dan suci, wataknya agung dan murni.” Ia memujinya sebagai manusia yang
“jiwanya gagah kepintarannya ber-limpah2.”
Siapakah wanita yang mendapat pujian sedemikian
tinggi dari seorang, beribadat yang berilmu itu ?
Ia adalah Siauw Liong Lie, seorang jago betina
parte Kouw bok pay (parte Kuburan tua). Ia suka mengenakan pakaian serba putih,
sehingga se-olah2 pohon giok yang tertutup salju Dengan sifat2nya yang bersih
dingin is se-akan2 sinar rembulan yang menyelimuti semesta alam dengan sinarnya
yg teduh dan dingin.
Waktu masih berdiam di Ciong Lan Sam Siauw Liong
Lie pernah jadi tetangga Kho Cie Kie dan sesudah melihat gadis itu yang elok
luar biasa. Cie Kie segera menulis sajak “Boe siok-liam” untuk memujinya.
Tapi sekarang Kho Cie Kie sudah lama meninggal
dunia, sedang Siauw Liong Lie pun sudah menikah dengan Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Akan tetapi, pada suatu hari, dijalanan gunung
Siauw sit san, di propinsi Holam, terlihat seorang gadis remaja yang sedang
berjalan sambil menundukkan kepada dan menghafal sajak “Boe siokliam.”
Gadis itu, yang berusia kira-kira delapan belas
tahun dam mengenakan pakaian warna kuning menunggang seekor keledai kurus.
Perlahan-lahan binatang itu mendaki jalanan gunung yang sempit. Sambil termenung2
diatas tunggangannya, sinona berkata dalam hatinya. “Ya ! Memang juga, hanyalah
seorang seperti Liong Cie-cie yang pantas menjadi isteri dia.”
“Dia” adalah Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Keledai berjalan terus, perlahan-lahan.
Si nona menghela papas dan berkata dengan suara
perlahan. “Berkumpul gembira, berpisahan menderita……”
Gadis tersebut, yang berpakaian sederhana dan yang
pada pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek, berjalan dengan paras muka
tenang, sehingga dengan muka sekelebatan saja, orang bisa menebak, bahwa ia
adalah seorang yang sadah biasa berkelana dalam dunia Kang-ouw. Ia berada dalam
usia remaja, usia riang gembira. Menurut akuran biasa, dalam usia belasan,
pemuda atau pemudi tak mengenal apa yang dinamakan penderitaan atau kedukaan.
Akan tetapi, nona itu berada di luar dari ukuran biasa. Pada paras mukanya yang
cantik bagaikan sekuntum bunga mawar, terlihat sinar yang guram. Alisnya
berkerut, seolah-olah serupa pikiran berat sedang menindih hati iya.
Nona itu she Kwee bernama siang, puteri ke dua dari
Tayhiap Kwee Ceng dan Liehiap Oey Yong. Dalam dunia Rimba Persilatan, ia di
juluki sebagai “Siauw-tong-sia” (si Sesat kecil dari Timur). Dengan seekor
keledai dan sebatang pedang, ia berkelana untuk menghilangkan kedukaan. Tapi
diluar dugaan semakin jauh ia berkelana mendaki gunung2 yang indah dan sunyi
semakin besar kedukaannya.
Jalan kecil itu, dibuat atas perintah Kaizar Kocong
dari kerajaan Tong, untuk memudahkan lalu lintas kekuil Siau-lim-sie.
Sesudah berjalan beberapa lama, Kwee Siang melihat lima buah air terjun digunung seberang dan dibelakang sebuah tikungan, apat2 terlihat tembok dap genteng dari se buah kuil yang besar luar biasa.
Sesudah berjalan beberapa lama, Kwee Siang melihat lima buah air terjun digunung seberang dan dibelakang sebuah tikungan, apat2 terlihat tembok dap genteng dari se buah kuil yang besar luar biasa.
Sambil mengawasi bangunan2 yang berderet, si nona
berkata dalam hatinya. “Semenjak dulu Siauw lim sie dikenal sebagai pusat
pelajaran ilmu silat. Tapi mengapa, selama dua kali diadakan pertandingan di
puncak gunung Hwa-san, diantara lima jago utama tidak terdapat orang yang
berkepandaian Cukup tinggi? Atau apakah, karena sudah memiliki ilmu yang sangat
tinggi, mereka sung kan mencampuri segala pergaulan didalam dunia?”
Sambil berpikir, ia mendekati kuil itu.
Ia turun dari tunggangannya dan menuju ke pintu
kelenteng. Ia melewati pohon2 itu yang berdiri sejumlah pay batu yang sebagian
besar sudah rusak, sehingga hurup2nya tak dapat dibaca lagi.
Si nona menghela napas. “Ah ! Huruf2 yang terpahat di pay batu sudah hampir tak terbaca karena lamanya tempo, tapi mengapa, huruf2 yang terukir dalam hatiku, semakin lama jadi semakin tegas ?” katanya didalam hati.
Si nona menghela napas. “Ah ! Huruf2 yang terpahat di pay batu sudah hampir tak terbaca karena lamanya tempo, tapi mengapa, huruf2 yang terukir dalam hatiku, semakin lama jadi semakin tegas ?” katanya didalam hati.
Dalam saat, ia berpapasan dengan sebuah pay batu
yang sangat besar dengan hurufnya yang masih dapat di baca. Pay itu ternyata
hadiah Kaizar Tong-thay-tong sebagai pujian untuk jasa-jasanya para pendeta
Siauw-lim-Sie
Menurut catatan sejarah, pada waktu masih jadi Raja
muda Cin-ong, Tong-thay-cong pernah membawa tentara untuk menghukum Ong Sie
Oen. Dalam peperangan itu, bajak pendeta siauw-lim-sie memberi bantuan dan yang
paling terkenal berjumlah tiga belas orang. Antara mereka itu, hanya seorang
she Tham yang suka menerima pangkat jenderal sedang yang lainnya, sesudan
peperangan selesai, lantas meminta diri. Tong-thay-cong tak dapat menahan
mereka dan sebagai pernyataan terima kasih kepada setiap orang, ia
menghadiahkan satu jubah pertapaan yang sangat indah.
“Pada jaman antara kerajaan Soe dan Tong ilmu silat
Siau Lim sie sudah tersohor dikolong langit,” kata Kwee Siang didalam hati.
“Selama beberapa ratus tahun, ilmu silat itu tentu
sudah memperoleh banyak kemajuan. tahu berapa banyak orang yang berilmu bersembunyi
dalam kuil yang besar ini?”
Selagi dia melamun dibelakang pohon, tiba2
terdengar suara berkerincingnya rantai besi, disusul dengan suara seseorang
yang sedang menghafal Hoed keng (Kitab Suci agama Budha. ). Antara perkataan2
yang di hafal ia menangkap kata2 seperti berikut.
“… Dari cinta timbul ke jengkelan, dari cinta timbul ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan.”
“… Dari cinta timbul ke jengkelan, dari cinta timbul ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan.”
Jantung si nona memukul keras. Ia bengong
mengulangi kata2 itu. “Dari cinta timbul ke jengkelan dan ketakutan. Jika
seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan
ketakutan.”
Dilain saat, suara kerincingan rantai besi dan
suara pembacaan Kitab Suci sudah jadi semakin jauh.
“Aku mesti tanya dia,” kata si nona dalam hati.
“Aku mesti tanya, bagaimana seseorang bisa menyingkir dari cinta, bisa terbebas
dari kejengkelan dan ketakutan”. Buru2 ia mengikat tali les keledai disatu
pohon dan lalu mengubar kearah suara itu.
Ternyata, dibelakang pohon2 terdapat satu jalan kecil yang menanjak keatas dari seorang pendeta yang memikul dua tahang besar sedang naik ditanjakan itu.
Ternyata, dibelakang pohon2 terdapat satu jalan kecil yang menanjak keatas dari seorang pendeta yang memikul dua tahang besar sedang naik ditanjakan itu.
Dengan cepat Kwee Siang mengudak dan waktu berada
dalam jarak belasan tombak dari si pendeta, tiba2 terkesiap. la mendapat
kenyataan, bahwa yang dipikulnya sepasang tabang besi yang tiga kali lipat
lebih besar dari tahang biasa. Yang mengejutkan ialah, dileher, di tangan dan
dikaki sipendeta dilibatikan rantai besi yang besar, sehingga menimbulkan suara
berkerincingan. Berat kedua tahang besi itu ratusan kati dan ditambah dengan
air dapat dibayangkan betapa beratnya.
“.. Toah hweeshio (pendeta besar) “teriak si nona.
“Berhenti dulu ! Aku ingin bertanya.”
Si pendeta menengok, mereka saling memandang.
Pendeta itu ternyata Kak-wan yang pada tiga tahun berselang pernah bertemu Kwee
Siang di puncak ganung Hwa-san.
Si Nona tahu, biarpun pendeta itu agak tolol, ia
memiliki Lweekang yang sangat tinggi, yang tak kalah dari siapapun juga. “Ah!
Kukira siapa,” katanya. “Tak tahunya Kak kwan Taysoe. Mengapa kau jadi begini
?”
Kak kwan manggut kan kepalanya sambil tersenyum dan
merangkapkan kedua tangannya, tapi ia tak menjawab pertanyaan si nona. Lalu ia
memutar badan dan berjalan pula
“Kak Wan Taysoe !” teriak Kwee Siang. “Apakah tidak
mengenal aku ? Aku Kwee Siang!”
Kak wan kembali menengok, ia tertawa dan
memanggut2kan kepala, tapi kakinya bertindak terus.
“Siapa yang mengikat kau dengan rantai?” tanya sinona. “Siapa yang menghina kau?”
Sambil berjalan terus Kak wan menggoyang2 tangan kirinya dibelakang kepala, sebagai isyarat supaya sinona jangan terlalu melit.
Kwee Siang jadi semakin heran. Mana ia bisa puas dengan begitu saja? Ia segera mengudak untuk mencegat pendeta yang aneh itu, tapi diluar dugaan, sesudah mengubar beberapa lama, Kak wan yang dilibat rantai dan memikul tahang, masih tetap berada disebelah depan. sinona jadi jengkel. Ia mengempos semangat dan mengudak dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Bagaikan seekor walet tubuhnya yang langsing melesat kedepan dan satu tangannya coba menjambret sebuah tahang.
Menurut perhitungan, jambretan itu tak akan melesat. Tapi diluar dugaan, tangan Kwee Siang jatuh ditempat kosong, hanya kacek dua dim dari tahang itu.
“Siapa yang mengikat kau dengan rantai?” tanya sinona. “Siapa yang menghina kau?”
Sambil berjalan terus Kak wan menggoyang2 tangan kirinya dibelakang kepala, sebagai isyarat supaya sinona jangan terlalu melit.
Kwee Siang jadi semakin heran. Mana ia bisa puas dengan begitu saja? Ia segera mengudak untuk mencegat pendeta yang aneh itu, tapi diluar dugaan, sesudah mengubar beberapa lama, Kak wan yang dilibat rantai dan memikul tahang, masih tetap berada disebelah depan. sinona jadi jengkel. Ia mengempos semangat dan mengudak dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Bagaikan seekor walet tubuhnya yang langsing melesat kedepan dan satu tangannya coba menjambret sebuah tahang.
Menurut perhitungan, jambretan itu tak akan melesat. Tapi diluar dugaan, tangan Kwee Siang jatuh ditempat kosong, hanya kacek dua dim dari tahang itu.
“Toahweeshio ! Lihay benar kau !” teriaknya.
“Lihatlah! Biar bagaimanapun juga aku akan menyandak kau.”
Jalanan semakin menanjak,kebelakang gunung. Dengan
tenang Kak Wan percepat tindakannya, sehingga berkerincingnya rantai jadi
semakin ramai. Si ubar dengan sekuat tenaga, nafasnya tersengal2, tapi ia
terpisah kurang lebih setombak dari pendeta ltu. Ia kagumi bukan main dan
berkata dalam hatinya : “Diatas gunung Hwa-san, ayah dan ibu pernah mengatakan,
bahwa hweeshio ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Waktu itu aka masih
percaya. Sekarang baru terbukti, perkataan ayah dan ibu adalah benar.”
Tak lama kemudian merekapun tiba didepan sebuah
rumah kecil dan Kak Waa sagera pergi kebelakang dam menuang air kedua tahang
itu kedalam sumur. Kwee siang jadi lebih heran. “Toa hweeshio, apa kau sudah
gila? ” tanyanya. “Mengapa kau menuang air kedalam sumur?”
Paras muka sipendeta tetap tenang. Ia hanya
tersenyum.
Mendadak Kwee siang tertawa nyaring. ” Ah! Kutahu
sekarang,” katanya. “Kau sedang melatih ilmu silat bukan ?”
Kak Wan kembali meng-geleng2kan kepala.
Sinona jadi mendongkol. “Kau seorang gagu, barusan
aku mendengar kau menghafal Kitab Suci.” katanya. “Mengapa kau tak mau menjawab
pertanyaanku ?”
Si pendeta merangkap kedua tangannya, Sedang
dilihat dari paras mukanya, ia seperti ingin meminta maaf. Tapi ia tetap
membungkam dan sesudah mengangkat kedua tahangnya, ia lalu turun di jalanan
tadi.
Kwee siang melongok sumur itu. Ia hanya melihat air
yang bening dan merasakan hawa yang dingin. Tiada apapun yang luar biasa.
Ia berdiri bengong dan hati bimbang mengawasi
bayangan Kak wan yang semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah menguber mati
matian, ia merasa letih dan lalu duduk dipinggir sumur sambii memandang keadaan
diseputarnya. Ia berada ditempat yang lebih tinggi dari pada kuil Siauw liem
sie. Di pandang dari jauh kuil itu, angker dan indah. Ia mendongak dan
memandang puncak. yang menjulang kelangit dan berderet2 bagaikan sekosol,
sedang di bawah puncak2 itu terdapat awan putih yang mengambang kian kemari. Di
lain saat, sayu sayu kupingnya mendengar suara lonceng di kuil yang dibawa
keatas olen tiupan angin. Dalam keadaan begitu, ia merasa berada di suatu
tempat suci yang jauh dari keduniawian.
“Kemana perginya murid si pendeta itu?” tanyanya
didalam hati. “Kalau dia sendiri tak mau bicara, biar kucari itu.” Perlahan
lahan ia turun gunung untuk mencari Thio Koen Po, murid Kak wan.
Sesudah berjalan beberapa lama, ia kembali
mendengar suara berkerincingnya rantai besi dan jauh-jauh Kak wan kelihatan
mendatangi sambil memikul dua tahang besinya. Kwee siang baru baru melompat dan
menyembunyikan diri di belakang pohon. “Biarlah aku intip padanya.” pikirnya,
“Permainan gila apa yang tengah dilakukannya?”
Tak lama kemudian, Kak wan sudah tiba di tempat
bersembunyinya. Kwee Siang yg mendapat kenyataan, bahwa sambil berjalan pendeta
itu membaca sejilid buku dengan penuh perhatian. Mendadak ia melompat dan
berteriak. ” Toah wee shio, buku apa yang di baca olehmu ?”
“Aduh ! Kaget benar aku !” teriak sipendeta tanpa
merasa. “Nakal sungguh kau!”
Si nona tertawa geli. “Toa hwee shio, mengapa tadi
kau berlagak gagu ?” tanyanya dengan dada mangejek,
Muka pendeta itu lantas saja berubah pucat, seperti
orang ketakutan. Ia menegok ke Kiri kanan dan menggoyang-goyangkan tangannya.
“Apa yang di takuti olehmu ?” tanya pula Kwee Siang
dengan perasaan heran.
Sebelum Kak wan keburu menjawab, dari dalam hutan
mendadak muncul dua orang pendeta yang mengenakan jubah kuning. “Kak wan!”
bentak sipendeta yang jalan didepan. “Hm! Kau berani bicara dan melanggar
larangan kami ? Hm! Kau berani bicara dengan seorang luar. Apa pula demang
seorang wanita. Sekarang kau harus menghadap pada tetua Kayloet tong (dewan per
udang-undangan dari kalangan Buddha).”
Kak wan kelihatan berduka. Ia menunduk dan mengguk,
akan kemudian berjalan mengikuti dibelakang kedua pendeta itu.
Kwee Siang lantas saja naik darahnya “Hai !
Dikolong langit mama ada aturan tak boleh bicara ?” bentaknya. “Aku bicara
dengan Tay soe itu, karena aku mengenalnya. Ada sangkut paut apakan dengan kau
berdua ?”
Pendeta yang bertubuh jangkung melotot matanya.
“Semenjak ribuan tahun, seorang wanita belum pernah dipermisikan masuk kedalam
daerah Siauw lim sie.”
katanya. “Lebih baik nona cepat-capat turun gunung
supaya tidak menghadapi kesukaran.”
Sinona jadi semakin gusar. “Eh, kalau wanita masuk
disini, mau apa kau?” bentaknya.” Apa perempuan tak sama dengan lelaki? Mengapa
kamu menyusahkan Kak wan Taysoe? Sesudah mengikatnya dengan rantai besi, kau
mengeluarkan larangan gila-gila.”
Si jangkung mengeluarkan suara dihidung “Kaizar
sendiri tak pernah mencampuri urusan dalam kuil kami,” katanya dengan suara
tawar.
“Nona tak usah banyak bicara.”
Kwee Siang berjingkrak. “Kutahu Kak wan Taysoe
seorang baik dan karena ia seorang baik, kau berani menghinanya,” katanya.
“Huh-huh! Dimana adanya Thian beng Siansoe, Boe sek Hweeshio dan Boe Siang
Hweeshio? Panggil mereka? Aku mau menanyakan urusan gila ini!”
Kedua pendeta itu terkejut. Harus diketahui, bahwa
Thian beng Siansoe adalah Hongthio atau kepala dari kuil Siauw lim sie, sedang
Boe sek Siansoe pemimpin Lo-han-tong Pan Boe siang Siansoe pemimpin Tak mo tong
dengan kedudukan yang sangat tinggi, mereke dihormat oleh segenap pendeta yang
belum pernah berani menyebutkan Hoat nia (nama sesudah jadi pendeta) mereka dan
biasa menggunakan panggilan “Loo hong thio” “Lo han tong Co-soe” atau “Tat mo
tong Cocoa. ” Maka itu, tidaklah heran jika mereka kaget tercampur gusar waktu
mendengar sinona menyebut nama ketiga, pemimpin dengan suara kasar.
Hoat mia pendeta yang bertubuh jangkung itu, adalah
Hong bang, muria kepala Co coe (pemimpin) Kay Loet tang. Atas perintah coe coe,
bersama Hong yan, adik seperguruannya ia menilik gerak-gerik Kak kwan. “Lie sie
cue (nona) !” bentaknya sambil menahan amarah. “Jika kau terus berlaku kurang
sopan ditempat yang suci ini, Siauwceng tak akan berlaku sangkan lagi.”
“Kau kira aku takut ?” Kwee Siang balas membentak.
“Lekas buka rantai yang meli- bat Kak wan Taysoe. Jika tidak, aku akan cari
Thian beng Loo hwaeshio untuk berurusan lebih jauh.”
Bagaimana siauw tong sia Kwee Siang bisa berada
digunung Siaw sit san ?
Sesudah berpisah dengan Yo Ko dan Siauw Liong Lie
dipuncak Hwa san, tiga tahun lamanya ia tak pernah menerima warta tentang kedua
sahabat itu. Karena berkuatir, ia segera minta permisi dari kedua orang tuanya
untuk pesiar keberbagai tempat, dengan tujuan mendengar berita tentang Yo Ko.
la bukan terlalu ingin bertemu muka dengan kedua suami isteri itu. Ia sudah
merasa puas jika bisa mendengar warta tentang sepak terjang mereka. Tapi
semenjak berpisah, Yo Ko dan Siauw Liong Lie tak pernah muncul dalam dunia Kangouw.
Tiada orang tahu dimana mereka menyembunyikan diri. Sesudah berkelana
disebagian besar wilayah Tiong go an, dari utara keselatan, dari timur kebarat,
belum pernah Kwee Siang nendengar disebut-sebutnya, nama “Sintiauw Tayhiap Yo
Ko.”
“Waktu tiba dipropinsi Holam, dia ingat dulu Yo Ko
pernah mengatakan bahwa ia kenal Hong thio dari, kuil Siauw Lim sie. Mengingat
begitu dalam hatinya muncul harapan, kalau Thian beng SianSoe mengetahui segala
sesuatu mengenai Yo Ko. la lalu mendaki Siauw sit san, tapi tak dinyana, begita
tiba ia bertemu dengan kejadian mengheran kan.
Melihat dipinggang Kwee Siang tergantung sebatang
pedang pendek, Hong beng dan Hoang yan jadi semakin gusar. “Tinggal kan
pedangmu disini dan lekas pergi dari gunung!” bentak Hoang yang dengan mata
melotot.
Mendengar perintah itu, kegusaran sinona jadi
bertambah2. Ia membuka ikatan tali pedang dari pinggangnya dan sambil
menggusarkannya dengan kedua tangan ia berkata seraya tertawa dingin.
“Baiklah, aku menurut perintah!”
Semenjak kecil Hongyan sudah mencucikan diri dikuil
Siauw Lim sie. Selama belasan tahun, ia selalu mendengar bahwa Siauw lim sie
adalah pusat dari ilmu silat dan siapapun juga, biarpun ahli silat yang
berkepandaian paling tinggi, tak akan berani melewati pintu kuil dengan membawa
senjata. Sekarang walaupun Kwee Siang masih belum masuk dipintu, tapi ia sudah
berada dalam lingkungan Siauw lim. Dengan usianya yang masih begitu muda, apa
pula ia hanya seorang wanita, dapat dimengerti jika Hong Yang tidak mempandang
sebelah mata kepada Kwee Siang. Begitu ia mengangsurkan senjatanya, si pendata
menafsirkan, bahwa nona itu sudah menyerah dengan ketakutan. Dengan paras muka
ber seri2 sambil mengebas tangan-jubah yang menutupi kedua tangannya; ia segera
menelonjorkan tangan untuk menjemput pedang Si nona.
Tapi baru saja lima jarinya menyentuh sarung
pedang, lengannya bergetaran, seperti kena arus kilat. Ia merasakan semacam
tenaga yang sangat besar menerobos keluar dari pedang itu dan mendorongnya
dengan hebat, sehingga tak ampun lagi ia roboh terguling dan terus
menggelinding kebawah tanjakan. Sesudah tergelincir belasan tombak, untuk juga
ia berhasil menjemput satu pohon kecil di pinggir jalanan dan dapat menolong
dirinya,
Darah Hong beng mendidih; paras mukanya merah padam. “Perempuan celaka!” bentaknya,
Darah Hong beng mendidih; paras mukanya merah padam. “Perempuan celaka!” bentaknya,
“Kau rupanya sudah makan nyali singa, sehingga
berani unjuk keganasan di Siauw Lim sie.” Sambil mencaci, ia menghantam dengan
kedua tangannya.
Melihat gerakan orang, Kwee Siang tahu, bahwa
kepandaian pendeta itu banyak lebih tinggi daripada kawannya yang barusan
terguling. Dengan capat ia mengangkat pedangnya yang masih berada didalam
sarung dan menotok pundak Hong bang bagaikan kilat, si pendeta mengegos, sambil
coba menjambret sarung pedang.
“Jangan berkelahi! Jangan berkelahi!” teriak Kak
wan dengan suara bingung.
Jembretan Hong beng ternyata berhasil, tapi baru
saja ia mau membetot sarung pedang, lengannya mendadak kesemutan dan ia
mengeluarkan teriakan tertahan.
“Celaka!” Hampir berbaring, Kwee Siang menyapu
dengan kakinya dan tubuh Hong beng tergelincir ke bawah, ia menderita lebih
hebat dari pada Hong yang dan baru berhenti sesudah menggelinding duapuluh
tombak lebih dengan badan dan muka berlepotan darah.
Peristiwa itu membuat sinona agak menyesal.
“Ah! Aku naik ke Siauw Lim sie untuk mendengar2
warta tentang Yo Toako,” pikirnya. “Siapa nyana, aku kebentrok dengan mereka.”
Melihat Kak wan berdiri di pinggir jalan dengan
paras muka berduga, ia segera menghunus pedang dan membacok rantai yang melibat
kaki pendeta itu. Biarpun bukan pedang mustika, senjata Kwee Siang bukan
senjata sembarangan. Dengan berkerincingan, tiga rantai sudah putus terbacok.
“Jangan! Jangan !” si pendeta coba mencegah.
“Mengapa jangan ?” tanyanya. Ia mengawasi Hong beng
dan Hong yang yang sedang berlari-lari dan berkata pula. “Dua hweshio jahat itu
tentu mau melapor. Mari kita mabur. “Mana muridmu, si orang she Thio ? Kita
ajak dia lari ber sama-sama.”
Kak wan meng geleng2kan kepala dan mengawasi si
nona dengan sorot mata berterima kasih.
Tiba-tiba Kwee Siang mendengar suara orang
dibelakangnya. “Terima kasih untuk kebaikan nona. Aku berada di sini.”
Si nona menengok dan melihat di belakang nya
berdiri seorang pemuda yang berusia kurang lebih tujuh belas tahun, dengan alis
tebal, mata besar dan badan tinggi besar, tapi paras mukanya masih
ke-kanak-kanakkan la segera mengenali bahwa pemuda itu bukan lain dari pada
Thio Koen Po, yang pernah bertemu di puncak gunung Hwa-san. Tubuh anak itu
sudah banyak lebih tinggi, tapi mukanya tidak banyak berubah.
Kwee Siang girang. “Dua hwe-shio jahat itu telah
menghinakan gurumu,” katanya. Mari kita kabur”
“Mereka sebenarnya tidak menghinakan Soe-hoe.” kata
Koen Po.
“Tidak menghinakan”, menegas si nona. “Mereka
melibatkan rantai di kaki tangan gurumu dan melarang gurumu bicara. Apa itu
tidak menghina?” Kak-wan tertawa getir. Ia kembali menggelengkan kepala sambil
menuding kebawah sebagai nasehat supaya Kwee Siang buru-buru kabur sendiran.
Tapi Siauw tong-sia Kwee Siang adalah manusia yang
memiliki sifat-sifat kesatria. Ia yakin bahwa di kuil Siauw Lim-sie terdapat
ahli-ahli silat yang tak terhitung berapa banyaknya. Tapi melihat keganjilan,
ia tak bisa berpeluk tangan. Melihat Kak wan Koen Po ayal-ayalan ia jadi
bingung karena kuatir keburu di cegat. “Lekas! Kalau mau bicara, boleh bicara
dibawah gunung. katanya sambil menyeret tangan pak gurunya dan murid itu. Tapi
baru saja ia mengeluarkan perkataan itu dari bawah tanjakan sudah muncul tujuh
delapan pendeta yang masing2 bersenjata toya Cee bie koen.
“Perempuan dari mana berani mengganas di Siauw lim
sie?” teriak satu antaranya.
“Soeheng jangan kurang ajar,” kata Koen Po. “la
adalah …”
“Jangan menyebutkan namaku!”, memotong Kwee Siang.
Ia mengerti bahwa ia sudah menerbitkan keonaran yang mungkin tak bisa
dibereskan lagi dengan jalan damai.
Sebagai jago betina bertanggung jawab sepenuhnya
atas perbuatannya sendiri, ia sungkan meyeret2 kedua orang tuanya. Maka itu ia
lalu menambahkan dengan suara perlahan: “Mari kita kabur. Tapi kau jangan se
kali menyebut nama kedua orang tuaku atau lain-lain sahabat”.
Se-konyong2, terdengar suara bentakan dan diatas
gunung kembali muncul tujuh delapan pendeta.
Melihat jalanan didepan dan dibelakang sudah
tercegat, Kwee Siang jadi mendongkol. “Semua gara2mu berdua yang seperti nenek2
sedikitpun tak punya semangat laki2. Bilang sekarang. Mau pergi atau tidak ?”
Koen Po berpaling kepada gurunya seraya berkata:
“Soehoe inilah kebaikan budi dari Kwee Kouwnio . . . ” Sesaat itu, dibawah
tanjakan kembali muncul empat pendeta yang berjubah warna kuning, Mereka tidak
bersenjata, tapi selagi mendaki tanjakan, gerakan mereka gesit dan cepat luar
biasa. Diam2 Kwee Siang mengakui, bahwa mereka adalah orang2 yang berkepandaian
tinggi.
Sekarang sinona mengerti, bahwa ia tak kan dapat
melarikan diri lagi. Ia segera ber diri tegak dengan sikap angkuh, siap sedia
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Begitu datang dekat, pendeta yang berjalan paling
depan segera berteriak dengan suara nyaring: “Atas perintah tetua Lo-han-Tong,
kau harus meninggalkan senjatamu. Sesudah itu, kau harus pergi ke Pendopo Lip
swat teng dikaki gunung untuk memberi penjelasan dan mendengar keputusan kami.”
Kwee Siang tertawa dingin. “Ah! Lagak hweeshio2
Siauw Lim sie sungguh tak berbeda dengan pembesar2 negeri,” katanya dengan nada
mengejek. “Bolenkah aku mendapat tahu, apa para Toa hweeshio menjadi pembesar
dari kerajaan Song atau menjadi pembesar dari kaizar Mongol ?”
Pada waktu itu, daerah disebelah utara sungai Hway
soei sudah jatuh kedalam tangan tentara Mongol dan Siauw sit san dengan Siauw
lim sienya justeru berada diwilayah kekuasaaan Mongol.
Sampai sebegitu jauh, karena bertahun-tahun repot
menyerang kota Siangyang, maka bala tentara Mongol masih belum sempat
memperhatikan soal2 lain, sehingga sampai sebegitu juga, Siauw lim sie masih
belum diganggu.
Mendengar perkataan Kwee Siang yang sangat tajam,
paras muka pendeta itu lantas saja berubah merah. Ia merasa, bahwa perkataannya
memang tidak pantas, karena dengan berkata begitu, Siauw lim sie se olah-olah
mau jadi hakim sendiri terhadap orang luar. Maka itu, sambil merangkap kedua
tangannya, ia segera berkata pula dengan suara manis. “Ada urusan apa Lie sie
coe datang berkunjung kekuil kami? Memohon kau suka meninggalkan senjata dan
pergi kependopo Lip swat teng untuk sekedar minum teh dan beromong-omong.”
Kwee Siang mengeluarkan suara dihidung,
“Huh! Kau orang melarang aku masuk kekuil mu, apa
dalam kuilmu terdapat mustika yang menjadi ternoda karena dilihat olehku?”
katanya sambil melirik Thio Koen Po dan berkata pula dengan suara perlahan. ”
Kau mau ikut tidak?”
Pemuda itu menggelengkan kepala dan moyongkan mulut
kearah Kak wan, sebagai tanda, bahwa ia mau menetap disamping gurunya.
“Baiklah,” kata sinona dengan suara nyaring
“Aku tak campur lagi.” Ia mengangkat kaki dan turun
ditanjakan itu.
Sijubah kuning yang pertama lantas minggir
kesamping, tapi yang kedua dan yang ketiga merintang sambil mengangkat tangan
mereka.
“Tunggu dulu,” kata salah seorang. “Tinggalkan dulu
senjatamu.”
“Kami tak akan menahan senjata Lie sie coe dalam
tempo lama,” kati si jubah kuning yang pertama. “Begitu lekas Lie coe sudah
turun gunung, kami akan segera mengembalikannya. peraturan ini adalah peraturan
Siauw lim sie sudah dipertahankan selama ribuan tahun, sehingga kami meminta
Lie sie coe suka memaaf kannya.”
Mendengar permintaan yang sopan itu, sinona
bimbang. ” Jika membantah, aku tentu mesti bertempur dan seorang diri,
bagaimana bisa melawan jumlah mereka yang begitu besar?” Pikirnya. “Tapi, kalau
aku meninggalkan senjata, aku seperti juga menghilangkan muka ayah, ibu, kakek
ciecie, Toako dan Liong Cie cie.”
Sebelum ia mengambil keputusan, tiba2 satu bayangan
kuning berkelebat, disusul dengan bentakan. “Kau bukan saja membawa senjata,
tapi juga sudah melakukan orang. Semenjak dulu, belum pernah ada manusia yang
berani berbuat begitu.” Hampir berbareng, lima jeriji menyambar sarung pedang
Kwee Siang.
Jika dia tidak diserang, sesudah memikir
masak-masak, mungkin sekali si nona akan menyerahkan senjatanya. Harus
diketahui, bahwa sifat gadis itu berbeda dengan Kwee Hoe, kakaknya. Walaupun
gagah, ia tidak sembrono. Melihat keadaan yang merugikan dirinya, ia bisa
menahan sabar untuk kembali lagi dikemudian hari dengan membawa, bala-bantuan.
Tapi usaha si pendeta untuk merebut pedangnya, sudah meniadakan segala mungkinan perdamaian. Mana bisa ia menyerahkan senjatanya dengan begitu saja?
Ilmu Kin na Chioe hoat (ilmu menangkap menyengkeram) pendeta itu memang sangat lihay. Sekali menjambret, ia berhasil menyengkeram sarung pedang. Dalam keadaan terdesak, Kwee Siang mencekal gagang pedang dan membetotnya. “Sret!”, pedang tercabut dan mengeluarkan sinar menyilau, kan mata.
Tapi usaha si pendeta untuk merebut pedangnya, sudah meniadakan segala mungkinan perdamaian. Mana bisa ia menyerahkan senjatanya dengan begitu saja?
Ilmu Kin na Chioe hoat (ilmu menangkap menyengkeram) pendeta itu memang sangat lihay. Sekali menjambret, ia berhasil menyengkeram sarung pedang. Dalam keadaan terdesak, Kwee Siang mencekal gagang pedang dan membetotnya. “Sret!”, pedang tercabut dan mengeluarkan sinar menyilau, kan mata.
Hampir berbareng si pendeta berteriak, karena lima
jarinya terpapas putus. Dalam kesakitan, ia menotok muka si nona dengan sarung
pedang yang dicekal dalam tangan kanannya. Kwee Siang memapaki dan “trang!”,
sarung pedang itu jadi dua potong. Pendeta itu tidak bisa menyerang lagi dan
dengan paras muka pucat ia lalu melompat mundur. Kawan2nya jadi gusar bukan
main, dengan serentak mereka memutar toya dan maju mengepung.
“Ah, hari ini aku pasti tak bisa meloloskan diri
tanpa melukakan banyak orang,” kata Kwee Siang dalam hatinya. Sambil mencekal
pedangnya erat2, ia segera menerjang dengan Lok-eng Kiam-hoat.
Lok-eng Kiam-hoat yang digubah Oey Yok Soe dari
ilmu pukulan Lok-eng Cianghwat, merupakan salah satu kepandaian istimewa dari
pulau Tho hoa dan tidak kalah lihapnya dari pada Giok siauw Kiam hoat. Begitu
menerjang, pedang si nona menyambar2 bagaikan kilat dan dalam sekejap dua orang
pendeta sudah terluka. Akan tetapi, ia berada diatas angin hanya untuk
sementara waktu dan tidak lama kemudian, keadaannya mulai terjepit, karena
semakin lama jumlah pengepung jadi semakin besar.
Sesudah bertempur beberapa puluh jurus, Kwee Siang
hanya bisa membela diri, tanpa mampu menyerang pula. Sebenarnya dalam
keadaannya yang terdesak, seperti itu para pendeta sebenarnya bisa segera
merobohkannya. Akan tetapi, sebab Siauw lim sie mengutamakan belas kasihan,
mereka merasa tak tega untuk melakukannya. Tujuhan mereka hanyalah untuk merebut
senjata sinona dan kemudian mengusirnya dari sit san.
Tapi merebut pedang bukan pekerjaan mudah dan
sesudah lewat lagi puluhan jurus, Kwee Siang masih dapat mempertahankan
senjatanya. Semakin lama para pendeta itu jadi semakin heran. Mereka merasa
pasti, bahwa gadis kecil ita adalah puteri atau murid seorang ahli silat
kenamaan dan oleh karena nya, mereka lebih2 tidak berani melukakan nya, sebab
hal itu bisa berbuntut panjang.
Maka itu, sambil mengepung, salah seorang buru2
pergi kekuil dan melaporkan kepada Boe sek Siansoe, pemimpin Loo han tong.
Tak lama kemudian, seorang pendeta tua yang
bertubuh jangkung kurus mendekati gelanggang pertempuran dan lalu menonton
sambil tersenyum. Dua orang pendeta segera melompat keluar dari gelanggang dan
bicara bisik-bisik dengan pendeta tua itu.
Sementara itu, Kiam hoat sinona sudah kulihat.
“Hai! Kau semua benar-benar tak mangenal malu !” teriaknya. “Kau orang mengugulkan Siauw lim sie sebagai pusat pelajaran ilmu silat, tapi tak tahunya, puluhan Toa hweeshio menarik keuntungan dengan jalan mengerubuti.”
“Hai! Kau semua benar-benar tak mangenal malu !” teriaknya. “Kau orang mengugulkan Siauw lim sie sebagai pusat pelajaran ilmu silat, tapi tak tahunya, puluhan Toa hweeshio menarik keuntungan dengan jalan mengerubuti.”
“Berhenti!” membentak sipendeta tua bukan lain dari
pada Boe sek Siansoe, sambil bersenyum. Mendengar perintah itu dengan serentak
semua pendeta melompat keluar dari gelanggang dan berdiri dipinggiran.
“Nona,” menegur Boe sek dengan suara sabar.
“Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama nona yang
mulia. Siapa nama orang tuamu dan siapa gurumu ? Ada urusan apa nona datang
berkunjung ke kuil kami ?”
“Hari ini aku sudah mengacau hebat dan jika
diketahui ayah ibu dan Toakoko, mereka tentu akan mengomel,” kata Kwee Siang
dalam hatinya. Memikir begitu, ia lantas saja mengeluarkan suara dihidung. “Tak
mung kin aku memberitahukan namaku,” jawabnya. “Aku mendaki gunungmu karena
ketarik dengan pemandangannya yang sangat indah dan sama sekali tidak
mengandung maksud apapun juga. Tapi siapa nyana, Siauw lan-sie lebih angker
dari pada keraton kaizar. Tak keruan-ruan, kau ingin merampas senjataku.
Taysoe, aka ingin tanya. Apakah aku pernah menginjak pintu kuilmu?’ Ia berdiam
sejenak sambil mengawasi Boe sek dan kemudian berkata pula. “Dulu, pada wakta
Tat-Mo Couw soe menurunkan ilmu silat, kurasa tujuannya yang terutama adalah
supaya para pendata memiliki tubuh yang kuat supaya dapat menjalankan tugas2
keagamaan se-baik2nya. Tapi ternyata semakin lama nama Sauw lim sie semakin
terkenal, ilmu silatnya jadi semakin tinggi dan kebiasaan mengeroyoknyapun jadi
semakin kesohor! Baiklah, Toa hweeshio, jika kau mau merebut juga senjataku,
ambillah! Tapi, kecuali kau membinasakan aku, kejadian ini pasti akan diketahui
oleh semua orang dalam Rimba persilatan.”
Mendengar perkataan sinona yang sangat tajam itu.
Boe Sek tergugu. Untuk sejenak ia mengawasi si nona dengan mulut ternganga dan
tak bisa mengeluarkan sepatah kata.
“Aku sendiri takut kejadian ini diketahui orang, tapi dia rupanya lebih takut lagi.” kata Kwee Siang dalam hatinya. Memang juga puluhan pendeta mengerubuti seorang wanita bukan kejadian yang boleh dibuat bangga.” Ia segera melontarkan pedangnya dan bertindak untuk turun gunung.
“Aku sendiri takut kejadian ini diketahui orang, tapi dia rupanya lebih takut lagi.” kata Kwee Siang dalam hatinya. Memang juga puluhan pendeta mengerubuti seorang wanita bukan kejadian yang boleh dibuat bangga.” Ia segera melontarkan pedangnya dan bertindak untuk turun gunung.
Boe sek maju setindak sambil mengebas dengan lengan
dan pedang itu lantas saja tergulung lengan jubah. Seraya mencekal senjata itu
yang bernoda darah dengan kedua tangannya ia berkata: “Jika nona enggan
menjawab pertanyaanku, biarlah aku mengembalikan saja senjata ini dan dengan
segala kehormatan aku mengantar nona turun dari gunung ini.”
Kwee Siang tertawa. “Toa-hweeshio adalah seorang
yang mengerti urusan dan boleh di buat contoh oleh pendeta2 disini.” ia memuji
sambil mengulur tangan untuk menyambuti. Tapi begitu lekas jerijinya menyentuh
gagang pedang, ia terkesiap.
Ternyata, dari telapakan tangan Boe-sek keluar
semacam tenaga menyedot sehingga pedang itu tak dapat diangkat. Tiga kali Kwee
Siang mengempos semangat dan mengerahkan Lwekang, tapi ia belum juga bisa
berhasil.
“Eh. Toahweesio, kau sengaja memperlihatkan
kepandaianmu, ha?” tanyanya dengan mendongkol.
Mendadak, bagaikan kilat tangannya menyambar dan
mengebut jalanan darah Thian-teng-hiat dan Kie-koet-hiat di leher Boe-sek, yang
jadi kaget bukan main dan buru2 melompat kebelakang.
Pada detik ia terkejut dan Lweekangnya jadi agak
kendor, si nona membetot dan berhasil merebut pulang senjatanya.
“Sungguh indah Lan hoa Hoed hiat Chioe (Ilmu Bunga
anggrek mengebut jalanan darah )!” memuji Boe sek. “Nona, masih pernah apakah
kau dengan majikan pulau Tho hoa?”
“Majikan pulau Tho hoa?” ia menegas seraya tertawa
“Dia dikenal sebagai Loo-tong sia ( si Sesat Tua dari Timur ).”
Tong sia Oey Yok Soe, pemilik Tho hoa, adalah kakek
Kwee Siang. Orang tua yang adat nya aneh sering memanggil cucu perempuan nya
sebagai “Siauw-tong-sia” yang lalu membalas dengan menggunakan istilah
“Loo-tong-sia”. Sebaliknya dari jengkel, sang kakek jadi girang dan menerima
baik panggilan si cucu nakal. begitu mendengar jawaban Kwee Siang, Boe-sek
sendiri segera menarik ke simpulan bahwa sinona tak punya hubungan rapat dengan
orang tua itu. Jika masih tersangkut keluarga, ia tentu tak akan mengeluarkan
kata-kata yang agak kurang ajar.
Memikir begitu, hati Boe-sek jadi lebih lega.
Diwaktu masih muda, Boe-sek Siang-soe pernah
menjagoi di kalangan Rimba Hijau. Maka itu, biarpun ia sudah menjadi orang
beribadat puluhan tahun lamanya, sifat-sifat Jagoannya masih belum hilang.
Semakin Kwee Siang menolak untuk memberitahukan nama gurunya dan asal-usulnya,
semakin besar hasratnya untuk menyelidiki. la tertawa ter bahak-bahak seraya
berkata. “Nona kecil mari kita main-main sedikit untuk menjajal mata si pendeta
tua. Coba kita lihat, apakah dalam sepuluh jurus, aku bisa atau tidak menerka
asal usul ilmu silatmu ?”
“Bagaimana jika kau tak mampu ?” tanya si nona.
Boe-sek kembali tertawa terbahak-bahak. “Jika kau
bisa melayani aku dalam sepuluh jurus dan aku masih belum bisa menebak
asal-usul ilmu silatmu, aku akan turut segala kemauanmu.” jawabnya.
“Dengan Tay-soe itu dulu aku pernah bertemu muka
dan sekarang aku ingin meminta apa-apa untuknya,” kata Kwee siang sambil
menunjuk Kak wan. “Kalau dalam sepuluh jurus kau masih belum bisa menebak siapa
guruku aku minta kau suka meluluskan permohonanku untuk tidak menyukarkan
Tay-soe itu lagi.
Boe-sek merasa sangat heran. Sepanjang
pengetahuannya, selama sepuluh tahun mengurus kitab-kitab di Cong-keng-kok (
perpustakaan.) Kak wan belum pernah berhubungan dengan orang luar. Bagaimana ia
bisa mangenal sinona? Maka itu, sambil mengawasi Kwee Siang dengan sorot mata
tajam, ia berkata. “Kami belum pernah berniat untuk sengaja menyakitinya. Jika
melanggar, setiap pendeta dalam kuil ini, tak perduli siapapun juga, diharuskan
mendapat hukuman. Maka dari itu, adalah kurang tepat jika nona menggunakan
istilah menyusahkan.”
“Hm!” kata Kwee Siang seraya tertawa dingin. “Biar
apapun yang dikatakan olehmu, kau tetap seorang yang pandai putar putar
omongan.”
Boe sek mengangkat kedua tangannya seraya berkata.
“Baiklah. Aku luluskan permintaanmu ! Jika loohap kalah, biarlah aku mewakili
Kak wan Soetee memikul tiga ribu seratus delapan pikul air. Nona kecil, hati2
aku akan segera menyerang.”
Diam2 Kwee Siang menentukan siasat.
“Pendeta ini pasti memiliki kepandaian tinggi dan
jika dibiarkan ia menyerang lebih dulu, aku mesti mengeluarkan ilmu silat ayah
dan ibu untuk membela diri.” pikirnya. “Paling benar aku mendului dan mengirim
sepuluh serangan aneh beruntun-runtun.”
Boe sek habis mengucapkan perkataannya Kwee Siang
segera menikam dengan pukulan Ban-cie cian-hong dari Lok eng Kiam hoat. Dengan
pukulan itu, ujung pedang menggetar tak hentinya, sehingga musuh sukar menebak
arah serangannya. Boe sek yang tahu lihaynya pukulan tersebut, tidak berani
menyambut secara berhadapan dan buru2 melompat.
“Awas,sekarang kedua!” teriak si nona seraya
memutar senjatanya dan lalu menikam dari bawah keatas dengan tipu Thin sin to
hian (Malaikat langit jungkir balik) dari Coan cia Kiam boat.
“Thin sin to hian!” seru Bee sek.
“Belum tentu benar,” kata si nona sambil me
nyengir.
Begitu mengegos, Boe sek membalik tangan kanannya
dan lima jerijinya yang dipentang menyambar kearah muka Kwee Siang. Sinona
terkejut karena ia sama sekali tak menduga, bahwa pendeta itu bisa mengirim
serangan membalas secara begitu cepat. Dalam keadaan terdesak, ia
menggonyangkan pedangnya berapa kali dan menyambut dengan Ok kian lum Louw
(Anjing jahat mencepat jalan) dari Tah kauw Pang hoat (ilmu tongkat memukul
anjing).
Harus diketahui, bahwa diwaktu kecil, nona Kwee
bersahabat rapat dengan mendiang Louw Yoe Kak, Pangca dari Kaypang (Partai
pengamis). Mereka sering makan minum ber sama2, bersenda gurau dan tempo2 atas
desakan sinona , mereka berlatih. Meskipun dalam Kaypang terdapat peraturan,
bahwa Tah kauw Pang hoat hanya boleh diturunkan kepada seorang pangcoe, tapi
lama2 berkat pergaulannya dengan orangtua itu maka Kwee Siaug bisa berhasil
untuk mencari beberapa pukulan dari ilmu silat tongkat yang luar biasa itu.
Jika diingat, bahwa bekas pangcoe Oey Yong sekarang Yek lu Chi, adalah suami
kakak perempuannya, maka sinona sebe narnya mempunyai kesempatan luas untuk
melihat latihan-latihan Tah kauw Pang hoat. Maka itu walaupun tak mengerti
intisari dari pada ilmu silat tersebut, dalam keadaan terjepit, ia masih bisa
menggunakannya untuk menolong diri.
Boe sek kaget bukan main sebab pada saat lima
jarinya hampir menyeatuh pergelangan tangan sinona, mendadak sehelai sinar
putih berkelebat dan pedang menyambar dari arah yang sebenarnya tak mungkia
dilakukan, sehingga hampir-hampir jerijinya terbabat putus. Untung juga, pada
detik terakhir ia masih keburu melompat kebelakang. Tapi meskipun begitu, tak
urung lengan jubahya tergores ujung pedang dan menjadi robek. Paras muka Boe
sek lantas saja berubah pucat dan keringat dingin mengucur dari dahinya.
Kwee Siang berbunga hatinya. “Taysoe apa kau tahu
ilmu pedang apa itu?” tanyanya sambil menyengir.
Dalam dunia memang tidak terdapat Kim-boat yang
serupa itu. Sesudah mencuri Tah kauw Pang hoat, dengan otaknya yang sangat
cerdas, sinona megubah pukulan Kiam hoat berdasarkan ilmu tongkat itu, sehingga
dengan demikian, ia telah membuat seorang pendeta Siauw limsie yang berilmu
tinggi, tak bisa menjawab pertanyaannya. “Ha! Jika aku bisa menyerang lagi
dengan beberapapu kulan Tah kauw Pang hoat, pendeta tua ini pasti akan dapat
dirobohkan katanya didalam hati. “Sungguh sayang, aku hanya memiliki satu
pukulan yang semengga-mengganya ini.”
Sebelum sang lawan sempat bergerak, Kwee siang
sudah mendului lagi dan menotol baberapa kali bagian bawah Boe sek dengan ujung
pedang. Kali ini ia menyerang Leng po wie po (Leng po bertindak dengan ayunya),
yaitu salah satu pukulan dari Giok lie Kiam hoat yang didapat dari Siauw Liong
lie.
Sebagaimana diketahui, Giok lie Kiam hoat ilmu
pedang gubahan Lim Tiauw Eng dan setiap pukulannya mempunyai gerakan Leng po
wie go jadi lebih menyolok karena dilakukan oleh nona Kwee yang cantik dan ayu.
Dengan perasaan kagum, para pendeta mengawasi serangan itu sambil menahan
napas.
Harus dike tahui, bahwa Tat mo Kiam boat, Lo han
Kiam boat dan lain2 ilmu pedang dari Siauw lim sie mengutarakan “kekerasan”,
sedang Giok lie Kiam boat, yang jarang terlihat dalam Rimba Persilatan justru
berbeda dengan silat Siauw lim pay. Begitu sinona meyerang dengan Leng-po
we-po, seperti pendeta lainnya Boe sek pun mengawasi dengan rasa kagum dan
heran. Seumur hidup, belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang yang seindah itu
dan cepat2 ia meloncat ke samping dengan harapan sinona akan mengulangi
serangannya.
Dalam saat, Kwae Siang kembali mengubah cara
bersilatnya. la sekarang berlari ketimur dan kebarat sambil membabat berulang
dengan pedangnya. Thio Koen Po yang menonton dipinggir jalan mengawasi
serangansi nona dengan mata membelalak dan tiba2 ia mengeluarkan teriakan :
“Ah!” Ternyata, yang digunakan Kwee Siang adalah pukulan Soe tong Pat ta (Empat
menembus Delapan meyampaikan), yaitu ilmu silat yang pada tiga tahun berselang
telah diturunkan oleh Yo Ko kepada Koen Po. Waktu itu Kwee Siang kebetulan
dapat melihatnya dan sekarang lalu menggunakan untuk menghadapi Boe sek.
Soe thong Pat-ta yang dulu diajar Yo Ko ialah
Canghoat ilmu silat tangan kosong. Dengan mengubahnya menjadi Kiam hoat (ilmu
pedang), pengaruh ilmu itu jadi banyak berkurang, sehingga jika dulu Thio Koen
Po berhasil mengalahkan In Kek See, sekarang Kwee Siang tidak bisa berbuat
banyak terhadap Boe sek.
Dengan be-runtun2 KWee Siang sudah menyerang lima
kali, tapi Boe sek masih juga belum bisa meraba asal usul ilmu silat sinona.
Diwaktu muda ia malang melintang dalam dunia Kangouw dan, mempunyai pengalaman
yang sangat luas. Semenjak mengetuai Lo-han tong pada belasen tahun berselang,
ia telah menggunakan seluruh temponya untuk menyelidiki ilmu silat barbagai
partai dau membandingkannya dengan ilmu Siauw lim-sie. Ia menggodok semua pengalamannya
dan pendapatnya itu untuk menyempurnakan ilmu partainya. Maka itu, ia selalu
percaya penuh bahwa dengan sekali melihat, ia sudah bisa tahu asal usul ilmu
silat setiap ahli. Tapi di luar dugaan, hari ini ia “ketemu batunya”. Kakek,
ayah-ibu paman2, kakak2 Kwee Siang rata2 adalah ahli2 silat nomor satu pada
jaman itu. Dalam menghadapi serangan yang bermacam2 coraknya, kapandaian
Boe-sek masih lebih dari cukup untuk membela diri. Tapi untuk mengetahui siapa
guru sinona, ia masih belum bisa me-raba2.
“Jika aku membiarkan ia menyerang lebih dulu,
jangankan dalam sepuluh jurus, sedangkan se ratus jurus sekalipun, belum tentu
aku bisa menebak asal usul ilmu silatnya,” pikir Boa sek.
“‘Jalan satu2 nya adalah menyerang dengan hebat, supaya ia terpaksa mengeluarkan imu silatnya yang asli guna monolong diri” Memikir begitu cepat bagaikan kilat , ia mengepos kekiri dan menghantam dengan pukulan Song Koan koen, dengan merapatKan kedua tangannya dan sepulun jarinya ditekuk bagai kan ceker. Melihat sambaran yang sangat dahsyat, Kwee Siang tidak berani menyambut kekerasan, dengan kekerasan. Dengan membungkuk sedikit dan dengan saatu gerakan yang sangat indah dan lincah, ia berhasil meloloskan diri dari bawah kedua tangan lawan. Tipu itu adalah tipu yang pernah digunakan Eng Kouw waktu bertempur dengan Yo Ko di Ban Hoa Kok (lembah laksaan bunga).
“‘Jalan satu2 nya adalah menyerang dengan hebat, supaya ia terpaksa mengeluarkan imu silatnya yang asli guna monolong diri” Memikir begitu cepat bagaikan kilat , ia mengepos kekiri dan menghantam dengan pukulan Song Koan koen, dengan merapatKan kedua tangannya dan sepulun jarinya ditekuk bagai kan ceker. Melihat sambaran yang sangat dahsyat, Kwee Siang tidak berani menyambut kekerasan, dengan kekerasan. Dengan membungkuk sedikit dan dengan saatu gerakan yang sangat indah dan lincah, ia berhasil meloloskan diri dari bawah kedua tangan lawan. Tipu itu adalah tipu yang pernah digunakan Eng Kouw waktu bertempur dengan Yo Ko di Ban Hoa Kok (lembah laksaan bunga).
“Bagus, sungguh bagus gerakanmu!” memuji Boe sek
“sambutlah lagi satu seranganku.” Ia membuat sebuah lingkaran dengan tangan
kirinya, sedang sikut kanan ditaruh didada dengan telapakan tangan menghadap
keatas. Itu lah pukulan Oei eng loh kee (Burung kuning hinggap dicagak) dari
Siauw lim koen. Sebagai seorang tetua Siauw lim sie, biarpun paham dengan ilmu
silat berbagai partai, tapi dalam setiap pertempuran, ia selalu harus menggunakan
ilmu partai sendiri yang paling asli.
Kwee Siang kaget sebab begitu lekas Boe sek membuat
lingkaran ditengah udara ia lantas saja merasakan tindihan semacam tenaga yang
sangat kuat. Buru2 membalik pedang dan dengan gagang pedang, ia menotok jalanan
darah Wan-koet-hiat, Yang kok hiat dan Yang loo hiat di pergelangan tangan si
pendeta. Ilmu molok itu adalah It yang cie yang ia belajar dari Boe Sioe Boen.
Sebenarnya pelajarannya masih sangat cetek dan belum bisa digunakan untuk
melukakan musuh. Tapi gerakan menotok tiga jalanan darah itu adalah salah satu
pukulan yang paling lihay dari It yang cie. Maka itu, begitu melihat gerakan
tangan si nona, Boe sek kaget tak kepalang dan cepat2 ia menarik pulang
serangannya. Andaikata ia menyerang terus dan tertotok pergelangan tangannya,
ia pasti tak akan terluka, sebab totokan itu tidak di sertai dengan Lwekang It
yang cie yg disegani orang. Tapi sebagai orang yang berpengalaman, Boe sek
sungkan mempertaruhkan nama besarnya dalam satu pukulan itu.
Kwee Siang tertawa nyaring. “Toahweeshie kau
ternyata mengenal ilmuku yang sangat lihay,” katanya seraya menyengir.
Boe sek tidak menyambut, ia hanya mangeluarkan
suara “Hm” dan lalu menyerang dengan pukulan Tan-hong-tiauw-yang (Angin dan
matahari). Dengan pukulan itu, kedua tangannya terpentang lebar dan terangkat
tinggi, sehingga si nona sukar menggunakan It-yang cie lagi. Tapi Kwee Siang
tak kehabisan modal. Dengan cepat ia menyilangkan kedua telapak tangannya dan
balas menyerang deugan Biauw-chioe-kong-kong (Tangan yang lihay ke lihatan
kosong), yaitu jurus ketujuh puluh dua dari Kong beng koen, gubahan Loo hoan
tong. Cioe Pek Tong Kong beng koen adalah ilmu yang belum pernah tersiar
didunia maka untuk sekian kalinya, Boe sek ter-heran2. Dengan cepat ia berkelit
kesamping dan hampir berbareng mengirim pukulan Pi na hoa cit seng (Tujuh
bintang). Bagaikan arus kilat, tahu2 tangannya sudah menyentuh telapakan tangan
si nona, yang jika tidak melawan dengan menggerakkan Lwekang, tulang tangannya
pasti akan patah.
Kwee Siang mengerti, bahwa tangannya sudah ada
dibawah kekuasaan lawan, tapi hati nya masih penasaran. Jangan kegirangan dulu
kau! Belum tentu bisa mematah tulang tanganku,” katanya didalam hati. Ia segera
mengempos semangat melawan tenaga si pendeta dengan Cat-po-san-chioe (
Kipas-besi ) . llmu ini yang merupakan ilmu simpanan dari Tiat-Ciang-kang (ilmu
tangan besi) adalah satu ilmu “keras” yang paling ditakuti dalam Rimba
Persilatan.
Sebagai seorang ahli, Boe sek tentu saja mangenal
ilmu itu dan jantungnya memukul keras. Ia jadi serba salah. Jika ia menggunakan
kekerasaan sinona bisa terluka berat dan ia sama sekali tidak bermaksud until
mencelakai gadis itu. Disamping itu untuk berterus terang, ia memang merasa
agak segan terhadap Tiat-ciang-kang. Sesudah memikir sejenak, ia segera menarik
pulang tangannya.
Sekali lagi, si nakal tertawa nyaring. ” Awas!
Pukulan yang ke sepuluh. Apa kau masih belum bisa menebak partaiku ?”
teriaknya. Sambil berteriak begitu, ia mengebas keatas dengan tangan kirinya,
sedang tangan kanannya menyambar kejanggut Boe-sek. Tanpa merasa, semua pendeta
mengeluarkan seruan tertahan, sebab pukulan itu, yang diberi nama Kouw hay hoei
tauw ( Memutar kepala di laut kesengsaraan ) adalah salah situ pukulan Kin na
chioe hoat ( Ilmu menangkap dan menyengkeram), dari Siauw lin pay sendiri.
Tapi Kouw hay hoei tauw agak berlainan dengan Kim
na chioe hoat lain cabang, karena biasanya hanya di gunakan pada saat berbahaya
untuk menolong jiwa. Dengan pukulan itu, tangan kiri sipenyerang menolak kepala
musuh, sedang tangan kanan menyambar leher, sehingga jika berhasil, leher musuh
bisa patah, setidaknya terluka berat.
Melihat sinakal berani menggunakan pukulan tersebut
dihadapannya, seolah seorang sasterawan mengugulkan diri dihadapan Nabi Khong
Coe. Boe sek jadi geli dalam hatinya. Selama puluhan tahun, ia sudah melatih
pukulan tersebut sehingga setiap gerakanya sudah terjadi secara wajar. Secepat
kilat, ia miringkan badan dan menggeser maju kakinya, sedang tangan kirinya
menyambar kebawah ketiak si nona dan tangan kanannya mencekal belakang lutut
Kwee Siang.
Pukulan itu yang diberi nama Sia can tiauw hay
(Mengempit gunung melompati lautan) merupakan pukulan tunggal untuk memunahkan
Kouw hay hoei-tauw.
Si nona kaget tak kepalang dan tahu2 ke dua kakinya
sudah terangkat naik dari muka bumi. Sebenarnya dengan menggunakan sikut, ia
masih bisa menyikut lawan. Tapi sebab gerakan Boe sek cepat luar biasa, sebelum
sempat bergerak, ia sudah tak berdaya.Dengan demikian, putri Kwee Ceng telah
dikalahkan.
Selagi kedua tangannya mencekal sinona, mendadak
Boe sek terkesiap. “Celaka !” ia mengeluh. “Aku hanya memperoleh kemenangan
dalam pertempuran, tapi masih belum tahu siapa gurunya dan apa nama partainya.”
Kwee Siang memberontak sekuat tenaga. “Lepaskan
aku!” teriaknya. “Cring!” serupa benda jatuh dari saku sinona.
“Toahweeshio, apa benar2 kau tak mau melepaskan
diriku ?” serunya dengan suara ke takutan.
Boe sek Siansoe adalah seorang berlibat yang
berilmu tinggi dan yang mencintai segenap makhluk Tuhan. Maka itu, mendengar suara
sinona cilik, is lantas saja tertawa ter bahak2.
“Nona kecil, loolap sudah berusia lanjut dan pantas
menjadi kakekmu,” katanya seraya tersenyum. “Apa kau masih perlu merasa takut
?” Sehabis berkata begitu, dengan menggunakan tenaga yang diperhitungkan, ia
melontarkan tubuh sinona kira2 dua tombak jauhnya dan kedua kaki Kwee Siang
hinggap dimuka bumi tanpa kurang suatu apa.
Sebagai ksatria yang tak akan menjilat ludah
sendiri. Boe sek segera manggutkan kepalanya untuk mengaku kalah. Selagi
kepalanya mengangguk, tiba-tiba ia melihat serupa benda hitam diatas tanah dan
benda itu adalah sepasang Lohan (pendeta yang berilmu tinggi) yang terbuat
daripada besi.
“Toahweeshio, apa kau mengaku kalah ?” tanya Kwee
Siang.
Boe sek mengangkat mukanya yang berseri-seri dan
seraya tertawa girang, ia menjawab.
“Bagaimana aku bisa kalah dari seorang bocah cilik?
Aka tahu, ayahmu adalah Tay hiap Kwee Ceng,
ibumu Liehiap Oey Yong dan majikan pulau Thoa hoa adalah kakekmu. Ayahandamu
memiliki kepandaian yang beraneka ragam, karena ia pernah berguru dengan
Kanglam Citkoay, dengan Kioe-cie sin-kay, tokoh-tokoh Coancien pay dan lain
lain partai lagi. Kwee Jie kaouwnio, kau adalah putrinya pendekar kelas satu
pada jaman ini sehingga tidaklah heran, jika kau memiliki kepandaian luar
biasa.”
Kwee Siang kemekmek, ia tak pernah mimpi akan
mendengar jawaban begitu.
Melihat paras bingung dimuka sinakal, sambil
tertawa geli Boe sek membungkuk dan menjemput dua Lo han besi itu.
“Kwee Jie kouwnio, aku si pendeta tua tak boleh
mendustai seorang bocah cilik,” katanya. “Aku bernasil menebak asal usulmu
karena melihat sepasang Lo Han besi ini. Apa Yo Tayhiap baik ?”
“Apa kau pernah berjumpa dengan Toako dan Liong
cici?” ia balas menanya. “Aku datang kemari justru untuk mendengar-dengar
tentang mereka. Kau mungkin belum tahu, bahwa toakoku dan Liong sudah merangkap
menjadi suami istri.”
Boe sek mengangguk beberapa kali, “Pada beberapa
tahn yang lalu, Yo Tayhiap pernah datang berkunjung kekuil kami untuk beberapa
hari dan aku merasa sangat cocok dengannya,” menerangkan si tua. “Belakangan
kami mendengar, bahwa ia membinasakan kaizar Mongol diluar kota Siangyang, sehingga namanya menggetarkan
seluruh dunia. Waktu menerima warta itu, kami semua merasa girang bukan main.
Tapi sekarang kami tak tahu, dimana ia berada. Ah. Kalau begitu ia sudah
menikah. Aku berani memastikan, bahwa istrinya adalah seorang wanita yang boen
boe song coan (mahir dalam ilmu surat
dan ilmu perang).”
Kwee Siang berdiri bengong dan mengawasi ketempat
jauh. Ia menghela napas seraya berkata dengan suara perlahan. “Kalau begitu,
kalian pun tak tahu dimana mereka berada. Siapa yang bisa memberi keterangan?”
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula,
“Sekarang baru kutahu, kau adalah Boe sek Siansu. Tak heran. Jika kau memiliki
memiliki begitu tinggi. Hmm! Aku belum menghaturkan terima kasih untuk hadiah
ulang tahunku. Sekarang belum terlambat. Biarlah hari ini saja aku menghaturkan
banyak terima kasin kepadamu.”
Sipendeta tertawa. “Orang sering mengata kan, bahwa tanpa
berkelahi tidak bisa menjadi sahabat,” katanya. “Bagi kita berdua, Kata-kata
itu sungguh tepat sekali. Eh, kalau kau bertemu dengan Yo Tayhiap, kuharap kau
jangan memberitahukan bahwa aku si tua telan menghina seorang wanita muda,”
Kedua mata sinona memandang puncak2 gunung yang
tertutup awan, “Sampai kapan. … sampai kapan baru akan bisa bertemu dengannya”
katanya.
Sebagaimana diketahui, pada waktu Kwee Siang
merayakan hari ulang tahunnya yang keenam belas, Yo Ko telah mengundang jago
jago Rimba persilatan untuk berkumpul di kota
Siang yang, guna memberi selamat panjang umur. Pada hari itu, dengan memandang
muka Yo Ko, ahli-ahli silat dari “jalanan hitam” dan “jalanan putih” telah
berkumpul di Siangyang. Boe sek yang kebetulan sedang repot tak bisa datang
berkunjung dan hanya mengirim seorang wakil untuk memberi selamat dan
menyampaikan barang antaran, Dan barang antaran yang dikirimnya bukan lain
sepasang Lo han besi itu dipasang alat alat dan jika alat2 tersebut diputar,
anak2an itu segera menjalankan satu pukulan Lo han koen. Yang membuatnya adalah
seorang pendeta aneh yang pada satu abad berselang pernah bertempat tinggal
dikuil Siauw lim sie. Kwee Siang yang masih ke kanak2an merasa sangat ketarik
dengan mainan yang selalu di bawa2nya didalam saku. Pukulan Kauw hay hoei tauw
yang barusan digunakannya, sebenarnya telah didapat oleh si nona dari kedua Lo
han besi itu. Tak dinyana, karena gara2 itu juga hari ini asal usulnya telah
ditebak jitu oleh Boe sek Siansoe.
“Berhubung dengan peraturan yang turun tumurun, aku
merasa menyesal tak bisa mengundang Kwee Jie-kouwnio datang berkunjung kekuil
kami,” kata Boe sek. “Aku percaya kau tak akan jadi kecil hati.”
“Tak apa2,” kata sinona dengan masgul. “Ada yang aku hendak
tanyakan.”
Sambil menunjuk Kak wan, pendeta tua itu berkata
pula. “Tentang Soeteeku itu, aku akan menerangkan kepadamu perlahan2. Begini
saja. “Si tua akan menemani kau turun gunung dan kita cari sebuah rumah makan,
supaya aku bisa menjadi tuan rumah untuk minum beberapa cawan arak. Bagaimana
pikiranmu?”
Mendengar kata2 itu, semua pendeta kaget tercampur
heran. Boe sek Siansoe adalah seorang yang mempunyai kedudukan sangat tinggi
dalam Siauw lim sie. Bahwa ia sudah berlaku begitu hormat terhadap seorang
gadis remaja, adalah suatu kejadian luar biasa.
“Taysoe, janganlah kau berlaku begitu sungkan,”
kata sinona de ngan perasaan jengah.” Aku menyesal bahwa barusan dengan
semberono aku sudah melakukan perbuatan sangat tak pantas terhadap beberapa
Sueheng. Aku memohon Taysoe sudi menyampaikan maafku kepada mereka.
Biarlah kita berpisahan disini saja dan dilain
hari, kita pasti akan bertemu pula.” Sehabis berkata begitu, ia segera memberi
hormat, lalu memutar dapan dan mulai bertindak turun dari tanjakan itu.
“Nona kecil, mengapa kau menolak tawaranku yang
diajukan dengan setulus hati?” kata Boe sek sambil tertawa. “Beberapa tahun
berselang, karena sedang repot, aku tak bisa menghadiri pesta hari ulang
tahunmu, sehingga sampai sekarang hatiku masih merasa tak enak. Kalau hari ini
aku tidak mengatarkan kau sampai 30 li, aku seperti juga tidak mengenal
peraturan untuk melayani tamu terhormat.”
Mendengar kata2 itu yang tulus iklas dan juga
karena merasa senang dengan cara2 si tua yang polos, Kwee Siang segera
berpaling dan berkata sambil bersenyum.”Marilah.”
Dengan berendeng pundak mereka turun dari tanjakan
itu dan tak lama kemudian, tibalah mereka dipendopo Lip swat teng. Tiba2 mereka
mendengar suara tindakan kaki dan waktu menengok, mereka melihat, bahwa orang
yang membuntuti adalah Thio Koan Po. ” Saudara Thio,” menegur Kwee Siang.”
Apakah kau juga ingin mengatarkan tamu?”
Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah.
“Benar!” jawabnya.
“Pada saat itulah, se-konyong2 dari jauh mereka
melihat seorang pendeta bertindak keluar dari pintu kuil dan kemudian lari
turun sekeras kerasnya dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Alis Boe
sek berkerut. “Ada
apa begitu ter-buru2 ?” tanyanya.
Begitu berhadapan dengan Boe sek, pendeta itu
memberi hormat dan lalu bicara bisik2. Paras muka si tua laatas saja berubah.
“Apa benar ada kejadian begitu?” teriaknya.
“Loo hong-thio (pemimpin kuil) mengudang Sioe-co
(kepala bagian) untuk berdamai.” jawabnya.
Melihat paras muka Boe-sek. Kwee Siang mengerti,
bahwa Siauw-lim-sie sedang menghadapi urusan sulit. Maka itu, ia lantas saja
berkata: “Loo-sian-soe, dalam persahabatan yang paling penting adalah kecintaan
hati. Segala adat istiadat tiada sangkut pautnya dengan persahabatan. Jika
Loo-sian-soe mempunyai urusan, uruslah saja. Di lain hari, kita masih mempunyai
banyak kesempatan untuk makan minum sepuas hati.”
“Tak heran Yo Tay hiap begitu menghormatimu,”
memuji Boe sek. “Kau benar2 seorang gagah, seorang jago betina. Aku merasa
girang bisa bersahabatan dengan seorang seperti kau.”
Kwee Siang bersenyum deagan paras muka ke-merah2 an
dan sesudah mereka saling memberi hormat, si pendeta tua segera kembali kekuil
Siauw-lim-sie.
Sinona lalu meneruskan perjalanannya dengan
dibuntuti Thio Koen Po dari belakang. Pemuda itu tak berani berjalan berendeng,
ia mengikuti dalam jarak lima-enam tindak.
“Saudara Thio, mengapa mereka menghinakan gurumu ?” tanya nona Kwee sambil menengok kebelakang. “Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi, gurumu sebenarnya boleh tak usah takuti mareka.”
“Saudara Thio, mengapa mereka menghinakan gurumu ?” tanya nona Kwee sambil menengok kebelakang. “Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi, gurumu sebenarnya boleh tak usah takuti mareka.”
Koen Po mempercepat tindakannya. “Mereka bukan
sengaja menghina Soehoe,” jawabnya. “Peraturan di dalam kuil selalu dipegang
keras sehingga siapapun juga membuat pelanggaran, tak akan terluput dari
hukuman.”
Kwee Siang jadi heran. “Gurumu adalah seorang
kesatria dan dalam dunia jarang terdapat manusia yang hatinya begitu mulia,”
katanya. “Kedosaan apakah yang telah di perbuatnya ?”
Pemuda itu menghela napas panjang. “Latar belakang
kejadian ini sebetulnya sudah di ketahui nona,” jawabnya. “Yang menjadi
gara-gara adalah kitab Leng-keh-keng.”
“Ah ! Kitab yang dicuri Siauw Siang Coe dan In Kek
See ?” menegas si nona.
“Benar,” jawabnya. “Hari itu, waktu berada di
puncak Hwa-san, atas petunjuk Yo Tay hiap, aku telah menggeledah badan kedua
orang. Sesudah turun gunung, mereka tak kelihatan mata hidungnya lagi. Dengan
apa boleh buat, Soesoe dan aku segera kembali kekuil dan melaporkan kepada Sioe
co dari Kay-loet-ton. Leng keh keng adalah kitab yg di tulis oleh Tatmo Couwsoe
sendiri dan merupakan salah sebuah barang berharga dalam Siauw-lim-sie. Maka
itu dapatlah dimengerti, jika Soehoe tak bisa terlolos dari hukuman.
“Gurumu dihukum tak boleh bicara ?” tanya pula si
nona.
“Ya, menurut peraturan yang sudah turun temurun,”
sahutnya. Menurut peraturan itu, seorang yang dihukum harus memikul air dengan
kaki tangan dilibat rantai dan tak boleh bicara”.
“Menurut katanya para tetua hukuman memikul air
malahan ada baiknya untuk yang terhukum. Dengan membungkam, ia mendapat
kemajuan dalam latihan rokhani dan dengan memikul air tangannya akan bertambah
besar.”
Si nona tertawa geli. “Kalau begitu, gurumu
sebetulnya bukan menjalani hukuman, tapi sedang melatih badan.” katanya. “Ah !
Memang aku yang terlalu rewel dan suka mencampuri urusan orang lain.”
“Bukan, bukan begitu,” kata Koen Po dengan cepat,
“Untuk kebaikan nona, Soehoe merasa sangat berterima kasih dan tak akan
melupakannya.”
Kwee Siang menghela nafas. “Lain orang sudah
melupakan aku sama sekali,” katanya didalam hati.
Sesaat itu, tiba2 terdengar suara bunyi keledai
yang sedang makan rumput didalam hutan. “Saudara Thio, tak usah kaum engantar
lebih jauh lagi.” katanya sambil bersiul dan tunggangannya segera menghampiri.
Koen Po mengawasi dengan sorot mata duka. Ia
kelihatannya merasa berat untuk berpisahan, tapi ia tak mengeluarkan sepatah
kata,
Kwee Siang yang dapat membaca jalan pikiraannya,
segera merogoh saku dan mengeluarkan sepasang Lo han besi. “Kau ambilah ini”
katanya seraya mengangsurkannya.
Koen Po terkejut, ia tak berani menyambutinya. “Ini
. ini . .” katanya ter-putus2.
“Aku berikan ini kepadamu,” kata si nona , “Kau
ambil lah.”
Pemuda itn tergugu: “Aku . . aku ..”
SiNona segera memasukkan sepasang han besi itu
kedalam saku Koen Po dan kemudian melompat naik keatas punggung keledai.
Tapi, sebelum ia berangkat, diatas tanjakan se
konyong2 terdengar teriak: “Kwee
Jie-bouwnio! Tahan!” Si nona menengok dan melihat Boe Sek Siansoe sedang mendatangi dengan ber-lari2.
Jie-bouwnio! Tahan!” Si nona menengok dan melihat Boe Sek Siansoe sedang mendatangi dengan ber-lari2.
“Pendeta tua itu ternyata kukuh sekali,” pikirnya.
“Perlu apa ia mengatarkan aku?”
Begitu berhadapan dengan sinona, Boe Sek segera
berkata pada Koen Po: “Lekas kau kembali kekuil. Kau tak boleh berkeliaran lagi
digunung ini.”
Pemuda itu mengangguk sambil melirik sinona, ia
segera mendaki tanjakan.
Sesudah Koen Po berada jauh. Boe sek segera
mengeluarkan selembar kertas dari dalam lengan jubahnya dan berkata: “Kwee
Jie-kauw nio, apa kau kenal tulisan siapa ini ?”
Sinona menyambuti dan membaca dua baris huruf yang
tertulis diatasnya. “Sepuluh hari kemudian, Koen-leon Sam seng (Tiga nabi
gunung Koen-loen san) akan datang berkunjung ke Siauw lim-sie untuk meminta
pelajaran,”
“Siapa Koen loen Sam seng ?” tanya sinona “Suaranya
sombong sekali!”
“Kalau begitu nona pun tak mengenal mereka
katanya.” Situa berdiri bengong. “Urusan ini benar benar mengherankan,” katanya
dengan suara perlahan.
“Mengapa mengherankan ?” tanya Kwee Siang.
“Biarpun baru pernah bertemu, aku menganggap nona
sebagai seorang sahabat lama dan aku bersedia untuk menerangkan se-jelas2nya
kata Boe-sek. “Apa nona tahu dari mana datangnya kertas ini ?”
“Diantarkan oleh suruhan Koe-loen Sam-seng.”
Jawabnya.
“Jika disampaikan oleh seorang suruhan, kami tentu tak menjadi heran.” kata siPendeta.
“Orang sering mengatakan, bahwa pohon yang tinggi selalu mengundang serangan angin. Dan sudah sejak lama, selama beberapa ratus tahun, Siauw lim sie dikenal sebagai sumber pelajaran ilmu silat dan oleh karena demikian, banyak sekali ahli silat datang berkunjung untuk menjajal kepandaian kami. Hal ini adalah hal yang lumrah. Dipihak kami, setiap kali orang menantang, kami selalu coba membujuknya, supaya ia membatalkan niatan itu. Sedapat mungkin, kami coba mengelakkan pertandingan. Kami sungkan merebut kemenangan. Orang2 yang masih suka berkelahi, mana boleh jadi murid Budha
“Jika disampaikan oleh seorang suruhan, kami tentu tak menjadi heran.” kata siPendeta.
“Orang sering mengatakan, bahwa pohon yang tinggi selalu mengundang serangan angin. Dan sudah sejak lama, selama beberapa ratus tahun, Siauw lim sie dikenal sebagai sumber pelajaran ilmu silat dan oleh karena demikian, banyak sekali ahli silat datang berkunjung untuk menjajal kepandaian kami. Hal ini adalah hal yang lumrah. Dipihak kami, setiap kali orang menantang, kami selalu coba membujuknya, supaya ia membatalkan niatan itu. Sedapat mungkin, kami coba mengelakkan pertandingan. Kami sungkan merebut kemenangan. Orang2 yang masih suka berkelahi, mana boleh jadi murid Budha
“Benar, perkataan Taysoe benar sekali,” ka ta
sinona sambil mengangguk.
Akan tetapi, pada umumnya, seorang ahli silat yang
datang berkunjung, masih penasaran jika belum memperlihatkan kepandaiannya,”
kata pula Boe sek. “Maka itu, dalam kuil kami dibentuk bagian Lo han tong yang
bertugas untuk melayani para tamu itu.”
Sinona tertawa-tawa geli. “Aha ! Kalau begitu
Taysoe bertugas sebagai tukang berkelahi,” katanya.
Situa tertawa getir. “Sebagian besar ahli ahli silat yang datang kemari dapat dilayani oleh para murid dan aku tak usah turun tangan sendiri,” katanya. “Tapi hari ini karena melihat gerakan2 nona yang luar biasa, aku terpaksa turun tangan sendiri.”
Situa tertawa getir. “Sebagian besar ahli ahli silat yang datang kemari dapat dilayani oleh para murid dan aku tak usah turun tangan sendiri,” katanya. “Tapi hari ini karena melihat gerakan2 nona yang luar biasa, aku terpaksa turun tangan sendiri.”
“Terima kasih banyak2 atas pujian Toahweeshio,”
kata sinona sambil membungkuk dan tertawa manis.
“Ah, aku sudah melantur kelain tempat,” kata Boe
sek. “Sekarang kita kembali pada surat
tantangan itu. Untuk bicara sejujurnya kertas ini diambil dari dalam tangan
patung Hang-liong Lo-han yang terdapat didalam kamar Lo-han-tong.”
“E eh! Siapa yang menaruhnya?” tanya si nona.
Sipendeta meng garuk2 kepala. “Kami tak tahu,
inilah justru yang mengherankan,” jawabnya. “Dalam Siauw lim-sie terdapat
ratusan pendeta, sehingga seorang luar tak mungkin menyelinap masuk, tanpa
diketahui. Apa pula kamar Lo han tong siang malam dijaga oleh delapan murid
dengan bergantian. Barusan, mendadak saja seorang murid melihat kertas itu
didalam tangan Hang liong Lo han dan ia segera melaporkan kepada Loo-hong-thio.
Semua orang jadi heran tak habisnya dan mereka lalu memanggil aku untuk diajak
berdamai.”
Mendengar sampai disitu, Kwee Siang lantas saja
dapat menebak jalan pikiran sipendeta. “Bukankah kau merasa curiga terhadapku?”
tanyanya. “Kalian menganggap, bahwa aku mempunyai hubungan dengan manusia2 yang
menamakan dirinya sebagal Koen-loen Sam-seng. Aku mengacau diluar dal mereka
diam2 masuk ke Lo han-tong untuk menaruh surat
itu. Bukankah begitu dugaanmu?”
“Aku sendiri tidak, hatiku bebas dari segala
prasangka,” sahutnya. “Tapi nona tentu bisa mengerti, jika Loo-hong-thio dan
Boe siang Soe-heng agak curiga. Secara kebetulan, surat itu muncul pada waktu nona mau
berangkat.”
“Sekali lagi aku memastikan, bahwa aku tidak
mengenal tiga manusia itu,” kata Kwee Siang.
“Toa-hweeshio, apa yang mesti ditakuti? Jika mereka
benar2 berani menyateroni, iringlah segala kemauannya.”
“Takut kami tentu tak takut,” kata situa. “Jika
nona tidak bersangkut paut dengan mereka, aku boleh tak usah berkuatir lagi.”
Kwee Siang mengerti, bahwa maksud si pendeta tua
adalah baik sekali. Boe sek rupanya menyangka tiga orang itu ada berhubungan
dengan dirinya, sehingga jika sampai bergerak ketiga orang itu sampai terluka,
si pendeta akan merasa tak enak hati terhadapnya. Maka itu, ia lantas saja
berkata. “Toa hweesio, jika mereka datang baik2 dan bicara baik2, kau boleh
menyambutnya secara baik2 pula. Tapi kalau mereka kurang ajar, hajarlah, supaya
mereka tahu lihaynya Siauw lim-sie. Dilihat dari suratnya, mereka kelihatannya
sombong luar biasa.”
Bicara sampai di situ, dalam otaknya mendadak
berkelebat serupa pikiran dan ia lalu berkata pula: “Toa, hweeshio, apa tak
mungkin didalam kuil terdapat konconya yang diam2 sudah menaruh kertas itu
ditangan Hang liong Lo han?”
“Kemungkinan ini sudah direnungkan oleh kami,”
sahutnya. “Tapi rasanya tak mungkin terjadi. Tinggi tangan Hang liong Lo han da
ri lantai ada tiga tombak lebih dan murid yang membersihkannya, selalu harus
menggunakan tangga. Orang yang memiliki ilmu mengentengkan badan sangat tinggi,
belum tentu bisa mencapainya. Andaikata benar ada pengkhianat, dia pasti tak
mempunyai ilmu yang begitu tinggi.”
Penuturan yang sangat manarik itu sudah
nembangkitkan rasa kepengin tahu dalam hati Kwee Siang. Ia kepingin tahu,
bagaimana macamnya Koen loen Sam Seng dan kepingin tahu pula bagaimana
kesudahan pertemuan itu. Hanya sayang, tak mungkin ia menyaksikan itu semua
dengan mata sendiri, karena Siauw lim-sie tak bisa menerima tamu wanita.
Melihat sinona ter-menung2. Boe sek menduga, bahwa
nona itu sedang memikiri daya upaya untuk mengelakkan ancaman bahaya. Maka dari
itu, sambil tersenyum ia berkata. “Kwee Jie kouwnio, selama ribuan tahun
Siauw-lim-sie telah mengalami banyak gelombang dan taufan, tapi begitu jauh,
belum pernah dirusak orang. Jika Koen loen Sam sang sungkan di ajak berunding,
kamipun tak akan mengorbankan keangkeran Siauw lim sie dengan begitu saja. Kwee
Jie kouwnio, setengah bulan kemudian, kau boleh men-dengar2, apa Koen loen Sam
seng sudah berhasil menghancurkan kuil kami” Waktu mengucapkan kata2 yang
paling akhir, muncullah kembali keangkeran Boe sek di jaman muda, suaranya
nyaring dan berpengaruh, sedang kedua matanya ber-kilat2.
“Toa hweeshio, jangan kau gampang2 naik darah,”
kata sinona sambil tertawa geli. “Cara2 yang berangasan tak sesuai dengan
kedudukanmu sebagai murid Sang Buddha. Baiklah setengah bulan lagi, aku
menunggu warta menggirangkan.” Sehabis berkata begitu, ia mengedut les keledai
dan lalu mulai turun gunung. Diam2 ia mengambil keputusan, bahwa sepuluh hari
kemudian ia akan kembali untuk menonton keramaian.
Sambil jalankan keledai perlahan2, rupa2 pikiran
ber-kelebat2 dalam otak si nona. “Mungkin sekali Koen loen Sam seng tak mem
punyai kepandaian berarti, sehingga aku tak bakal menyaksikan keramaian, yang
menarik nati,” pikirnya. “Ah jika di antara mereka terdapat orang2 yang
memiliki kepandaian kira2 seperti kakek, ayah, ibu atau Yo Toa koo, peritiwa
Sam seng mengacau Siauw lim sie barulah sedap ditonton.”
Mengingat Yo Ko, hatinya lantas saji berduka.
Selama tiga tanun, ia telah menjelajahi berbagai tempat, tapi selalu menubruk
angin. Ciong lim -san Kuburan Mayat Hidup sunyi-senyap, dilembah Ban hoa kok
hanya terdapat rontokan laksaan bunga, Coat ceng kok hanya penuh dengan
tampukan puing, sedang di Hong leng touw pun, ia tidak bisa menemukan tapak2 Yo
Ko dan Siauw Long Lie. Ia menghela napas ber-ulang2 dan berkata dalam hatinya.
“Andaikata, kubisa bertemu dengan dia nya, apa artinya pertemuan itu ? Bukan kah
akan hanya menambah luka yang pedas perih ? Bukankah hanya menyingkirnya dia ke
tempat jauh banyak baiknya untuk diriku ? Hai ! Terang2an kutahu, bahwa apa
yang kupikir adalah bayangan bunga di kaca atau bayangan rembulan di muka air.
Tapi. . . aku tak berkuasa untuk menindas dorongan hati . .untuk menindih
keinginan mencari dia.”
Sambil melamun, la membiarkan keledainya jalan
sejalan-jalannya. Diwaktu lohor ia sudah terpisah agak jauh dari Siau sit san,
Disepanjang jalan, ia menikmati pemandangan yang sangat indah dan dari jauh ia
memandang puncak timur dari Siauw sit san yang menjulang kelangit. Mendadak,
dari antara pohon-pohon siong yang sudah ribuan tahun tuanya, lapat-lapat
terdengar suara khim. “Si apa yang menaruh khim ditengah gunung yang sunyi ini
?” tanyanya didalam hati. Karena kepingin tahu, ia melompat turun dari
keledainya dan berjalan kearah suara tetabuhan itu,
Sesudah datang lebih dekat, ia mendapat kenyataan,
bahwa suara khim itu diiringi dengan suara lain, seperti semacam nyanyian.
Semenjak kecil, di bawah pimpinan ibunya Kwee Siang
telah mempelajari berbagai ilmu sehingga, walaupun tidak terlalu mendalam, ia
mengenali baik ilmu menabuh khim, ilmu main tiokie ( catur Tioaghoa ) , Unit
surat dan melukis yang umumnya di miliki oleh orang2 terpelajar pada jaman itu,
di tambah dengan otaknya yang sangat cerdas, ia tak usah kalah dari orang2
biasa dan malahan ia masih sanggup menimpali kakeknya dalam ilmu musik dan
melayani Coe Coe Lioe dalam ilmu surat. Sekarang mendengar suara tabuh tabuhan
yang agak aneh itu, ia segera mendekati dengan indap-indap.
Dalam jarak belasan tombak, barulah terang baginya,
bahwa suara khim itu diiringi oleh suara ratusan burung. Dengan rasa heran, ia
lalu mengintip dari belakang satu pohon besar dan terlihat seorang lelaki yang
mengenakan baju putih sedang duduk di bawah tiga pohon siong sambil menabuh
khim. Di dahan2 ketiga pohon itu terdapat ratusan ekor burung besar dan kecil
yang menyanyi menurut irama tabuh2an itu. Suara khim dan bunyi burung adalah
sedemikian akur sehingga didengar dari jauh, sukar sekali orang dapat
membedakan, yang mana suara khim, yang mana suara burung.
Kwee Siang terpesona dan dengan hati ber debar2, ia
mendengari musik luar biasa itu, yang semakin lama jadi semakin keras. Tiba2 di
sebuah kejauhan terdengar ramai suara gerakan sayap burung yang mendatangi
dengan cepat sekali dan di lain saat ratusan burung gereja tiba di situ,
sebagaian segera hinggap di cabang2, sebagian pula terbang ber-putar2.
Tiba-tiba Kwee Siang ingat suatu hal. “Ah” katanya di dalam hati. “Apakah lagu
ini bukan lagu Pek niauw hong (
Ratusan burung menghadap kepada burung Hong) yang
sudah tak dikenal lagi dalam dunia ? Menurut katanya kakek, dalam lagu tersebut
suara khim menyerupai bunyi burung Hong yang bisa menyebabkan kedatangan
ratusan burung. Tapi, apa benar dalam dunia terdapat ilmu memetik khim yang
begitu tinggi?”
Berapa lama kemudian, suara itu berubahlah
perlahan, kawanan burung mulai meninggalkan dahan2 dan lalu terbang berputaran
diatas pohon. Mendadak terdengar suara “ting” dan orang ita berhenti memetik
alat musiknya. Setelah terbang memutar beberapa kali lagi, ratusan burung
itupun turut bubar.
Orang itu dongak dan sesudah menghela napas, dari
mulutnya terdengar nyanyian seperti berikut.
Mengapa siang hari begitu cepat saatnya
Ratusan tahun lewat dalam sekejap mata
Langit yang luas tiada batasnya.
Takdir mendurita tak bisa dibantah.
Lihatlah rambut si Niekauw suci.
Sebagian sudah seperti salju yang putih.
Thian kong bertemu dengan Gioklie
Tertawa ter-bahak2 laksana kali.
Aku ingin mengeluarkan kereta.
Dan mendorongnya pulang kekampung halaman.
Pak tauw menuang air kata2.
Dan mengajak semua orang minum secawan.
Kekayaan dan, kemewahan tak jadi idam-idaman.
Yang diharapkan ialah awet muda sepanjang jaman.
Ratusan tahun lewat dalam sekejap mata
Langit yang luas tiada batasnya.
Takdir mendurita tak bisa dibantah.
Lihatlah rambut si Niekauw suci.
Sebagian sudah seperti salju yang putih.
Thian kong bertemu dengan Gioklie
Tertawa ter-bahak2 laksana kali.
Aku ingin mengeluarkan kereta.
Dan mendorongnya pulang kekampung halaman.
Pak tauw menuang air kata2.
Dan mengajak semua orang minum secawan.
Kekayaan dan, kemewahan tak jadi idam-idaman.
Yang diharapkan ialah awet muda sepanjang jaman.
Suara orang itu sedih sekali, seperti juga ia
merasakan, bahwa penghidupan manusia dalam dunia ini diliputi dengan
kesengsaraan yang tidak habis2nya. Kwee Siang jadi turut merasa terharu, tanpa
merasa dua butir air mata mengalir turun kedua pipinya. Ia mendongak seraya
berkata.
“Memutar pedang!
Mengangkat alis!
Air bening, batu putih, mengapa bersimpang siur?
Manusia hidup tanpa sahabat sejati.
Hidup ribuan tahun, tiada berarti.”
Mengangkat alis!
Air bening, batu putih, mengapa bersimpang siur?
Manusia hidup tanpa sahabat sejati.
Hidup ribuan tahun, tiada berarti.”
Tiba2 dari bawah khim, orang itu menghunus sebatang
pedang bersinar hijau. “Aha Kalau begitu, dia seorang Boe boe coan cay (pandai
ilmu surat dan
ilmu perang)” pikir si nona. “Coba kulihat ilmu silatnya.
Perlahan2 orang itu berjalan kesebidang tanah
lapang. Tapi sebaliknya dia bersiasat, ia menggores tanah dengan pedangnya,
segaris demi segaris.
“E eh? Kiam hoat apa itu?” tanya sinona dalam
hatinya. “Benar2 dia manusia aneh.”
Orang itu terus memcuat garisan2 melintang, sesudah
menggores sembilan belas kali ia berhenti dan lain mulai membuat garisan2
membujur, yang jaraknya
bersamaan satu sama lain, yaitu kurang lebih satu
kaki. Seperti juga garisan melintang, ia membuat sembilanbelas garisan
membujur.
Dengan menuruti caranya orang itu, Kwee Siang
meng-garis2 tanah dengan telunjuknya. “Wah! Kurang ajar!” katanya didalam hati,
“Papan Wie-kie !” ( Wie kie semacam catur yang menggunakan biji putih dan biji
hitam).
Sesudah selesai, dengan ujung pedang ia membuat
bundaran disudut kiri atas dan sudut kanan papan catur itu. Kemudian ia membuat
tanda silang, juga disudut kiri atas dan sudut kanan bawah.
Kwee Siang yang mengintip dari sebelah kejauhan,
mengerti, bahwa orang itu sedang mengatur biji Wie kie, tanda bundar mewakili
biji putih, tanda silang merupakan biji hitam.
Orang itu lalu mulai jalankan biji2nya. Sesudah
jalan enambelas biji, ia kelihatan bersangsi. Apakah biji putih harus bergulat
terus atau mengambil sikap membela diri disepanjang pinggiran papan? la
menancap pedangnya ditanah dan mengawasi papan dengan berpikir keras.
“Dilihat begini, dia seorang yang hidup kesepian,”
pikir sinona: “Ia memetik khim sendirian dan berkawan dengan burung.” Ia tak
punya kawan untuk main Wie
kie dan harus main seorang diri”
Sesudah memikir beberapa saat, orang itu lalu mulai
jalankan lagi biji2 Wie kie. Ternyata, biji putih sungkan mengalah dan sa tu pertempuran
hebat lantas saja terjadi disudut kiri atas. Putih dan hitam lantas ber gerak2
dan saling makan dengan serunya sama2 coba merebut kedudukan Tionggoan
(tengah2). Tapi, biar bagaimanapun, karena memang sudah kalah setingkat, biji
putih terus berada dibawah angin. Sesudah jalan 93 kali, biji putih sudah
terjepit, tapi masih ber gulat terus sedapat mungkin.
Si nona menonton pertempuran itu dengan hati
berdebar. Tiba2 tanpa merasa ia berteriak. “Mengapa tak mau meninggalkan Tiong
goan dan mundur ke See ek (sebelah barat)”
Orang itu terkejut. Ia melihat bahwa bagian barat
papan catur itu memang terdapat sebidang tanah yang kosong, dan jika biji putih
menerjang kesitu, masih bisa dipertahankan keadaan seri.”
“Bagus ! Bagus!” serunya dan lalu menjalankan biji
putih kejurusan barat. Sesudah jalan beberapa kali, barulah ia ingat kepa da
orang yang memberi tunjuk. Ia melemparkan pedangnya diatas tanah dan memutar
tubuh. “Orang yang berilmu siapakah yang memberi pelajaran ?” teriaknya. “Aku
sungguh merasa berterima kasih.”
Sehabis berkata begitu ia mengoya kearah Kwee
Siang.
Si nona mendapat kenyataan, bahwa orang itu, yang
berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bermuka lonjong panjang dan bermata
dalam, sedang badannya jangkung kurus. Sebagai seorang jago betina yang tak
menghiraukan perbedaan antara lelaki dan perempuan, perlahan-lahan Kwee Siang
berjalan keluar dari tempat sembunyinya dan berkata seraya tertawa. “Barusan
aku merasa kagun waktu mendengar Sian-seng memetik khim dengan diiring nyanyian
dari ratusan burung. Sesudah itu, dengan tak kurang rasa kagumku, kumelihat
Sianseng membuat papan Wie kia dengan menggaris tanah dan main Wie xie dengan
menggunakan pedang, Karena itu, aku jadi banyak mulut dan aku harap Sianseng
sudi memaafkan.”
Mendengar perkataan sinona, orang itu kelihatan
girang sekali. “Dari kata2mu. nona ternyata mahir dalam ilmu memetik khim,”
katanya sambil bersenyum. “Jika sudi, aku memohon nona suka perdengarkan satu
dua lagu.”
“Memang benar aku pernah belajar menabuh dari
ibuku, tapi jika dibandingkan dengan kepandaianmu, aku masih kalah jauh
sekali,” kata sinona. “Tapi jika menolak terlalu keras, aku merasa tak enak
hati. Biarlah aku akan mendengarkan sebuah lagu. Tapi jangan tertawa.”
“Bagaimana aku berani ?” kata orang itu sambil
mengangsurkan khimnya dengan kedua tangan.
Khim itu sudah berusia tua dan enteng se kali.
Sesudah mengakurkan tali2nya. Kwee Siang segera memetik lagu Kho phoa.
Kepandaian sinona memang tidak seberapa tinggi dan lagu yang didengarnya tidak
luar biasa. Tapi walaupun begitu, pada paras muka orang itu terlukis rasa kaget
tercampur girang. Mengapa? Karena lagu Kho phoa mengenakan jitu pada apa yang
dipikirnya, sehingga ia merasa amat girang dan berterima kasih ter hadap
sinona. Sesudah selesai Kwee Siang menabuh, untuk beberapa saat ia masih
bengong dengan mata mengawasi ketempat jauh.
Syair lagu Ko phoa diambil dari Sie keng (Kitab
Syair). Itulah sebuah nyanyian dari seorang Tay
soa, seorang yang mengasingkan diri dari pergaulan umum.
Dalam syair itu dikatakan bahwa cita2 yang luhur
dari seorang laki2 sejati yang berkelana sebatangkara didaerah pegunungan tidak
akan berubah, biarpun pada mukanya terlihat sinar kedukaan dan didalam hatinya
terdapat rasa kesepihan.
Perlahan2 si nona menaruh khim diatas tanah dan
tanpa mengeluarkan sepatah kata lalu barjalan pergi, akan kemudian melompat
keatas punggung keledai dan meneruskan perjaanan yang tak tentu rimbanya.
Siang dan malam lewat dengan cepatnya dan dalam
sekecap tibalah hari kesepuluh, yaitu hari yang dijanjikan Koen loen Sam seng
untuk menyataroni Siauw lim sie. Sudah berapa hari Kwee Siang mengasah otak
untuk mencari daya guna masuk kekuil Siauw lim sie, tapi ia belum juga
berhasil.” Sungguh malu aku menjadi anak ibuku”, pikirnya dengan mendongkol.
“Ibuku begitu pintar, anaknya sedemikian tolol.
Biarlah aku datang saja diluar kuil dan menunggu kesempatan. Mungkin sekali,
selagi repot berkelahi, mereka tak sempat merintangi aku.”
Pagi itu sudah menangsal perut dengan makanan
kering, ia tujukan keledainya ke Siauw lim sie. Waktu berada dalam jarak kurang
lebih sepuluh li dari kuil, tiba2 ia mendengar suara kaki kuda dan dari jalanan
gunung di sebelah kaki kelihatan mandatangi tiga penunggang kuda. Ketiga ekor
kuda itu satu bulu dauk, satu kuning dan satu lagi putih bertubuh tinggi besar
dan cepat sekali larinya. Dalam sekejap, mereka sudah melewati sinona dan
menuju kearah kuil. Ketiga penunggang kuda itu rata2 berusia kira2 limapuluh
tahun. Mereka mengenakan baju pendek warna hijau dan diatas pelana masing2
tergantung kantong kain yang berisi alat senjata. ” Ah! Mereka tentulah Koen
loen Sam seng, ” pikir Kwee Siang. “Jika terlambat, bisa2 aku ketinggalan
nonton.”
Ia segera menjepit perut keledai dengan lututnya
dan menepuk leher binatang itu. Sambil berbunyi kerena, keledai itu lantas saja
lari congklang. Biarpun kurus kecil, dia ternyata kuat sekali dan cepat
larinya. Tak lama kemudian, dia sudah bisa menyusul dan membuntuti ketiga
penunggang kuda itu.
Sekarang si nona bisa melihat lebih tegas.
Penunggang kuda dauk bertubuh kate kecil, Penungggang kuda kuning berpotongan
badan sedang dan penungggang kuda putih seorang jangkung kurus. Selanjutaya ia
pun mendapat kenyataan, bahwa ketiga binatang itu berbulu sangat panjang sampai
dikakinya sehingga berbeda sekali dengan kuda di wilayah Tiong goan.
Begitu tahu ada yang membututi, ketiga orang itu
segera menggeprak tunggannya yg lantas saja kabur sekeras-kerasnya sehingga
Kwee Siang lantas saja ketinggalan jauh sekali.
Sesudah me]alui dua-tiga-li, si nona belum juga
melihat bayangan2 ketiga penunggang kuda itu. Biarpun kuat, tenaga keledai
kecil kurus itu, sangat terbatas.
Napasnya sudah tersengal-sengal dan dia
kelihatannya sudah lelah sekali. “Binatang tak punya guna!” bentak sinona.
“Biasanya kau banyak lagak dan selalu mau lari cepat cepat. Tapi waktu aku
justeru memerlukan tenagamu kau lantas saja keok.” Melihat tak gunanya coba
menyusul lagi, ia lalu melompat turun dari punggung si kurus dan duduk mengaso
di sebuah pendopo batu dipinggir jalan dan membiarkan keledai makan rumput.
Belum lama ia duduk mengaso sekonyong konyong
terdengar pula suara kaki kuda dan ketiga penunggang kuda yg tadi sesudah male
wati satu lembah, kelihatan mendatangi.
“Eh, mengapa mereka kembali begitu cepat?° tanyanya
di dalam hati.
Setibanya dipendopo satu itu, mereka segera melomat
turun dari tunggangan mereka dan lalu duduk mengaso bersama-sama si nona. Orang
yang bertubuh kate kecil, bermuka merah dan yang paling menyolok adalah
hidungnya yang merah mengkilap seolah olah bara.
Ia mempunyai paras yang selalu tersungging
senyuman. Si tua yang bertubuh jangkung kurus, pucat sekali mukanya, di antara
warna putih pias terdapat sinar
biru, seolah olah ia tak pernah kena sorotan
matahari. Dengan demikian, warna kedua orang itu bertentangan satu sama lain:
yang satu merah membara, yang lain pucat pias. Orang ketiga, yang badannya
sedang sedang saja, tidak mempunyai ciri ciri luan biasa, kecuali mukanya yang
berwarna kuning seperti orang sakitan.
Sesudah menyapu ketiga orang itu dengan matanya
yang bening tajam, Kwee Siang ber senyum seraya menanya: “Samwe Loosian seng
(ketiga tuan) apakah kalian barusan mengunjungi Siauw lim sie? Mengapa, baru
naik kalian sudah turun kembali?”
Si muka pucat melirik seperti orang kekhi tapi si
muka merah tertawa dan balas menanya dengan suara manis. “Bagaimana nona tahu,
kami pergi ke Siauw lim-sie
?”
?”
“Kalau bukan ke kuil kemana lagi?” kata Kwee Siang.
Si muka merah mengangguk. “Benar,” katanya. “Kemana
nona sendiri mau pergi?”
“Kalian pergi ke Siauw Lim sie, akupun mau kesitu,”
jawabnya.
Tiba2 simuka pucat menyelak:” Siauw lim sie tak
pernah mempermisikan orang perempuan masuk kedalam kuil dan juga tak pernah
mempermisikan masuknya orang yang membawa senjata.”
Ia bicara dengan suara sombong, tanpa melirik
kepada si nona.
Kwee Siang jadi mendongkol. “Tapi mengapa kalian
sendiri membawa senjata?” tanyanya. “Bukankah dalam kantong dicelana, berisi
senjata ?”
“Bagaimana kau bisa dibandingkan dengan kami,” kata
simuka pucat dengan suara tawar.
“Sombong sungguh! Siapa sebenarnya kalian?” tanya
sinona dengan suara yang sama tawarnya. “Apa Koen loen Sam seng sudah bertempur
dengan pendeta2 Siauw 1im sie?” “Bagaimana kesudahannya ?”
Mendengar kata2 Koen loen Sam sang,” ketiga Orang
itu jadi kaget bukan main dan paras muka mereka lantas saja berubah.
“Nona kecil,” kata simuka merah.’”Bagaimana kau
tahu hal Koen loen Sam seng ?’
“Tentu saja kutahu,” jawabnya.
Mendadak simuka pucat maju setindak dan membentak:
“She apa kau ? Siapa gurumu Ada
urusan apa kau datang kesini ?’
“Bukan urusanmu,” sinona balas membentak.
Simuka pucat yang sangat berangasan dan yang selama
puluhan tahun selalu dihormati orang, lantas saja meluap darahnya. la segera
mengangkat tangan untuk menggaplok si jelita yang dianggap sangat kurang ajar.
Tapi sebelum tangannya melayang, tiba2 ia ingat kedudukannya yang sangat
tinggi. la insyaf bahwa adalah sangat tidak pantas, jika sebagai seorang tua,
ia menghina seorang muda, lebih2 seorang wanita. Mengingat begitu, ia
mengurungkan niatnya untuk menggampar muka, tapi tangannya menyambar terus
kepinggang sinona dan tiba2 pedang Kwee Siang bersama sarungnya sudah pindah
tangan! Kecepatan orang tua itu, sungguh sukar dilukiskan.
Selama berkelana dalam dunia Kangouw kejadian getir
itu belum pernah dialami oleh nona. Kepandaian yang dimilikinya memang belum
cukup untuk malang
melintang dengan leluasa. Akan tetapi, jago2 Rimba Persilatan sebagian besar
tahu, bahwa ia adalah puteri Kwee Ceng, sedang pentolan2 dalam kalangan
tersesat juga banyak sekali mengenalnya karena atas undangan Yo Ko, mereka
pernah datang di Siang yang untuk memberi selamat panjang umur kepadanya. Maka
itu semua orang berlaku sungkan terhadap si nona, jika tidak memandang muka
Kwee Ceng, memandang Yo Ko. Di samping itu si nona mempunyai paras yang cantik
dan adat yang polos terbuka. Ia tidak pernah bersikap sombong dan memandang
siapapun juga sebagai sesama manusia. Bukan jarang ia mengajak buaya2 kecil
minum arak ber-sama2. Dengan demikian, biarpun dunia Kang ouw penuh dengan duri
dan bahaya, sebegitu jauh ia berkelana dengan tak kurang suatu apa. Belumm
pernah ada
orang yang berani mengnina padanya.
orang yang berani mengnina padanya.
Ia kemekmek waktu mendapat kenyataan bahwa
pedangnya telah dirampas si tua. Ia angin coba merebut kembali, tapi ia tahu ke
pandaiannya masih kalah terlalu jauh. Tapi kalau menyudahi saja, hatinya sangat
penasaran.
Sementara itu, sambil megang pedang orang dalam
tangan kirinya, si muka pucat berkata dengan suara dingin: “Aku akan menyimpan
pedangmu ini untuk sementara waktu. Bahwa kau sudah berani berlaku begitu
karang ajar terhadapku, adakah karena seorang tua dan gurumu kurang mengajarmu.
Beritahukanlah, supaya mereka datang kepadaku untuk meminta pulang pedangmu
ini. Dengan baik2 aku akan menasehati ayah ibu dan gurumu, supaya mereka lebih
memperhatikan kau.”
Paras muka si nona lantas saja berubah merah. Si
tua seolah2 memandangnya sebagai bocah nakal yang kurang ajar. Dengan gusar, ia
berkata dalam hatinya.
“Bagus! Kau mencaci aku seperti juga mencaci kakek,
ayah dan ibuku. Apa benar kau punya kepandaian begitu tinggi sehingga kau
begitu sombong?” Sesudah dapat menenteramkan hatinya yang bergoncang keras,
sambil menahan amarah ia menanya, “siapa namamu ?”
Si muka pucat mengeluarkan suara di hidung. “Apa?
Kau berani menanya siapa nama ku?” bentaknya. “Kau sungguh-sungguh tak tahu
adat. Kau harus mengatakan begini, Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama Loo
cianpwee yang mulia ?” Mengerti ?”
“Jangan rewel!” bentaknya. “Aku merdeka untuk
menggunakan kata apapun juga. Berapa harganya pedang itu? Kau seorang tua, tapi
tidak menghargai usiamu yang tua. Tak malu mencuri pedang orang! Sudahlah ! Aku
tak mau pedang itu” Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dari pendopo.
Se-konyong2 satu bayangan berkelebat dan simuka
merah menghadang didepannya. “Seorang gadis remaja tak boleh gampang marah,”
katanya saraya ber-senyum2.
“Kalau sudah menikah, apa kau boleh marah2 seperti
anak kecil dihadapan mertua? Baiklah, sekarang aku memberitahukan kau. Dalam
beberapa hari sesudah melalui
perjalanan berlaksa kami bertiga saudara seperguruan baru saja tiba di Tionggoan dari daerah See ek (daerah sebelum barat) . …”
perjalanan berlaksa kami bertiga saudara seperguruan baru saja tiba di Tionggoan dari daerah See ek (daerah sebelum barat) . …”
“Aku sudah tahu,” memotong sinona sambil monyongkan
mulutnya. Didaerah Tiong-goan memang tidak terdapat namamu bertiga.
Ketiga orang itu saling meagawasi.
“Nona, bolehkah aku mendapat tahu siapa gurumu ?”
tanya si muka merah.
Sebenarnya Kwee Siang tak suka memberi tahu nama
ayah dan ibunya, tapi sekarang, karena sudah jengkel, ia lantas saja menjawab:
“Ayah she Kwee bernama Ceng. Sedang ibuku she Oey bernama Yong. Aku tak punya
garu, hanya kedua orang tuaku yang menurun kan sedikit ilmu silat.”
Ketiga kakek itu saling mengawasi. Saaat kemudian
barulah simuka pucat berkata. “Kwee Ceng? Oey Yong? Dari partai mana mereka ?
Murid siapa ?”
Dengan pertanyaan itu sinona jadi gusar. Nama kedua
orang tuanya tersohor dikolong langit, jangankan orang2 dari Rimba Persilatan,
sedangkan rakyat jelatapun mengenal Kwee Tay hiap, seorang pendekar yang telah
bantu membela kota Siang-yang.
Tapi, melihat paras sungguh2 dari ketiga orang itu,
Kwee Siang segera mendapat lain ingatan. “Koen-loen-san terletak didaerah barat
dan terpisah jauh dari wilayah Tionggoan” pikirnya. “Ketiga orang lihai
memiliki ilmu ilmu silat yang sangat tinggi, tapi ayah dan ibu belum pernah
me-nyebut2 nama mereka. Maka itu, memang mungkin sekali, mereka belum pernah
mendengar nama kedua orang tuaku.” Mengingat begitu darahnya yang barusan sudah
meluap, mereda kembali. “Aku sendiri she Kwee bernama Siang,” katanya pula.
“Siang adalah Siang dari Siang yang. Nah sesudah memperkenalkan diri, bolehkah
menanya she dan nama kalian yang mulia ?”
Si muka merah tertawa hahahihi. “Bocah perkataanmu
tepat sekaii, ” katanya. “Dengan jawabanmu itu, kau menghormati orang yang
lebih tua,” Sambil menunjuk si muka kuning, ia berkata pula: “Itulah Tosoeko
(kakak seperguruan yang paling tua) kami. Ia she Phoa bernama Thian Keng. Aku
sendiri adalah Jie soe heng (kakak kedua),aku she Phoe, namaku Thian Loo” la
menuding pada si muka pucat dan melanjutkan perkataannya. “Yang itu adalaa Sam
soetee( adik ketiga), she Wie, bernama Thian Bong. Kau lihat! Kami bertiga
saudara seperguruan masing2 mengambil huruf “Thian (Langit) untuk nama kami.”
“Hm!” Kwee Sing mengeluarkan suara dihidung dan
berdiam sejenak mengingat2 tiga nama itu. “Tapi apakah kalian sudah bertanding
dengan pendeta2 Siauw lim se?
Kalau sudah, siapa yang lebih unggul?” tanyanya
kemudian.
Si muka pucat Wie Thian Bong lantas saja menjadi
gusar dan membentak dengan suara keras. “Eh, bagaimana kau tahu? Bahwa kami
ingin menjajal ilmu dengan Siauwlim sie hanya diketahui oleh beberapa orang
saja. Bagaimana kau bisa tahu? Lekas bilang! ” Seraya berteriak ia mendekati
Kwee Siang dan menatap wajah si-nona dengan mata melotot.
Tentu saja Kwee Siang jadi dongkol. Jika mereka
menanya baik2 mungkin sekali ia akan memberitahukan dengan segala senang hati.
Tapi dengan cara yang kasar itu, ia lantas saja mengambil putusan untak menutup
rahasia. “namamu bertiga sebenarnya kurang tepat. ” katanya dengan suara tawar
“Mengapa tak dirubah menjadi Thian Ok (Ok berarti jahat)?”
“Apa kau kata?” bentak Thian Bong.
“Kwee Siang menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku
sungguh jarang lihat manusia yang begitu galak seperti kau” katanya dengan
adem.
“Sesudah merampas barangku, kau masih bersikap
begitu ganas. Bukankah kau seperti juga penitisan dari binatang jahat
dilangit?”
Tiba2 tenggorokan Wie Thian Bong mengeluarkan suara
aneh, se olah2 menggaungnya binatang buas dan dadanya lantas saja melembung
keatas, sedang rambut dan alisnya bangun serentak.
“Samtee!” kata Phoei Thian Loo simuka merah dengan
cepat. “Jangan kau naik darah.”
Sanbil berkata begitu, ia menyeret tangan Kwee
Siang kebelakangnya, sehingga badannya sendiri berada diantara kedau orang itu,
Melihat hebatnya gerak gerik Wie Thian Bong sehingga jika ia turun tangan, pukulannya
tentu hebat luarbiasa, hati si nona jadi keder juga.
Sementara itu, dengan tangannya Wie Thian Bong
mencabut pedang Kwee Siang, sedang jariji tangan kirinya mementil badan pedang.
“Cring!” pedang itu patah dua.
Kemudian ia memasukkan pedang buntung itu ke dalam
sarungnya seraya berkata dengan suara mengejek: “Siapa yang kepingin senjata
yang tak gunanya ini ?”
Bukan main kagetnya si nona. Biarpun kepandaian itu
belum bisa menandingi Ian cia San thong (ilmu mementil) dari kakeknya tapi
tenaga Lwee kang yang begitu dahsyat sungguh jarang terlihat dalam Rimba
persilatan
Melihat perubahan pada paras muka si nona, Wie
Thian Bong jadi bungah hatinya. Ia dongak dan tertawa ter-bahak2. Suara tertawa
itu, yang disertai Lwee kang sangat menusuk kuping dan malahan menggoncangkan
juga genteng2 di atas pendopo batu itu.
Se-konyong2, berbareng dengan suara gedbrakan, atap
pendopo berlubang besar dan dari lubang itu jatuh serupa benda yang sangat
besar.
Semua orang terkejut, terhitung Wie Thian Bong
sendiri. Ia sama sekali tak pernah menduga, bahwa suara tertawanya biarpun di
sertai Lwee kang bisa merusakkan atap pendopo batu.
Waktu orang tahu, benda apa yaag jatuh itu, rasa
kaget jadi semakin besar. Ternyata yang rebah di lantai adalah seorang lelaki
yang mengenakan baju putih dan kedua tangannya memeluk khim. Ia rebah disitu
sambil meramkan kedua matanya, se-olah2 sedang tidur pulas.
Mendadak terdengar teriakan Kwee Siang “Aha ! Kau
berada di sini ?”
Orang itu bukan lain dari pada si pria yg pandai
memetik khim dan yaag telah di temui si nona pada beberapa hari berselangi.
Per-lahan2 orang ita membuka matanya. Begitu
melihat Kwee Siang, ia melompat bangun seraya berkata. “Nona,
aku cari kau kesegala tempat. Tak tahunya kau berada disini.”
“Perlu apa kau cari aku?” tanyanya. “Aku lupa
menanya she nona yang mulia dan nama yang besar,” jawabnya.
“Apa itu she mulia nama besar?” kata Kwee Siang
seraya mencebikan bibir. Aku paling sebal dengan kata2 yang banyak kembangnya.”
Orang itu kelihatan kaget, tapi di lain saat ia tertawa
besar. “Benar, nona,” katanya “Memang, semakin manusia berlagak pintar semakin
kosong otaknya.”
Sambil berkata begitu, ia mengawasi Wie Thian Bong
dengan mata melotot dan kemudian tertawa dingin.
Kwee Siang jadi girang sekali. Ia tak nyana si baju
putih seorang yang menarik.
Paras muka Wie Thian Bong yang pucat jadi lebih
pucat lagi. “Siapa tuan?” tanyanya.
Ia tidak menggubris dan sambil berpaling kepada Kwee Siang, ia
menanya: “Nona, siapa namamu ?”
“Aku she Kwee bernama Siang.” jawabnya
Orang itu menepuk kedua tangannya dan berseru
dengan suara girang. “Ah ! Mataku benar2 kotokan tak mengenali gunung Thay san
yang besar. Kalau begitu kau Kwee Toakouwnio yang namanya kesohor diseluruh
jagat! Kecauli manusia-manusia tolok, siapapun juga mengenal ayahmu Kwee Ceng
Kwee Tayhiap, dan ibumu, Oey Yong Oey Liehiap Dalam dunia Kangoaw, siapakah
yang tidak mengenal mereka? Mereka adalah orang2 yang boen-boe-song-coan (mahir
dalam ilmu surat
dan ilmu perang ), mahir menggunakan macam senjata dan sudah menyelami dasarnya
berbagai ilmu silat paham dalam ilmu penabuh khim, tio kie, menulis huruf-huruf
indah, melukis, bersyair, dan bersajak. Dari dulu sampai sekarang, kepandaian
mereka jarang tandingan didalam dunia. Ha ha ha ! Tapi masih juga terdapat
manusia-manusia yang tidak mengenal mereka!”
Kwee Siang jadi girang sekali. “Kalau begitu sudah
lama dia bersembunyi diatas atap pendopo dan sudah mendengari pembicaraanku
dengan ketiga orang itu.”
katanya di dalam hati, “Didengar dari perkataannya,
ia pun belum mengenal kedua orang tuaku. Kalau sudah mengenal, ia tentu tak
akan memanggil aku sebagai Kwee Toakouwnio (nona Kwee yang paling besar).
Sungguh lucu ia mengatakan ayahku mahir dalam ilmu menabuh khim, main tio kie,
menulis huruf indah dan sebagainya. Memikir begitu, seraya bersenyum ia
menanya. “Siapa namamu?”
“Aku she Ho, namaku Ciok Too.” jawab nya, (Ho Ciok
Too berarti Tidak cukup berharga untuk dibicarakan).
“Ho Ciok Too?” menegas si nona. “sungguh satu nama
yang merendahkan diri.”
“Benar.” jawabnya. “Tapi namaku banyak lebih baik
dari pada nama yang menggunakan perkataan2 sombong seperti “Langit dan bumi”.
Sedikitnya namaku tidak memuakkan orang yang mendengarnya.”
Siapapun mengerti, ia sedang mengejek ketiga
Soehengtee itu (saudara seperguruan yang menggunakan huruf “Thian” langit itu),
maka sesudah manyaksikan cara Ho Ciok Too menjatuhkan diri dari lubang atap
mereka tahu bahwa orang itu bukan sembarangan orang dan oleh karenanya,
se-bisa2 mereka menahan sabar. Tapi mendengar ejekan yang paling belakang, Wie
Thian Bong meluap darahnya. Dengan sekali membalik tangan la menggapelok dagu
orang. Ho Ciok Too menundukkan kepalanya dan molos dari bawah bahu. Mendadak
Wie Thian Bong merasa tangan kirinya kesemutan dan tahu2 pedang, Kwee-Siang
yang sedang dicekalnya sudah berpindah tangan. Sebagaimana diketahui, waktu
merampas pedang itu dari tangan nona Kwee, gerakannya cepat luar biasa, Dari
sini dapatlah dibayangkan, bagaimana cepat gerakan Ho Ciok Too yang dengan
begitu mudah sudah berhasil merampas senjata itu.
Wie Thian Bong terkesiap. Dilain detik, dengan
gusar ia menerjang dan lima
jerijinya yang dipentang bagaikan gaetan, menyambar pundak Ho Ciok Too. Dengan
sekali mengegos Ho Ciok Too sudah berhasil menyelamatkan diri. Sementara itu,
hampir berbareng Phoa Thian Keng dan Phoei Thian Loo melompat keluar dari
pendopo. Dengan gergetan, Wie Thian Bong mengirim serangan2 berantai dengan
kedua tangannya dan dalam sekejap, ia sudah menyerang tujuh delapan kali. Tapi
lawannya tetap bersikap tenang. Kemudian diserang bagaikan hujan dan angin
sedikitpun ia tidak membalas. Dengan mengengos kekiri kanan, kedepan dan
kebelakang, ia kelit pukulan2 hebat itu.
Biarpun masih bersia muda dan kepandaiannya tidak
seberapa tinggi, nona Kwee Siang adalah puterinya ahli2 silat nomor satu pada
jaman itu dan dengan sendirinya, ia mempunyai mata yang sangat tajam. Melihat
gerakan Ho Ciok Too yang begitu gesit dan lincah, ia yakin bahwa orang itu
adalah barbeda dengan berbagai ilmu silat yang terdapat diwilayah Tionggoan.
Sementara itu, sesudah menyerang dua puluh jurus
lebih tanpa berhasil, tiba2 Wie Thian Bong menggeram dan mengubah silatnya.
Jika tadi serangan2 dikirim bagaikan kilat, sekarang gerakan-gerakannya banyak
lebih perlahan, tapi disertai dengan tenaga yang sangat hebat. Sesudah ia
menyerang beberapa jurus, Kwee Siang yang berada didalam pendopo, turut
merasakan sambaran-sambaran pukulannya, sehingga buru-buru ia melompat keluar.
Ho Ciok Too pun lantas saja mengubah sikap. Kini ia
tak berani memandang enteng lagi musuhnya. Setelah menyelipkan pedang Kwee
Siang dipinggangnya, berdiri tegak dan badannya seolah-olah sebuah gunung yang
kokoh teguh. “Kau menggunakan ilmu keras?” tanya Ho Ciok Too, lalu “Apa kau
rasa diriku tidak mampu ?” Pada saat kedua tangan Wie Thian Bong menyambar,
sambil mengerahkan Lweekang, ia memapaki dengan tangan kirinya. Karena melawan
keras! “Tak!” kedua tangan beradu dengan dahsyatnya. Badan Wie Thian Bong
ber-goyang2 terhuyung kebelakang dua tiga tindak, sedang kedua kaki Ho Ciok Too
tetap berdiri tegak.
Wie Thian Bong yang selala menganggap bahwa
Gwakangnya (ilmu luar, yaitu ilmu yang menggunakan teanga kekerasan) jarang
tandingan, jadi penasaran sekali.
Sesudah menarik napas panjang, sambil membentak
keras sekali lagi is menghantam dengan kedua tangannya. Ho Ciok Too pun
mengeluarkan teriakan nyaring, dan satu tangannya kembali memapaki pukulan
lawan. “Dak !”, kedua bau tangan beradu pula, kali ini hebat luar biasa,
sehingga debu dan pasir meluruk turun dari lubang diatap pendopo. Hampir
berbareng dengan bentrokan itu, tubuh Wie Thian Bong terhuyung lagi dan sesudah
sempoyongan empat lima
tindak, barulah ia bisa berdiri tegak.
Sesudah dikalhkan dua kali, Wie Thian Bong jadi
mata merah. Rambutnya terurai, kedua matanya melotot, sehingga macamnya
menakuti sekali. Dengan kedua tangan memegang perut, dia menarik napas panjang.
Dilain saat, dadanya melesak kedalam, perut melembung keluar, se-akan2 sebuah
tambur dan tulang2nya berkerotokan.
Dalam keadaan yang menyeramkan itu, setindak demi
setindak ia mendekati lawannya.
Melihat begitu, Ho Ciok Too mengerti, bahwa
lawannya akan segera menyerang dengan menggunakan seantero kepandaian dan
tenaga Lwekang. Ia tak berani berayal lagi dan buru2 monyedot nafas untuk
mengerahkan Lweekang.
Menurut kebiasaan, sesudah mengerahkan Lweekang
yang hebat itu, dari jarak empat lima
tindak, Wie Thian Bong sudah mengirim pukulan. Tapi sekarang ia tak berbuat
begitu. Dengan perlahan, ia terus maju hingga berhadapan dengan lawan. Sesudah
itu, barulah kedua tangannya bergerak, yang satu memukul muka, yang lain
menyambar kepunggung. Tujuan kedua pukulan, itu adalah untak membuyarkan
seantero Lwekang Ho Ciok Too.
Ho Ciok Too pun lantas saja menyambar dengan kedua
tangannya. Tangan kiri menempel dengan tangan kiri, tangan kanan dengan tangan
kanan. Tetapi didalam tangan itu, dia mengeluarkan dua tenaga yang berbeda,
satu “keras” dan yang satu “lembek”. Dengan begitu tangan Wie Thian Bong yang
memukul keras kepunggung seperti juga menghantam kapas, sedang tangan kanan
yang menyambar kemuka se-akan2 menyentuh tembok tembaga. “Celaka !” Wie Thian
Bong mongeluh. Hampir berbareng, ia merasakan dorongan tenaga yang sangat hebat
dan tanpa ampun lagi badannya didorong keluar dari pendopo.
Itulah akibat keras melawan keras. Yang bertenaga
lebih lemah, dialah yang celaka. Didorong dengan tenaganya sendiri yang
berbalik dan ditambah dengan dorongan tenaga Ho Ciok Too, Wie Thian Bong pasti
bakal muntah darah.
Pada saat yang sangat berbahaya, yaitu sedetik
sebelum roboh, tiba2 Phoa Thian Keng dan Phoei Thian Loo membentak keras:
“Keluarkan pukulan!” Dengan berbareng mereka mendorong kedepan dan tenaga
tangan mereka merupakan semacam tembok lembek yang tidak kelihatan. Punggung
Wie Thian Bong bersandar diarus tenaga itu dan ia tertolong dari luka berat
didalam badan. Tapi meskipun begitu, isi perutnya mendapat goncangan hebat,
tulang2nya seolah terpukul hancur dan ia merasakan kesakitan biasa disekujur
badannya.
Melihat saudara seperguruannya dirobohkan secara
begitu menyedihkan bukan main gusar nya Phoei Thian Loo, tapi paras mukanya
masih tetap tersenyum. “Kekuatan tenaga tangan tuan sangat jarang terdapat
didalam dunia,” katanya. “Aka sugguh marasa tahluk.”
Mendengar kata2 xu, Kwee Siang tertawa. Dalam
hatinya. “Koen loen Sam seng tiada bedanya seperti kodok didalam sumur”
pikirnya. “Mengenai tenaga tangan siapakah yang dapat menadingi ayahku dalam
pukulan Hang Liong Sip pat ciang?”
Sesudah berdiam sejenak, seraya tertawa hahahihi,
si-muka marah berkata pula: “Aku si tua yang tak punya kepandaian berarti, sekarang
ingin meminta pengajaran dari Kiam hoat tuan”
“Phoei-heng berlaku sangat manis terhadap Kwee
Kouwnio dan akupun tak mempunyai ganjelan terhadapmu,” jawabn:ya. “Aku rasa
kita boleh tak usah menjajal kepandaian.”
Kwee Siang terkejut. Kalau begitu, ia menghajar Wie
Thian Bong karena kurang ajar terhadapku,” katanya didalam hati.
Sementara itu, tanpa menggubris penolakan orang,
Phoei Thian Loo segera menghampiri tungggangannya dan mengambil sebatang pedang
panjang dari kantong senjata. “Srt!” ia menghunusnya dan paras mukanya latas
saja berubah keren!. Sambil melonjorkan tangan kirinya, ia mendongakkan pedang
yang dicekal dalam tanganaya. Itulah pukulan yang diberi nama Sian-jin-tit-loan
(Dewa mengunjuk jalan).
Ho Ciok Too bersenyum seraya berkata “Jika Phoei-heng
mau juga bertanding, biarlah aku melayani beberapa jurus dengan menggunakan
pedang Kwee Kouwnio.”
Sehabis berkata begitu ia mencabut pedang buntung
yang terselip dipinggangnya. Pedang itu asal nya memang pedang pendek.
Panjangnya tak lebih daripada dua kaki. Sesudah dipatahkan Wie Thiang Bong,
yang ketinggalan hanya tujuh delapan dim, sehingga lebih pendek daripada pisau
belati biasa.
Sambil mencekal sarung pedang ditangan kirinya,
tanpa menegur lagi ia segera mengirim tiga serangan kilat yang cepat luar
biasa. Hanya karena senjatanya terlalu pendek, maka serangan2 itu tidak
mengenakan sasarannya. Phoei Thian Loo terkesiap. “Cepat sungguh gerakannya !”
pikirnya. “Kiam-hoat apa itu? Jika ia menggunakan pedang panjang, jiwaku
mungkin sudah melayang”
Dilain pihak, sesudah menyerang tiga kali beruntun,
Ho Ciok Too melompat kesamping dan berdiri tegak. Ia hanya mengenggos dan
berkelit, waktu Phoe Tnian Loo balas menyerang. Tiba2 selagi dihujani serangan,
sekali lagi ia mengirim tiga tikaman berantai, sehingga silat lawan jadi kalang
kabut. Dilain saat, seperti tadi, ia meloncat lagi kesamping dan berhenti
menyerang. Dipermainkan begitu rupa. Phoei Thian Lpo meluap darahnya. Sambil
membentak keras ia menyerang seraya memutar pedangnya yang lantas saja me nyambar2
bagaikan kilat. Badannya yang kurus kecil se-akan2 dikurung sinar pedang yang
berkelebat seperti titiran.
Semakin lama pertempuran dilakukan semakin cepat,
sehingga gerakan2 kedua lawan itu sukar dapat dilihat tegas. Se-konyong2
terdengar bentakan Ho Ciok Too.
“Awas !” Hampir berbareng dengan bentakan itu,
sarung pedang yang dicekal dalam tangan kirinya, menyambar. “Trang !”, sarung
itu masuk diujung pedang lawan dan pedang buntung meluncur ketenggorokan Phoei
Thian Loo.
Walaupun lihay, simuka merah tak bisa menangkis
lagi, sebab pedangnya tak bisa bergerak. Tapi sebagai orang yang kepandaian
tinggi, dalam bahaya ia tak jadi bingung. Buru2 ia melepaskan pedangnya dan
sambil melenggakkan kepala, ia membuang diri dan bergulingan ditanah.
Sebelum Phoei Thian Loo melompat bangun tiba2
berkelebat satu bayangan dan tangan Phoei Thian Keng sudah mencekal gagang
pedang yang barusan dilepaskan oleh Soetee nya. Dengan sekali membetot, ia
sudah mencabut pedang itu dari sarung pedang buntung yang dipegang Ho Ciok Too.
“Sungguh indah gerakan itu!” puji Ho Ciok Too dan
Kwee Siang hampir berbaring.
Ternyata, sikakek yang mukanya seperti orang
berpenyakitan dan tidak pernah mengeluarkan sepatah kata, memiliki kepandaian
yang paling tinggi diantara ketiga orang2 itu.
“Aku sungguh merasa sangat takluk akan kepandaian
tuan.” kata Ho Ciok Too sambil membungkuk. Ia berpaling pada Kwee Siang dan
berkata pula “Kwee Kouwnio. sesudah mendengar lagumu pada beberapa hari yang
lalu, aku telah menggubah sebuah lagu baru yang aku ingin mempersembahkan
kepadamu untuk dinilai.”
“Lagu apa ?” tanya sinona.
Tanpa menghiraukan tiga otang tua itu, ia lantas
saja bersila diatas tanah, meletakkan khimnya dipangkuan dan lalu menyetel
tali2 nya.
Melihat begitu, Phoa Thian Keng lalu mendekati dan
berkata. “Tuan sudah merobohkan kedua Soeteeku dan sekaranglah aku yang ingin
meminta pengajaranmu.”
Ho Ciok Too menggelengkan kepalanya beberapa kali.
“Tidak, sudah cukup,” katanya. “Pertandingan silat tidak menimbulkan banyak
kegembiraan. Sekarang aku ingin memetik khim untuk diperdengaran kepada Kwee
Kouwnio. Laguku adalah sebuah lagu baru. Jika suka, kalian boleh duduk
mendengari. Kalau tidak, kalian
merdeka untuk berlalu.” Sehabis berkata begitu,
jari2 nya mulai memetik tetabuhan itu.
Sesudah mendengari beberapa saat, Kwee Siang jadi
kaget bercampur girang. Semenjak belajar memetik khim, belum pernah ia
mendengar lagu yang begitu luar biasa. Luar biasa, karena lagu itu merupakan
kombinasi dari lagu Ko-phoa yang pernah diperdengarkan olehnya dan lagu Kian
kee (nama semacam rumput). Kedua lagu itu yang sebenarnya sangat berbedaan
telah digubah begitu rupa sehingga merupakan sebuah lagu baru yang sangat merdu
dan harmonis, Syair lagu ini antara lain berbunyi.
Siorang pertapaan.
Berkelana dipegunungan
Rumput,Kian kee hijau2.
Embun berubah menjadi salju.
Dan sidia.
Berada disatu sudut dunia
Berkelana dipegunungan
Rumput,Kian kee hijau2.
Embun berubah menjadi salju.
Dan sidia.
Berada disatu sudut dunia
Mendengar sampai disitu, hati sinona berdebaran.
“Siapa sidia ?” tanyanya dihati. “Apa dimaksudkan aua ? Mengapa suara khim itu
sedemikian merdu dan mengharukan hati?” Mengingat begitu, mukanya lantas saja
bersemu dadu. Ia merasa kagum bukan main, sebab dalam kombinasi itu, yang telah
merupakan sebuah lagu Kian kee masih bisa mempertahankan kepribadiannya
sendiri.
Phoa Thian Keng dan kedua Soeteenya, yang tidak
mengerti ilmu musik, jadi mendongkol bukan main. Disamping cara2 Ho Ciok Too
yang terus memetik tali2 khim tanpa memperdulikan mereka, dianggapnya sebagai
suatu hinaan.
Sesudah mendengari beberapa saat, Phoa Thian Kheng
tidak dapat menahan sabar lagi. Ia mendekati dan sambil menotok pundak kiri Ho
Ciok To dengan ujung pedang, ia membentak. “Bangun kau ! Mari kita jajal
kepandaian.”
Ho Ciok Too yang sedang memusatkan seluruh semangat
kepada tetabuhannya, seolah olah tidak mendengar tantangan itu. Ia seperti juga
sedang berkelana disatu pegunungan yang amat indah dan dari jauh ia melihat
seorang gadis jelita yang tengah berdiri diatas sebuah pulau kecil yang
dikurung air…
Tiba2 ia merasa pundak kirinya sakit dan ia
tersadar. Ia dongak dan melihat Phoa Thian Kheng berdiri didekatnya sambil
mencekal pedang terhunus yang barusan telah digunakan untuk menotol pundaknya.
Ia mengerti, bahwa jika tidak melawan, mungkin sekali ia akan terluka secara
konyol. Hanya sungguh sayang, lagunya belum selesai. Sebagai seorang seniman
tulen, ia tak rela menghentikan lagunya ditengah jalan.
Maka itu, tangan kirinya segera mengulurkan pedang
buntung yang lalu digunakan untuk menangkis senjata Phoa Thian Kheng, sedang
tangan kanannya tetap memetik tali2 khim.
Dengan kedua mata tetap memperhatikan tetabuhannya,
Ho Ciok Too menangkis setiap serangan lawan. Phoa Thian Kheng jadi semakin
gusar dan menyerang tambah hebat. Tapi kemanapun juga pedangnya menyambar, Ho
Ciok Toa selalu menangkis.
Kwee Siang yang sedang kesengsem juga tidak
memperdulikan serangan itu. Akan tetapi ia mendongkol, sebab suara bentrokan
senjata telah merusak irama. Ia membentak. “Hai ! Apa kau tuli akan merdunya
lagu ini. Jangan merusak ! Cobalah kau menyerang menurut tempo tepukan
tanganku”
Tapi tentu saja Phoa Thian Kheng tak meladeni.
Sambil membentak keras, dengan gusar ia mengobah kiam hoatnya dan menyerang
bagaikan hujan angin sehingga suara bentrok an senjata jadi semakin gencar dan
irama khim jadi semakin dikacaukan.
Ho Ciok Too juga mendongkol dan seraya menambah
Lweekang, ia menangkis satu tikaman. “Trang !” pedang Phoa Thian Keng patah
dua. Hampir berbareng, tali kelima dari Cithian khim ( khim yang bertali tujuh
) juga putus.
Paras muka Phoa Thian Keng jadi pucat bagaikan
mayat. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meloncat keluar dari pendopo batu
dan kemudian, bersama kedua Soeteenya, dia melompat naik kepunggung tunggangan
mereka yang segera dikaburkan keatas gunung.
Kwee Siang heran. “E eh!” katanya. “Mengapa mereka
lari kearah kuil ?” Ia nengok dan melihat Ho Ciok Too sedang memegang tali Khim
yang putus itu dengan paras duka. “Mengapa dia begitu jengkel ?” tanyanya di
dalam hati. “”Berapakah harganya tali khim?
Ho Ciok Too menghela napas dan berkata dengan suara
perlahan: “Tujuh tahun aku barlatih, tapi hatiku tetap belum bisa tenang.
Tangan kiriku berhasil mematahkan senjata, tapi tangan kanan memutuskan tali
khim.”
Sekarang si nona baru mengerti, bahwa ia berduka
karena merasa kepandaiannya belum sempurna. Ia tertawa seraya barkata: “Dengan
tangan kiri melawan musuh dan tangan kanan memetik khim, kau sebenarnya
menggunakan ilmu Hoen sin Jie yong (ilmu memecah pikiran). Dalam dunia ini,
hanya tiga orang yang mahir dalam ilmu itu. Bahwa kau belum mencapai taraf yang
tinggi, tak usah dibuat jengkel!”
“Siapa tiga orang itu?” tanya Ho Ciok Too.
“Yang pertama adalah Loo boan thiong Cioe Pek
Thiong,” jawabnya. “Yang kedua ayanku sendiri, sedang yang ketiga Yo Hoe jin,
Siauw Liong Lie. Selain tiga orang itu, malahan kakekku, ibuku atau
SintiauwTayhiap Yo Ko tiada yang mampu memiliki ilmu yang luar biasa itu.”
“Bolehkah kau memperkenalkan orang2 berilmu itu
kepadaku ?” tanya Ho Ciok Too.
“Kalau kau mau bertemu dengan Thia thia (ayah)
mudah sekali,” jawabnya. “Tapi dua orang lainnya sangat sukar dicari, karena
mereka tak punya tempat kediaman yang tentu”
Ho Ciok Too berdiri bengong, seperti juga ia masih
merasa sangat menyesal karena putus nya tali khim itu. Si nona tertawa seraya
berkata dengan suara menghibur.”Dengan sekali gebrak. kau sudah berhasil
merobohkan Koen loen Sam-seng dan hasil itu boleh dibuat bangga. Perla apa kau
berduka karena hal yang remeh itu?”
Ho Ciok Too terkesiap. “Koen-loen Samseng?” ia
menegas, “Apa kau kata? Bagaimana kau tahu?”
“Bukankah ketiga orang itu dikenal sebagai
Koen-loen Sam sang?” tanyanya. “Kepandaian mereka mamang cukup tinggi, tapi
jika mau coba2 membentur Siauw lim sie, kurasa mereka agak tahu diri . . . ”
Melihat paras muka Ho Ciok Too mengunjuk perasaan heran yang semakin besar, si
nona lalu menaya. “Mengapa kau kelihatannya heran?”
“Koen loan Sam seng . . . Koen loan Sam seng Ho
Ciok Too . . . itulah aku sendiri!” katanya dengan suara perlahan.
Sekarang giliran Kwee Siang yang terheran heran.
“Kau… kau Koen loen Sam seng?” tanyanya. ” Mana yang dua lagi?
“Koen loen Sam seng hanya satu orang,” jawabnya,
“Di See ek aku telah mendapat nama walaupun bukan nama besar. Kawan2 disitu
menganggap, bahwa aku memiliki
kepandaian tinggi dalam ilmu main khim, ilma pedang
dan ilmu main catur, sehingga oleh karena nya, kata mereka, aku boleh dinamakan
sebagai Khim seng dan Kiam seng dan Kie sang (Nabi khim, Nabi pedang dan nabi
kie. Kie berarti Tio kie atau catur). Lantaran aku suka sekali berdiam digunung
Koen loen san, maka mereka memberi julukan -Koen loan Sam seng- kepadaku. Tapi
aku selalu merasa malu dengan istilah Seng itu. Mana bisa manusia seperti aku
menamakan diri sebagai seorang nabi ? Biarpun gelaran itu diberikan oleh orang
lain, tak boleh aku menerimanya dengan begitu saja. Maka itulah, aku segera
mengubah namaku, Aku menggunakan nama Ho Ciok Too, yang jika disambung jadi
-Koen loan Sam seng Ho Ciok Too- (Koen loen Sam seng tidak cukup berharga untuk
dibicarakan). Dengan demi kian orang tidak bisa mengatakan, bahwa aku manusia
sombong.”
Si nona menepuk2 tangan dan tertawa geli, “Oh,
begitu?” katanya: “Mati hidup aku menduga, bahwa Koen loen Sam seng terdiri
dari tiga orang. Tapi siapakah ketiga orang tua itu ?”
“Mereka adalah orang2 Siauw lim pay.” Kwee Siang
terkejut. “Siauw lim pay ?” ia menegas. “Hm ! . . . . Ilmu silat mereka kurang.
Yang lain cukup tinggi …
benar! Ilmu pedang sikakek muka merah memang Tat mo
Kiam hoat. Tak salah! Si muka penyakitan paling belakang menyerang dengan ilmu
Wie to Hok mo kiam (ilmu pedang telukan iblis), Tadi aku tidak bisa melihatinya
karena dalam ilmu pedang itu terdapat banyak sekali perubahan. Tapi. . mengapa
mereka mengaku baru datang dari See-ek ?”
“Ada
sebabnya,” jawab Ho Ciok Too, “Pada musim semi tahun lalu, aku main khim di
puncak Keng sin hong gunung Koen loen san. Tiba-tiba aku mendengar suara pertempuran
di luar gubuk. Aku segera keluar dan melihat dua orang yang masing-masing
terluka berat sedang berkelahi mati-matian, Aku berteriak supaya berhenti, tapi
dia tak meladeni. Karena merasa tak tega, aku segera memisahkan mereka. Begitu
dipisahkan, salah seorang terbalik matanya dan menarik napasnya yang
penghabisan. Yang satu lagi belum mati dan dulu aka membawanya kedalam gubukku
dan coba menolong dengan memberikan pel Siauw yang tan kepadanya. Tapi sebelah
lukanya terlalu berat, obatku tidak berhasil. Sebelum meninggal, ia
memperkenalkan diri sebagai In Kek See..”
“Ah!” seru sinona, “Orang yang satunya lagi
mestiaya Siauw Siang Coe. Bukankah orang yang binasa lebih pula bertubuh
jangkung kurus dan bermuka seperti mayat
?”
?”
“Benar,” jawabnya. “Bagaimana kau tahu?”. Kata
sinona sambil tertawa. “Aka tak nyana pada akhirnya kedua mustika hidup itu
mampus dengan saling bunuh.”
Ho Ciok Too menghela napas dan berkata pula: ” Sebelum mati, In Kek See mengatakan bahwa selama hidup, ia telah berbuat banyak sekali kedosaan dan sekarang ia merasa sangat menyesal, tapi sudah terlambat. Ia memberitahukan, bersama Siauw Siang Coe, ia telah mencuri sejilit kitab suci dari Siauw lim sie. Sesudah memiliki kitab itu, mereka saling curiga. Masing2 merasa kuatir, bahwa jika yang satu memahami kitab itu terlebih dulu dan berhasil mempertinggi ilmu silatnya, dia segera menurunkan tangan jahat untuk membinasakan yang lain guna memiliki sendiri kitab suci itu. Demikianlah, masing2 saling mengawasi dua
sungkan berpisahan. Mereka makan disatu meja dan tidur satu ranjang Sedikitpun hati mereka tak pernah tenang. Diwaktu makan, masing-masing kuatir racun. Diwaktu tidur, masing-masing takut kalau-kalau yang satu turunkan tangan jahat selagi pulas. Di samping itu, mereka juga kuatirkan kejaran pendeta2 Siauw lim sie. Mereka kabur sampai di See-ek. Setibanya di Keng sin hong, keduanya sudah lelah sekali. Mereka mengerti bahwa dengan hidup begitu terus menerus, belum sepuluh hari, mereka tentu sudah binasa. Mereka jadi nekat dan terus bertempur untuk mengakhiri keadaan yang gila itu. In Kek See mengatakan, bahwva ilmu silat Siauw Siang Coe sebenarnya banyak lebih tinggi dari padanya. Semula ia tak mengerti, mengapa dalam perkelahian, Siauw Siang Coe hanya lebih unggul sedikit. Belakagan ia baru igat, bahwa kawan yang berubah jadi musuh itu telah mendapat luka di gunung Hwa-san. Jika mereka tidak saling curiga, mereka tentu tak akan mendaki Koen loen-san.”
Ho Ciok Too menghela napas dan berkata pula: ” Sebelum mati, In Kek See mengatakan bahwa selama hidup, ia telah berbuat banyak sekali kedosaan dan sekarang ia merasa sangat menyesal, tapi sudah terlambat. Ia memberitahukan, bersama Siauw Siang Coe, ia telah mencuri sejilit kitab suci dari Siauw lim sie. Sesudah memiliki kitab itu, mereka saling curiga. Masing2 merasa kuatir, bahwa jika yang satu memahami kitab itu terlebih dulu dan berhasil mempertinggi ilmu silatnya, dia segera menurunkan tangan jahat untuk membinasakan yang lain guna memiliki sendiri kitab suci itu. Demikianlah, masing2 saling mengawasi dua
sungkan berpisahan. Mereka makan disatu meja dan tidur satu ranjang Sedikitpun hati mereka tak pernah tenang. Diwaktu makan, masing-masing kuatir racun. Diwaktu tidur, masing-masing takut kalau-kalau yang satu turunkan tangan jahat selagi pulas. Di samping itu, mereka juga kuatirkan kejaran pendeta2 Siauw lim sie. Mereka kabur sampai di See-ek. Setibanya di Keng sin hong, keduanya sudah lelah sekali. Mereka mengerti bahwa dengan hidup begitu terus menerus, belum sepuluh hari, mereka tentu sudah binasa. Mereka jadi nekat dan terus bertempur untuk mengakhiri keadaan yang gila itu. In Kek See mengatakan, bahwva ilmu silat Siauw Siang Coe sebenarnya banyak lebih tinggi dari padanya. Semula ia tak mengerti, mengapa dalam perkelahian, Siauw Siang Coe hanya lebih unggul sedikit. Belakagan ia baru igat, bahwa kawan yang berubah jadi musuh itu telah mendapat luka di gunung Hwa-san. Jika mereka tidak saling curiga, mereka tentu tak akan mendaki Koen loen-san.”
Mendengar penuturan itu, Kwee Siang kelihatan
berduka. Ia menghela napas berkata: “Hai! Karena sejilid kitab, mereka
bersama-sama mengorbankan jiwa. Berapa harganya kitab itu ?”
Ho Ciok Too mengangguk dan kemudian melanjutkan
perkataannya : “In Kek See bicara dengan napas tersengal-sengal dan suara
ter-putus2. Akhirnya ia meminta supaya aku suka pergi kekuik Siauw-lim-sie dan
menemui seorang pendeta yang bernama Kak wan. Ia memberitahukan, bahwa kitab
suci itu berada didalam minyak. Aku heran mengapa didalam minyak? Selagi mau
menayakan terlebih terang, ia sudah tak tahan lagi dan pingsan. Ia pingsan
untuk tidak tersadar pula. Sesudah ia mati, aku teras memikiri arti
perkataannya. Di dalam minyak ? Apa ia maksud kan kitab itu di bungkus didalam kain
minyak. Dengan teliti aku memeriksa jenazah mereka, tapi aku tak bisa
mendapatkan kitab itu. Sesudah menerima permintaan orang, aku tidak bisa
menyampingkan dengan begitu saja. Mengingat bahwa aku memang belum pernah
menginjak wilayah Tiong-goan, maka dengan menggunakan kesempatan itu, aku
segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil Siauw lim sie sebagian guna
memenuhi pesanan orang dan sebagian lagi guna pesiar”
“Tapi mengapa kau sudah mengirim surat tantangan ?” tanya Kwee Siang.
Ho Ciok Too bersenyum waktu menjawab: “Asal mulanya
adalah gara2 ketiga orang itu. Mereka bertiga adalah murid2 Siauw lim sie yang
tidak mencukur rambut. Menurut katanya orang2 Rimba persilatan di daerah Barat
(See ek), mereka adalah orang orang dari tingkatan Thian dan tingkatannya itu
sama tingginya dengan Hong thio Siauw lim sie Thian heng Siansoe. Menurut
dugaan orang. Soecouw mereka dulu telah kebentrokan dengan saudara2
seperguruannya dalam kuil Siauwlim sie dan sebagai akibat bentrokan itu, ia
pergi ke daerah Barat dan mendirikan sebuah cabang Siauw lim pay. Hal ini bukan
hal yang mengherankan. Ilmu silat Siauw lim sie telah di bawah oleh Tatmo Couw
soe dari Thian tiok (India)
ke Tiong goan (Tiongkok asli). Sekarang dari Tiong goan di angkat pula ke
daerah Barat. Tak mengherankan, bukan ?
“Mendengar julukanku sebagai Koen loen Sam seng,
mereka bertiga jadi penasaran. Mereka sesumbar ingin menjajal kepandaianku.
Mereka tidak menghiraukan gelaran Khim seng dan Kie sang. Tapi gelaran Kiam
seng (Nabi pedang) ? Ha ! Tak boleh dibiarkan saja?”
“Secara kebetulan muncul urusan In Kek See. Maka
itu, aku segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil Siauwlimsie, sekalian
menjajal2 kepandaian mereka. Sebelum tiba di Tiong goan, aku sengaja
menyingkirkan diri dari mereka. Tapi tak dinyana, mereka bisa datang begitu
cepat.”
“Oh, begitu?” kata Kwee Siang. Semua dugaan
ternyata meleset semua. Sekarang ketiga orang itu sudah tiba dikuil. Entah apa
yang dikatakan mereka !”
“Dengan pendeta2 Siauw lim-sie, aku tak punya
ganjelan apapun juga,” kata Ho Ciok Too. “Itu sebabnya, untuk menunggu
kedatangan tiga orang itu, aku menjanjikan sepuluh hari. Sekarang penjajalan
kepandaian sudah dilakukan, segala apa sudah jadi beres. Mari kita naik keatas.
Sesudah aku menyampaikan pesanan In Kek See, kita boleh lantas turun lagi.”
Si-nona mengerutkan alis. “Pendeta2 Siauw lim-sie
mempunyai semacam peraturan yang sangat keras, yaitu, wanita dilarang masuk
kedalam kuil,” kata Kwee Siang.
“Fui ! Aturan apa itu?” kata Ho Ciok Too. “Bagaimana kalau kita menerobos masuk ?”
“Fui ! Aturan apa itu?” kata Ho Ciok Too. “Bagaimana kalau kita menerobos masuk ?”
Sebenarnya Kwee Siang adalah seorang gadis
pemberani yang suka cari urusan. Tapi karena merasa malu hati terhadap Boe sek Sian soe, ia segera menggelengkan kepala seraya berkata:
“Jangan! Aku menunggu di luar kuil, kau masuk sendiri saja, supaya jangan
banyak urusan.”
“Baiklah,” kata Ho Ciok Too. “Lagu yang tadi belum
selesai. Begitu kembali, aku akan memetik sekali lagi”
Per-lahan2 mereka mendaki gunung, tapi sesudah tiba
didepan pintu, mereka belum melihat bayangan satu manusiapun.
“Sudahlah, aku juga tak perlu masuk,” katanya. “Aku
akan panggil saja pendeta itu.” Sehabis berkata begitu, ia berteriak. “Ho Ciok
Too datang berkunjung ke Siauw limsie, ingin menyampaikan omongan kepada Kakwan
Taysoe.”
Hampir berbareng dengan teriakannya, belasan
lonceng besar dalam kuil berbunyi dengan serentak, sehingga seluruh Siauw sit
san se olah2 tergetar.
Mendadak pintu kuil terbuka dan dari kiri kanan
keluar dua basis pendeta yang mengenakan jubah warna abu2. Kedua barisan itu
masing terdiri dari lima
puluh empat murid Lohan tong dan jumlah mereka adalah sesuai dengan seratus
delapan Lo han. sesudah itu keluar delapan belas pendeta yang badannya
dikerebungi jubah pertapan warna kuning Mereka adalah murid2 Tat mo tong yang
berusaha lebih tinggi daripada murid2 Lo han tong. Sesaat kemudian dari dalam
kuil berjalan keluar tujuh pendeta yang sudah berusia lanjut. Mereka adalah Cit
loo (Tujuh Tetua) dari Simsian tong yang berkedudukan sangat tinggi. Beberapa
diantaranya memiliki ilmu silat luar biasa, tapi yang lain tidak mengenal ilmu
silat dan ia duduk dalam Sim siantong karena pengetahuannya yang sangat mendalam
mengenai agama Buddha. Mereka malahan sangat dihormati oleh Hong thio Siauw
limsie sendiri.
Paling akhir keluarlah Hong thio Thian beng Sansea,
yang diampit olah kepala Tat ma tong Boe Shian Siansoe dan kepala Lo han tong
Boesek Siansoe. Phoa Thian Keng, Phoei Thian Loa dan Wie Thian Bong mengikuti
di sebelah belakang, bersama kurang lebih delapan puluh murid2 Siauw lim sie,
yang tidak jadi pendeta.
Itulah penyambutan yang hebat luar biasa dan dapat
dikatakan belum pernah, atau sedikitnya langka sekali, diberikan kepada seorang
tamu. Menurut kebiasaan pembesar negeri, biarpun pangkatnya sangat tinggi, atau
tokoh Rimba persilatan Paling banyak disambut oleh Hongthio, Boesek dan
Boesiang sebegitu jauh di ingat orang Cii Loo dari Sim sian tong belum pernah keluar
menyambut tamu.
Mengapa sekarang diadakan upacara penyambutan yang
begitu besar? Sebab yang terutama yalah karena Ho Ciok Too tanpa diketahui oleh
siapapun juga, sudah menaruh surat
tantangan dalam tangan patung Hang liong Lohan. Kepandaian yang luar biasa itu
mengejutkan hatinya para pemimpin Siauw lim sie. Selain itu, Phoa thian Keng
dan kedua Soeteenya yang baru tiba dari See ek, juga telah menceritakan
lihaynya Koen loan Sam seng, sehingga para pemimpin Siauw lim sie lebih
berwaspada lagi.
Karena berpisahan sangat jauh, Siauwlimpay cabang
See ek sangat jarang berhubungan dengan cabang Tiong cioe yaitu Siauw lim sie
dan siauw sit san. Akan tetapi, para pendata tahu, bahwa Soe siok couw mereka
mereka yang telah pergi ke Barat memiliki kepandaian yang sangat tinggi,
sehingga murid marid atau cucu2 muridnya tentu juga bukan sembarangan ahli
silat. Maka itu, sesudah mendengar keterangan Phoa Thian Keng bertiga, para
pemimpin Siauw lim sie lantas saja mangambil tindakan2 yang seperlunya.
Disamping tindakan2 didalam kuil, pucuk pimpinan juga telah mengeluarkan
perintah, supaya murid Siauw lim sie, tak perduli pendeta atau orang biasa yang
bertempat tinggal dalam lingkungan lima
ratus li harus segera datang kekuii guna menunggu perintah2 selanjutnya.
Semua para pendeta itu menganggap bahwa Koen loen
Sam seng terdiri dari tiga orang Sesudah mendapat keterangan Phoei Thian Keng,
barulah mereka tahu bahwa Koen loan Sam seng hanya seorang dan bahwa ia
memperoleh gelaran itu sebab mahir dalam tiga macam ilmu, yaitu ilmu main khim,
ilmu pedang dan ilmu main catur. Mengenai ilmu main khim dan main catur, para
pendeta tidak menghiraukannya. Yang mereka harus ber-siap2 yalah untuk
menghadapi ilmu pedang dari orang itu. Maka itulah, semenjak mendapat
tantangan, siang malam ahli-ahli pedang Siauw lim sie berlatih keras.
Sementara itu, karena merasa sengketa dengan Koen
loan Sam seng adalah gara-gara mereka, Phoa Thian Keng dan kedua Soetee nya
ingin sekali bisa membereskan pertikaian tersebut dengan tangan mereka sendiri,
Untuk memapaki dengan menunggang kuda, setiap hari ia meronda disekitar gunung.
Mereka kepingin sekali menjajal kepandaian lawan diluar kuil dan sesudah itu
barulah mereka ingin balik kekuil, supaya Koen loen Sam seng bisa mengukur
tenaga dengan para pendeta.
Dengan demikian mereka pikir biarlah dilihat, apa
cabang Tiong cioe atau cabang See ek dari Siauw lim pay yang lebih unggul.
Tapi diluar dugaan, dalam pertandingan di pendopo
batu, dengan mudah mereka telah dirobohkan oleh Ho Ciok Tao.
Begitu mendapat warta tentang kekalahan Phoa Thian
Keng dan 2 Soeteenya Thian beng Sian soe
insaf, bahwa hari itu adalah hari memutus utuh runtuhnya nama Siauw lim sie.
Biar bagaimanapun juga, gelar “sumber pelajaran Lima silat dikolong
langit” yang sudah dipertahankan Siauw lim sie selama ribuan tahun, tak boleh
hancur dalam tangannya. Tapi dalam pada itu, ia agak keder, karena merasa bahwa
kepandaiannya, kepandaian Boe sek dan Boe siang, Tidak lebih unggul banyak
diatas kepandaian Phoa Thian Keng bertiga, itulah sebabnya mengapa dengan
terpaksa ia mengundang Cit long Sim sian tong untuk turut keluar menyambut,
guna mem beri bantuan jika perlu. Tapi sampai berapa tinggi kepandaian tujuh
tetua itu, ia dan Boe sek serta Boa siang juga tak tahu pasti. Apa jika ada
bahaya Cit loo bisa menolong muka siauw lim sie masih merupakan sebuah teka
teki.
Begitu berhadapan dengan Ho Ciok Too dan Kwee
Siang, Thian beng segera merangkap kedua tangannya seraya berkata. “Apakan Kie
soe (tuan) yang mahir dalam ilmu Khim Knim Kie? Loo ceng (aku pendeta tua)
tidak bisa menyambut dari jauh dan untuk itu, aku harap Kie soe, suka
memaafkan,”
Ho Ciok Too segera membalas hormat dengar
membungkuk. “Boanseng (orang yang tingkatannya rendah) merasa tidak enak hati
sudah mengacau dikuil yang angker ini dan Boan seng sungguh tidak sanggup
menerima penyambutan yang begini besar”
Mendengar jawaban itu, Thian beng berkata dalam
hatinya. Kata2nya cukup menyenangkan. Dilinat dari romannya, ia baru berusia
kira2 tiga puluh tahun. Apa benar ia mempunyai kepandaian tinggi?” Memikir
begitu, ia lantas saja berkata lagi: “Ho Kie toe jangan terlalu sungkan.
Marilah kita masuk untuk minum air teh dingin dan Lie kie soe (nona) ini …” ia
tidak meneruskan perkataannya dan pada paras mukanya terlihat perasaan sangsi.
Melihat pendeta itu mau menolak Kwee Siang, Ho Ciok
Loo dongak dan tertawa tawa 2.
“Loo hong thio,” Katanya, “Boan-seng datang kemari
karena menerima permintaan seseorang untuk menyampaikan sepatah kata. Sesudah
menyampaikan ita, Boan seng akan segera berlalu. Akan tetapi, peraturan dalam
Kuil Loa bong thio yang memandang tinggi kepada pria data memandang rendah
kepada wanita, adalah peraturan yang tidak dimengerti olehku. Harus diketahui,
bahwa ilmu Sang-Buddha tiada batasnya dan semua makhluk Tuhan adalah sama rata.
Maka itu, menurut Boan seng, peraturan itu agak bertentangan dengan pelajaran
Sang Buddha.”
Thian beng Sian
soe adalah seorang pendeta yang berilamu tinggi dan berpandangan luas. Ia
segera dapat membedakan, apa yang benar dan apa yang salah.
Mendengar perkataan Ho Ciok Too, ia
segera bersenyum dan berkata. “Trima kasih atas petunjuk Kie soe. Peraturan itu
memang peraturan yang agak sempit. Kalau begitu, akupun mengundang nona untuk
turut minum teh.”
Kwee Sang melirik kawannya sambil bersenyum. sedang
didalam hati ia memuji ketajaman lidah pemuda itu.
Thian beng segera minggir kesamping dan mengangkat
tangannya sebagai undangan supaya kedua tetamu itu masuk. Tapi sebelum Ho Ciok
Too bertindak dari samping kiri Thian beng tiba2 maju seorang pendeta tua yang
bertubuh krus .”Dengan bebeapa perkataan saja, Kie soe sudah meniadakan
peraturan Siauw lim sie yang sudah berjalaa ribuan tahun, katanya.”
“Peraturan itu bukan tak boleh dirubah. Tapi kita
harus menyelidiki. apa orang yang menyebabkan berubah peraturan2 itu, benar2
seorang yang berkepandaian tinggi. Maka itu aku mengharap Ho Kie soe suka
memberi sedetik pelajaran, supaya para pendeta bisa membuka mata dan tidak
merasa penasaranlagi karena mengetahui, bahwa orang yang merobah peraturan
kami, ia orang yang sungguh sungguh berkepandaian tinggi,” Orang bicara itu
adalah Boe siang Sian soe, kepala Tatmo tong.
Ia bicara dengan suara nyaring luar biasa, sehingga telinga yang mendengarnya
merasa sakit sebagai akibat dari tekanan tenaga Lweekang yang sangat dahsyat.
Mendengar perkataan Boe siang, paras muka Phoa
Thian Keng dan kedua Soeteenya lantas saja berubah. Mereka merasa diejek, bahwa
mereka telah dijatuhkan oleh seorang yang belum tentu memiliki kepandaian
tinggi.
Sementara itu, waktu melirik Bu sek Sia soe, Kwee
Siang melihat sorot bingung dan jengkel pada muka pendeta itu. “Toa hweeshio
adalah seorang baik dan juga sahabat Toakoko,” katanya didalam hati. Jika Hiok
Too dan pendeta Siau lim sie sampai bertempur, tak perduli siapa yang kalah dan
siapa menang hatiku merasa tak enak.” Memikir begitu, lantas saja ia berkata
dengan suara nyaring.
“Ho Toako, aku sebenarnya tidak perlu masuk kekuil.
Beritahukanlah sekarang omongan yang ingin disampaikan olehmu dan sesudah itu,
kita boleh segera berlalu”
Sehabis berkata begitu, sambil menunjuk Boe sek, ia
melan jutkan perkataannya. “ltulah Boe sek Sian
soe, sahabat baikku. Kedua belah pihak sebaiknya jangan merusak keakuran.”
Ho Ciok Too kelihatan terkejut. “Oh, begitu ?”
katanya sambil berpaling kepada Thian beng dan berkata pula : “Loo hong thio,
yang mana Kak wan Siansoe ? Aku menerima permintaan seseorang untuk
menyampaikan perkataan kapadanya.”
“Kak wan Sian-soe ?” menegas Thian beng dengan
suara perlahan.
Dalam kuil Siauw lim-sie, Kak wan berkedudukan
rendah dan selama beberapa puluh tahun, ia menyembuyikan diri dalam
perpustakaan Cong keng-kok. Ia tidak banyak dikenal dari sebegitu jauh, belum
pernah orang menambahkan kata2 “Siansoe” dibelakang nama gelarnya. Maka itu,
untuk sementara, Thian beng tak ingat siapa adanya. “Kak wan Siansoe”. Sesudah
bengong beberapa saat, barulah ia berkata: “A ! Ho Kie soe tentu maksudkan
pendeta yang jaga kitab Lang keh keng.
Apakah Kie soe mencari dia dalam hubungan soal
kitab itu ?”
“Entahlah,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.
Thian bang segera berpaling kepada seorang murid
dan berkata: “Coba panggil Kak wan.” Murid itu lantas saja berlalu untuk
mejalankan tugasnya.
Boe siang Siansoe yang rupanya sangat bernapsu,
sudah tak bisa menahan sabar lagi. Begitu mendapat kesempatan, ia segera
berkata pula: “Ho Kie sie, kau dijuluki sebagai Khim kiam-kie Sam-seng dan kata
Seng itu tentu tak dapat dimiliki oleh sembarang orang. Tak usah disangsikan
lagi, Kie soe mempunyai kepandaian yang baik, tinggi dalam tiga rupa ilmu itu,
10 hari yang lalu, Kie soe telah menulis surat
dan berjanji untuk memperlihatkan kepandaianmu. Tapi mengapa sesudah datang
kemari, kau jadi begitu pelit dan sungkan memberi pelajaran kepada kami ?”
Ho Ciok Too menggelengkan kepala. “Nona ini sudah
mengatakan, bahwa kedua belah pihak tidak boleh merusak keakuran,” katanya.
Boe siang jadi gusar sekali. Ia terutama gusar
karena, Ho Ciok Too sudah menantang lebih dulu dan tantangan itu dianggap
sebagai kekurang-ajaran terhadap Siauw-lim sie. Disamping itu, ia juga gusar
sebab Phoa Thian Keng dan kedua Soetee telah dirobohkan hingga diluaran orang
bisa menyiarkan cerita, bahwa murid Siauw-lim pay dijatuhkan oleh Kiam seng.
Tapi iapun yakin, bahwa sebagian besar murid2 Siauw-lim sie bukan tandingan Ho
Ciok Too dan oleh karenanya, ia segera mengambil keputusan untuk turun tangan
sendiri. Ia maju dua tindak seraya berkata: “Menjajal ilmu tak selamanya
merusak keakuran. Mengapa Ho Kie soe menolak begitu keras ?” Ia berpaling
kepada muridnya dan berkata pula. “Ambil pedang !”
Didalam kuil sudah diSediakan macam2 senjata, tapi
pada waktu keluar menyambut tamu para pendeta itu tentu saja merasa tak pantas
untuk membawa senjata.
Dengan cepat murid itu sudah keluar kembali dengan
membawa tujuh delapan batang pedang yang lalu diangsurkan kepada Ho Ciok Too.
“Apa Kie soe membaWa pedang sendiri atau ingin meminjam senjata kami?”
tanyanya.
Sebaiknya dari menjemput senjata yang diangsurKan
Ho Ciok Too membungkuk dan mengambil sebutir batu kecil. Tiba2 dengan
mengunakan batu itu, ia membuat sembilan belas garis melintang dan sembilan
belas garis membujur diatas batu hijau yang menutupi jalanan didepan kuil,
Setiap garis itu sangat lurus, seperti juga di babat dengan menggunakan
penggaris. Tapi apa yang mengejutkan yalah setiap goresan masuk dibatu kira2
satu dim dalamnya. Batu hijau itu adalah batu gunung Siauw sie san yang keras
bagaikan besi. Ratusan tahun orang mundar mandir di atasnya, tanpa rusak
sedikit juga.
Sesudah membuat garis2 itu yang merupakan papan
catur, sambil tertawa Ho Ciok Too berkata: “Mengadu pedang agak terlalu ganas,
sedang suara khim pun sukar diadu. Maka itu, jika Toahweeshio merasa gembira,
mari kita main catur.”
Apa yang diperlihatkan Ho Ciok Too sangat
mengejutkan hatinya Thian beng, Boesek, Boe siang dan Cit loo dari Sim sian
tong. Thian beng Siansoe yakin, bahwa Lweekang yang setinggi itu tidak dipunyai
oleh siapa pun juga dalam kuil Siauw limsie. Ia jadi bingung bukan main, tapi
baru saja ia memikir untuk mengaku kalah, tiba-tiba terdengar suara berkerincin
dan rantai besi dan di lain saat, Kak wan muncul sambil memikul dua tahang
besi, sedang di belakangnya mengikuti seorang pemuda yang bertubuh jangkung.
Begitu tiba dihadapan Thian beng, ia segera memberi hormat seraya menanya.
“Apakah Loo hong thio memanggil aku ?”
“Ho Kie soe ingin bertemu dan bicara denganmu.”
jawabnya.
Ia memutar badan dan merasa heran, sebab tak tahu
siapa adanya orang itu. “Siauw ceng adalah Kak wan,” ia memperkenalkan diri.
“Omongan apa yang hendak disampaikan oleh Kie soe ?”
Sesudah membuat papan catur, kegembira Ho Ciok Too
terbangun. “Omongan itu aku akan beritahukan sebentar.” katanya. “Toahweesio
manakah yang ingin melayani aku main catur ?” Ho Ciok Too adalah seorang yang
keranjingan main khim, pedang dan tiokie. Kalau gilanya datang, ia melupakan
apapun juga.
“Kepandaian Kie soe dalam membuat papan catur
dengan menggores batu, belum pernah di saksikan oleh loolap,” kata Thianbeng.
“Samua pendeta dalam kuil kami tak dapat menandinginya.”
Mendengar perkataan Thian beng dan melihat papan
catur itu, barulah Kak wan tahu, bahwa Ho Ciok Too datang di Siauw Iim sie
untuk memamerkan kepandaiannya.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menaruh kedua
tahang besi di pundaknya sambil menyedot napas untuk mangumpulkan semua tenaga
dalamnya di kedua lutut.
Sesudah itu, setindak demi setindak, ia berjalan digarisan pinggir dari papan catur itu.
Sesudah itu, setindak demi setindak, ia berjalan digarisan pinggir dari papan catur itu.
Semua orang terkesiap dan mengawasi tindakan Kak
wan dengan mata membalalak. Mengapa ?
Ternyata, di tempat yang dilewati rantai besi yang
melibat di kakinya, terdapat goresan-goresan yang lebarnya kira-kira lima dim dan
goresan-goresan itu telah merusak garis yang dibuat Ho Ciok too! Sesaat
kemudian, tanpa merasa semua pendeta bersorak sorai.
Thian beng, Boe Sek, Boe siang dan lain2 pemimpin
jadi kaget campur girang. Mereka tak pernah mimpi, bahwa pendeta tua yang
tolol2an itu, memiliki lweekang tinggi. Mereka sudah berkumpul didalam satu
kuil puluhan tahun lamanya, tapi tak seorangpun yang tahu kelihayan Kak Wan
Sebenarnya, biarpun seseorang mempunyai tenaga dalam
yang hebat, ia tak mungkin membuat goresan seperti yang dibuat Kakwan diatas
batu hijau yang amat keras itu. Hanyalah karena pendeta itu memikul dua tahang
besi berisi air yang beratnya kurang lebih enam ratus kati sehingga tenaga yang
sangat besar itu dapat disalurkan dari pundak ke rantai besi, maka selagi
terseret, rantai besi itu seolah olah semacam cangkul yang mencangkul garis2
papan catur. Tapi meskipun demikian, walaupun Kak wan meminjam tenaga apa yang
dipertunjuknya sudah jarang sekali terlihat dalam Rimba Persilatan.
“Toahweeshio!” teriak Ho Ciok Too. “Lwee kangmu
hebat sekali, aku tak bisa menandingi”
Kak wan menghentikan tindakannya dan mengawasi tamu
sambil bersenyum.
“Toahweeshio,” kata pula He Ciok Too. “Kita tidak
bisa main catur lagi dan aku mengaku kalah. Sekarang aku ingin minta petunjukmu
dalam ilmu pedang.”
Hampir berbareng dengan perkataannya, ia menghunus sebatang pedang panjang dari bawah Cit hian khim. Ia segera bergerak untuk menyerang dan gerakannya yang pertama sangat luar biasa, yaitu ujung pedang menuking dadanya sendiri, sedang gagang pedang menuding lawan. Semua orang ter-heran2 sebab didalam dunia belum pernah ada Khiam boat yang begitu aneh.
Hampir berbareng dengan perkataannya, ia menghunus sebatang pedang panjang dari bawah Cit hian khim. Ia segera bergerak untuk menyerang dan gerakannya yang pertama sangat luar biasa, yaitu ujung pedang menuking dadanya sendiri, sedang gagang pedang menuding lawan. Semua orang ter-heran2 sebab didalam dunia belum pernah ada Khiam boat yang begitu aneh.
“Loo ceng hanya bisa membaca kitab, bersemedhi,
menjemur buku dan menyapu lantai,” kata Kak wan. “Mengenai ilmu silat
sedikitpun aku tidak mengerti,”
Ho Ciok Too tentu saja mau percaya. Seraya tertawa
dingin ia lompat menerjang. Tiba tiba ujung pedang itu berbalik dan meluncur
kedada si pendeta. Ternyata, dalam gerakannya yang pertama, yaitu? waktu ujung
pedang manuding dadanya sehdiri, ia sedang mengumpulkan tenaga dalam dan
kemudian, secara mendadak, membalikkan senjatanya dengan Lweekang itu.
Jika Ho Ciok Too menghadapi ahli silat biasa,
serangan itu pasti akan berhasil. Akan tetapi Lweekang Kak wan sudah mencapai
tarap dimana setiap gerakannya selalu terjadi secara wajar, menurut jalan
pikirannya, Maka itu, biarpun pedang menyambar bagaikan kilat, jalan pikiran si
pendeta lebih cepat dari sambaran pedang. Pada detik yang tepat, sebuah tahang
melompat naik dan “tang” pedang menikam tahang dan lantas saja melengkung
seperti bulan sisir, Buru2 Ho Ciok Too menarik pulang senjatanya, sedang tangan
kirinya mengebas muka lawan. Sekali lagi tahang yang lain naik dan tangannya
terpental kesamping
Ia kaget tercampur penasaran. Ia merasa pasti,
bahwa kedua tahang besi yang sangat berat itu, tak akan bisa menangkis ceceran
pedang jika ia menyerang dengan menggunakan kecepatan. Memikir begitu, ia
lantas saja berseru: “Toahweeshio, kali ini kau hati2″ Pedangnya menggetar dan
seperti kilat, ia mengirim enam belas tikaman berantai.
“Tang-tang-tang ! – - -” enambelas kali Cap-lak
chioe Soen loei kiam (Pedang geledek enambelas kali menikam) menikam di tahang
besi!
Melihat gerak gerik Kak-wan yang sangat repot dan
bingung waktu diserang, semua orang percaya, bahwa memang sebenarnya ia tidak
mengerti ilmu silat.
Pada waktu Ho Ciok Too baru mulai menyerang, semua
orang sangat berkuatir. “Ho Kie-sie, jangan berlaku kejam !” teriak Boe sek dan
Boe siang hampir berbareng,
“Ho Toako, jangan turuskan tangan jahat!” seru Kwee
Siang.
Tapi heran sungguh, dalam caranya yang sangat luar
biasa dan tidak sesuai dengan ilmu silat, Kak-wan mengangkat kedua tahang besi
itu pergi datang dan semua tikaraan itu mampir ditahang air.
Sedang semua orang bisa melihat bahwa si-pendeta
sebenaraya tak mengerti ilmu silat, Ho Ciok Tao seadiri, yang serangan2nya
digagalkan hingga ia jadi sangat mendongkol, sedikitpun tidak merasa, bahwa
lawannya menangkis tikaman2nya dengan gerakan wajar yang telah dapat berkat
latihan Lweekang yang sangat tinggi. Maka itu, sesudah Cap-lak chioe
Soen-loei-kiam, gagal, sambil membentak keras, ia menikam kempungan Kak-wan,
“Celaka !”seru sipendeta yang datam repotnya
merangkap kedua tangan yang mencekal tahang. Berbareng dengan terdengarnya
suara nyaring akibat beradunya besi, pedang Ho-Ciok Too tergencet diantara
kedua tahang itu. Buru2 ia mengerahkan tenaga dalam dan coba membetot
senjatanya, tapi sedikitpun tidak bergeming. Cepat bagaikan kilat, tangan kirinya
menghantam muka lawan.
Semua orang terkesiap. Kak-wan yang sedang mencekal
tahang besi itu, tak bisa menangkis lagi. Pada detik yang sangat berbahaya
mendadak Thio Koen Po melompat dan menghantam pundak Ho Ciok Too dengan pukulan
Soe thong Pat ta yang didapat dari Yo Ko. Pada saat yang bersamaan, Lweekang
Kak wan sudah mengalir masuk kedalam tahang dan tiba-tiba saja sepasang “arus”
air menyembur dari kedua tahang itu dan menyambar muka Ho Ciok Too, sehingga
pukulannya kebentrok dengan air yang menyemprot dan ke dua dua nya basah kuyup.
Oleh karena tangan kanannya mencekal pedang yang di
gencet tahang air dan tangan kiri menyambut sambaran air, maka ia tidak bisa
menangkis lagi pukulan Thio Koen Po. “Bak !”, pukulan itu mengenakan tepat di
pundaknya. Sekali lagi semua orang terkejut, sebab Thio Koen Po yaug masih
seperti bocah, ternyata memiliki Lweekang yang cukup tinggi, sehingga badan Ho
Ciok Too bergoyang2 dan terhuyung kebelakang beberapa tindak.
“O mi-to-hoed !” teriak Kak wan. “Ho Kie soe,
ampuni Loo ceng ! Tikaman-tikaman mu menenakuti sangat.” Sehabis berkata
begitu, ia menyusut air dan keringat yang membasahi mukanya dan lalu minggir
kesamping.
Sekarang Ho Ciok Too naik darah nya. “Aku dengar
dalam kuil Siauw lim sie berkumpul banyak sekali orang pandai dan ternyata
memang benar begitu,” katanya dengan suara mendongkol. “Malahan seorang bocah
cilik memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Bocah ! Mari kita main2. Jika kau
bisa melayani aku dalam sepuluh jurus, Ho Ciok Too tidak akan datang lagi ke
wilayah Tiong goan untuk se lama-lamanya.”
Boe sek, Boe siang dan yang lain-lain tahu bahwa
Thio Koen Po adalah kacung Cong keng-kok dan sebegitu jauh belum pernah belajar
silat. Entah bagaimana secara kebetulan, ia berhasil memukul orang she Ho itu.
Mereka yakin, bahwa jika bertempur sungguh sungguh, dalam sejurus saja bocah
itu bisa binasa dalam tangan lawannya.
“Ho Kie soe salah,” kata Boo siang. “Kau bergelar Koein loen Samseng dan ilmu silatmu telah menggetarkan seluruh jagat. Bagaimana kau boleh bertempur dengan satu kacung tukang masak air dan menyapu lantai ? Jika kau tidak kau main-main sepuluh jurus.
“Ho Kie soe salah,” kata Boo siang. “Kau bergelar Koein loen Samseng dan ilmu silatmu telah menggetarkan seluruh jagat. Bagaimana kau boleh bertempur dengan satu kacung tukang masak air dan menyapu lantai ? Jika kau tidak kau main-main sepuluh jurus.
Ho Ciok Too menggelengkan kepala. “Tak bisa,”
katanya. “Hinaan pukulan itu, bagaimana bisa disudahi saja. Bocah! Sambutlah!”
Hampir berbareng dengan bentakannya, tangannya menyambar kedada Thio Koen Po.
Jarak antara dia sangat dekat, sehingga biarpun Boe sek dan Boe siang ingin
menolong, sudah tidak keburu lagi. Semua orang menduga, bocah itu akan segera
terluka berat.
Diserang dengan pukulan hebat itu, kedua kaki Thio
Koen Po tidak bergerak. Ia hanya menggeser ujung kakinya kekanan dan badan nya
lantas saja turut berputar kekanan. Dalam gerakan itu, ia sudah berhasil
mengempos pukulan lawan. Hampir berbaring, dengan tinju kiri melindungi
pinggang, telapak tangan kanannya menyambar. Itulah pukulan Yoe co an hoa chioe
(Pukulan menembus bunga) salah satu pukulan pokok dari ilmu silat Siauw lim
pay.
Apa yang luar biasa, yalah, waktu memukul tubuhnya
kokoh teguh bagaikan gunung, sedang pukulannya dahsyat seperti gelombang sungai
Tiang kang. Semua orang kaget bukan main, karena pukulan itu bukan pukulan
seorang pemuda yang masih hijau, tapi pukulan seorang tokoh kenamaan dari Rimba
Persilatan. Sesudah pundaknya terpukul, Ho Ciok Too tahu, bahwa tenaga dalam pemuda
itu banyak lebih kuat dari pada Phoa Thian Keng dan kedua saudara
seperguruannya. Tapi ia yakin, bahwa dalam sepuluh jurus, ia akan dapat
merobohkannya. Melihat sambaran Yoe coan hoa chioe yang sangat hebat itu, tanpa
merasa ia memuji. “Bocah! Lihay benar pukulanmu!”
Jantung Boe siang berdebar2. Ia melirik Boe sek dan
berkata seraya bersenyum: “Boe sek Soetee, aku memberi selamat, bahwa dengan
diam-diam kau sudah mendapat murid yang begitu berbakat !”
Boe sek menggelengkan kepala dan berkata dengan suara
perlahan. “Bukan ….”
Sementara itu, dengan beruntun Thio Koen Po sudah
mengirim empat serangan berantai yaitu Auw po lat kiong (Menggeser kaki manarik
busur), Tan hong tauw yang (Burung hong menghadap matahari), Sioe teek kiat
chiang (Di bawah tangan baju memotong tangan) dan Jie long tan jan (Jie long
memikul gunung). Setiap pukulan di sertai dengan Lweekang yang sangat tinggi,
sehingga semua pendeta jadi kagum bukan main. Thian beng, Boe sek, Boe siang
dan Cit loo dari Sim sian tong saling mengawasi dengan hati berdebar debar.
“Pukulan-pukulannya yang sangat bagus dan cepat, masih dapat dimengerti,” kata
Boe siang. “Tapi bagaimana dengan Lwee kangnya yang begitu hebat?”
Sesaat itu dengan paras muka ke merah2-an Ho Ciok
Too mengirim pukulan yang keenam. “Sedang seorang bocah saja aku sudah tak
mampu jatuhkan, bagaimana aku berani datang di perguruan silat ditempatnya
Siauw lim sie dan mengirim surat
tantangan .” pikirnya. “Bukankah perbuatanku itu hanya jadi bahan tertawaan
orang2 gagah dikolong langit?” sambil memikir begitu, ia memutar badan dan lalu
menyerang dengan pukulan Thian san soat piauw (Salju melayang2 digunung
Thiansan), dalam sekejap seluruh badan Thio Koen po sudah dikurang dengan
pukulan2 yang menyambar2 bagaikan turunnya salju.
Kecuali Yo Ko yang pernah memberi petunjuk
kepadanya dipuncak Hwa san, Koen Po belum pernah menerima pelajaran dari lain
guru, Oleh karena itu, ia jadi kaget bukan main ketika melihat serangan2 yang
sehebat itu. Pada detik yang sangat berbahaya, dalam bingungnya ia memutar
pinggang kekiri, mengangkat kedua tangannya sampai meleWati dagu dan telapakan
tangan kiri ber hadapan dengan telapak tangan kanan. Itulah pukulan Song coan
chioe (pukulan sepasang lingkaran) dari Siauw limpay, serupa pukulan yang teguh
kokoh bagaikan gunung jika disertai dengan tenaga Lweekang yang kuat dan dapat
memunahkan segala rupa serangan. Maka itulah semua serangan Ho Ciok Too, tak
perduli dari mana datangnya, dapat ditangkis dengan Song coan chioe.
Sampai disitu, kegirangan pihak Siauw Lim sie tak
dapat ditekan lagi. Dengan serentak murid2 Tat mo tong bersorak sorai.
Sedang sorakan masih belum mereda, sambil membentak
keras, Ho Ciok Too meninju dada lawannya, pukulan itu adalah pukulan biasa
saja, tapi disertai dengan tenaga dalam yang sangat dahsyat. Buru2 Koen Po
menolak dengan kedua telapakan tangannya dalam pianhoa citseng. “Buk!”,
telapakan tangan dan tinju beradu keras. Badau Ho Ciok Too ber goyang2 sedang
Thio Koen Po terhuyung ke belakang beberapa tindak.
“Huh!” demikian terdengar suara Ho Ciok Too yang
tanpa tenaga dalam mengubah gerakannya lalu maju setindak dan sekali lagi
mengirim tinju deugan sepenuh tenaga. Thio Koen Po yaug ilmu silatnya saugat
terbatas, kembali menangkis dengan Pian hoa cit seng yaitu mendorong dengan
keduu telapakan tangaunya. “Buk !”, tubuh Koen Po sempoyongan lima tindak
kebelakaug, sedang badan Ho Ciok Too terhuyung kedepan, “Tinggal satu pukulan
lagi !” bentaknya dengau paras muka pucat.
“Sambutlah dengan seantero tenagamu!” ia maju dua
tindak, memasang kuda2 dan mengirim pukulan dengan gerakan perlahan.
Sesaat itu, ratusan pendeta Siauw lim sie mengawasi
sambil menahan napas. Semua orang yakin, bahwa dengan pukulan itu, Ho Ciok Too
mempertaruh nama besarnya dan bahwa ia tentu menggunakan seantero tenaga Lwee
kang yang dimilikinya.
Untuk ketiga kalinya, Koen Po menyambut dengan Pian
hoa cit seng. Sekali ini, beradunya tinju dan telapak tangan tidak mengeluarkan
suara apapun juga. Kedua lawan dengan berbareng mengempos semangat mengarahkan
seluruh Lweekang mereka.
Mengenai ilmu silat, Ho Ciok Too lebih unggul
ratusan kali lipat daripada Thio Koen Po tapi dalam tenaga Lweekang, ia masih
belum bisa mengatasi pemuda itu. Semua orang tak pernah mimpi, bahwa secara
kebetulan Koen Po memperoleh pelajaran dari Kioe yang Cin ken keng dan memiliki
tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Sama juga mereka bertahan sambil memusat seantero
tenaga dalam di tangan mereka. Se-konyong2, berbareng dengan keluarnya suara
“huh”, Ho Ciok Too mundur setindak karena ia merasa darahnya meluap ke atas, Se
bisa2 ia masih mau coba mempertahankan diri, tapi mendadak matanya gelap dan ia
lantas memuntahkan darah dari mulutnya. Walau tidak tahu apa artinya
memuntahkan itu tak tabu, bahwa lawannya sudah terluka berat Thio Kaen Po kaget
bukan main. “Celaka !” teriaknya sambil memburu untuk memapah lawan.
Ho Ciok Too mengebas tangannya dan seraya tertawa
getir, ia berkata. “Ho Ciok Too! Ho Ciok Too! Kau benar2 orang edan!” berpaling
kearah Thian beng Siansoe dan menyoja sampai ketanah. “Ilmu silat Siauw lim-sie
sudah kesohor ribuan tahun dan benar saja nama itu bukan nama kosong,” katanya.
Hari ini aku bisa membuka kedua mataku lebih lebar. Sehabis berkata begitu, ia
memutar badan dan dengan sekali menotol tanah dengan ujung kakinya, tubuhnya
melesat beberapa tombak jauhnya. Ia berhenti sebentar dan menengok kearah
Kak-wan. “Kak-wan Taysoe,” katanya. “Orang itu mengatakan, bahwa kitab suci
berada didalam minyak. Ia minta aku menyampaikan perkataannya kepadamu.” Dilain
saat dengan menotol tanah beberapa kali dengan ujung kakinya, ia sudah berada
diluar dari rentetan pohon2 pek yang tumbuh disepanjang jalan. Semua pendeta
merasa kagum bukan main, karena sesudah terluka berat ia masih bisa bergerak
begitu cepat. Kepandaian dan keuletan itu sesungguhnya jarang ter dapat dalam
Rimba Persilatan.
Sesudah musuh berlaen, semua pendeta segera
mengawasi Thian beng untuk mendengar perintah lebih jauh. Tiba2 seorang pendeta
tua yang bertubuh kurus dari Cit loo Sim sian tong berkata dengan suara nyaring
dan menyeram kan.
“Siapa yang sudah turunkan ilmu silat kepada murid
itu?”
Semua orang bergidik mendengar suara itu yang
menyerupai bunyinya seekor burung malam. Thian bong, Boe sek dan Boe siang yang
juga ingin mengajukan pertanyaan tersebut, dengan serentak mengawasi Kak wan
dan Thio Po. Tapi guru dan murid itu tidak lantas menjawab. Mereka berdiri
bengong dengan mulut ternganga.
“Kak wan memiliki Lweekang yang sangat tiggi, tapi
bisa dilihat nyata, bahwa ia belum pernah belajar ilmu silat,” kata Thian beng.
“Apa yang mengherankan adalah ilmu silat Siauw lim dari anak itu. Siapakah yang sudah mengajarkannya?”
“Apa yang mengherankan adalah ilmu silat Siauw lim dari anak itu. Siapakah yang sudah mengajarkannya?”
Semua murid Tat mo tong dan Lo han tong menunggu
jawaban dengan hati berdebar2. Semua orang menganggap bahwa bocah itu yang
sudah merobohkan musuh sedemikian tangguh, pasti bakal mendapat hadiah besar,
sadang gurunya pun akan mendapat pujian tinggi.
Melihat Thio Koen Po tidak mejawab pertanyaannya,
alis sipendeta tua mendadak berdiri dan pada paras mukanya terdapat sinar
Pembunuhan. ” Hei! Aku tanya kau. Siapa yang mengajar Lohan koen kepadamu?”
tanyanya pula dengan suara keras.
Thio Koen Po segera merogoh saku dan mengeluarkan
sepasang Tiat lo han (Lo han besi) yang diberikan kepadanya oleh Kwee Siang.
“Teecoe (murid) belajar dari kedua Tiat lo han ini,”
jawabnya. “Dengan se-benar2nya Tee coe belum pernah mendapat pelajaran ilmu
silat dari siapa juga pun.”
Sipendeta tua maju setindak dan berkata pula dengan
suara perlahan. “Kau bicaralah se tulus2nya. Siapa yang sudah turunkan ilmu
silat kepadamu?” Walaupun diucapkan seperti berbisik, suara itu yang disertai
Lweekang yang tinggi, dapat nyata oleh semua orang.
Thio Koen Po merasa sangat kecewa, tapi karena
tidak merasa bersalah, maka biarpun melihat paras muka sipendeta tua yang
menyeramkan, sedikitpun ia tidak merasa keder. “Tidak, dalam kuil ini, belum
pernah ada seorang pun yang mengajar ilmu silat kepada Teecoe” katanya dengan
suara nyaring. “Teecoe selalu berdiam di Keng kok, menyapu lantai, masak air
dan melayani Kak wan Soehoe. Beberapa pukulan Lo han-koen itu telah dipelajari
oleh Tee-coe sendiri dan jika ada gerak-gerik yang kurang benar, Teecoe memohon
Loo soehoe sudi memberi petunjuk.
Si pendeta tua mengeluarkan suara di hidung dan
kedua mata yaug ber-api2, ia menatap wajah Thio Koeh Po. Lama sekali ia
mengawasi muka pemuda itu tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Kak wan tahu, bahwa pendeta Sim sian-tong itu
mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim-sie dan ia adalah Soesiok
(paman guru) dari Thian beng Siausoe. Melihat sikap situa tehadap muridnya, ia
merasa sungguh tidak mengerti. Tiba2 waktu kedua matanya kebentrok dengan mata
pendeta tua yang penuh dengan sorot kebencian, dalam otaknya berkelebat suatu
keingatan. Ia ingat bahwa duapuluh tahun lebhn berselang, secara ke betulan
dalam Cong kek kok ia mandapatkan se jilid buku tipis dengan tulisan tangan,
yang mencatat suatu peristiwa besar dalam kuil Sauw lim-sie.
Kejadiannya seperti berikut. Pada tujuh puluh tahun
lebih yang lalu, Hong thio kuil Siauw lim-sie adalah Kouw tin Siansoe, itu Soecouw
atau kakek guru dari Thian beng Siansoe. Menurut adad, setiap tahun sekali ada
hari perayaan Tiong-coe, di Tat mo tong diadakan ujian ilmu silat yang
dikepalai oleh Hong thio, sIoe coe dari Tat mo-tong dan Lo han-tong. Tujuan
dari ujian itu adalah untuk melihat kemajuan para murid Siauw limsie selama
satu tahun.
Diluar dugaan, waktu diadakan ujian pada tahun itu,
telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menyedihkan.
Sesudah semua murid memperlihatkan kepandaiannya, pemimpin Tat mo tong, Kouw tie Siansoe, segera naik kemimbar
dan membincangkan kepandaian setiap murid. Selagi Kouw-tie enak bicara, tiba2 muncul seorangTauw-to, atau pendeta yang memiara rambut, yang lantas saja berteriak; “Omongan Kouw tie Siansoe omongan kentut anjing! Dia sebenarnya tak tahu apa artinya ilmu silat dan berani mati, ia menduduki kursi Soei-co dari Tat mo-tong. Sungguh memalukan!”
Sesudah semua murid memperlihatkan kepandaiannya, pemimpin Tat mo tong, Kouw tie Siansoe, segera naik kemimbar
dan membincangkan kepandaian setiap murid. Selagi Kouw-tie enak bicara, tiba2 muncul seorangTauw-to, atau pendeta yang memiara rambut, yang lantas saja berteriak; “Omongan Kouw tie Siansoe omongan kentut anjing! Dia sebenarnya tak tahu apa artinya ilmu silat dan berani mati, ia menduduki kursi Soei-co dari Tat mo-tong. Sungguh memalukan!”
Dengan kaget semua pendeta mengawas orang itu yang
ternyata adalah Tauw to yaag bekerja didapur sebaai tukang menyalakan api. Pada
sebelum guru mereka membuka mulut, murid2 Tat mo-tong sudah balas mencaci
dengan kegusaran yang meluap-luap.
“Jangan banyak bacot kau!” teriak Si Tauw to
“Gurunya kentut anjing, muridnyapun kentut anjing!” Sehabis memaki, ia berdiri
di tengah ruangan dengan sikap menantang. Sejumlah pendetalantas saja maju
untuk menghajar Tauwto itu, tapi satu demi satu, mereka dirobohkan secara mudah
sekali. Apa yang lebih hebat lagi si Tauwto tidak berlaku sungkan2. Sembilan
murid utama dari Tat mo tong telah dijatuhkan dengan luka berat atau patah kaki
tangannya.
Kouw tie Siansoe kaget tercampur gusar. Ia mendapat
kenyataan bahwa ilmu silat Tauwto itu adalah ilmu Siauw limpay, sehingga dia
bukan seorang luar yang sengaja datang untuk mengacau. Sambil menahan amarah,
Kouwtie meanaya siapa gurunya. “Aku belajar sendiri, tak satu manusia pun yang
mengajar aku,” jawabnya.
Apa latar belakang perbuatan Tauwto itu? Ternyata,
selama baberapa tahun ia sering dianiaya olah pemilik bagian dapur yang beradat
berangasan dan suka main pukul orang sebawahannya. Tiap kali ia muntah darah
akibat pukulan pemilik dapur itu yang sering turun tangan tanpa mengenal
kasihan. Dengan mendedam sakit hati yang sangat besar, diam2 ia belajar silat.
Ia mendapat kesempatan luas untuk mencuri pelajaran, karena hampir semua murid
Siauwlim si pandai ilmu silat jika seseorang bertekat untuk melakukan serupa
pekerjaan lama atau cepat, ia pasti akan berhasil.
Dibantu dengan kecerdasan otaknya yang melebihi
manusia biasa, maka dalam tempo belasan tahun, ia sudah memiliki, kepaudaian
yang sangat tinggi. Tapi ia masih tetap menyembunyikan kepadaianaya itu dan
terus bekerja sebagai tukang menyalakan api yang dengar kata Kalau dipukul oleh
sipemilik dapur, ia sama sekali tidak melawan. Berkat Lweekangnya yang sangat
kuat, ia sekarang tidak takut lagi segala pukulan. Dengan sabar ia berlatih
terus. Sesudah merasa, bahwa kepandaiannya berada diatas semua pendeta Siawlim
sie, pada hari ujian silat, dihari Tiongcoe, barulah ia turun tangan.
Sakit hati yang sadah didendam belasan tahun lamanya,
menanam rasa benci terhadap semua pendeta Siauwlimsie, didalam lubuk hatinya,
maka itu ia sudah menyerang tanpa sungkan2 lagi.
Sesudah mengetahui sebab musabab kejadian itu,
Koawti Siansoe tertawa dengan seraya berkata, “Aku sungguh merasa kagum akan
kegiatanmu itu.” Ia turun dari mimbar dan satu pertempuran hebat lantas saja
terjadi. Pada masa itu, Kouwtie adalah orang yang berkepandaian paling tinggi
di-kuil Siauwlimsie.
Mereka berdua segera serang menyerang dengan
menggunakan ilmu2 pukulan yang paling hebat dan dalam tempo cepat, mereka sudah
bertempur kurang lebih 500 jurus.
Semakin lama pertempuran semakin hebat, sehingga
mencapai sesuatu titik yang sangat berbahaya. Pada saat itu, karena mengingat
jerih payahnya si Touw to untuk memiliki kepandaianya yang begitu tinggi, dalam
hati Kouw tie muncul perasaan sayang dan kasihan. Maka itu, sambil mementang
kedua tangannya, ia membentak. “Mundurlah!”
Tapi sungguh sayang, si Tauw to salah tampah maksud
orang yang baik. Ia menduga, bahwa dengan mementang kedua tangannya, Kouw tie
Siansoe ingin menyerang dengan Sin ciang Pat ta (Delapan pukulan Tangan
Malaikat), salah satu ilmu terlihay dari Siauw lim sie. Ia ingat, bahwa waktu
berlatih dengan ilmu itu, seorang murid Tat mo tonG pernah mematahkan satu balok
kayu dengan pukulan kedua tangannya. Maka ita, ia tahu hebatnya Sin ciang Pat
ta. Biar bagaimanapun juga, biar memiliki kepandaian tinggi tapi karena ia
belajar dengan mencuri dan tidak mendapat petunjak guru yang pandai, maka ia
masih belum bisa menyelami ilmu Siauw lim pay sampai didasarnya.
Ia sama sekali tak tahu, bahWa dengan mementang
kedua tangannya, Kouw tie Siansoe sebenarnya mengeluarkan pukulan Hoen kay cian
( pukulan memecah dan membuka) untuk meminjam dan memindahkan tenaga, dengan
tujuan menghentikan pertempuran begitu lekas kedua belah pihak melompat mundur.
Ia menduga, bahwa Koauw tie ciaag (pukulan pembelah hati), pukulan keenaam dari
Sin ciang Pat ta. Dengan menduga begitu, ia berkata dalam hatinya: “Tak begitu
gampang kau ambil jiwaku !” la melompat dam memukul dengan kedua tangannya.
Pukulan kedua tangan itu menyambar bagaikan gunung
roboh. Dengan hati mencelos Kouw tie Siansoe buru2 membalik tangannya untuk
menangkis, tapi sudah tak keburu lagi Dengan satu suara “buk !”, tulang lengan kiri
dan empat tulang dadanya patah ! Semua pendata kaget dan bingung dengan
serentak mereka memburu untuk memberi pertolongan. Tapi Kouw tie yang sudah
terluka berat, hanya tersengal2 napasnya dan tidak dapat mengeluarkan sepatah
kata lagi. Malam itu ia menutup mata.
Selagi seluruh Siauwlim sie diliputi kedukaan
basar, malam itu siauw-To diam-diam menyatroni dam membinasakan sipendeta
pemilik dapur serta lima
pendeta yang mepunyai ganjelan dengannya.
Kejadian itu menerbitkan kegemparan dan kegusaran
yang tiada taranya dalam sejarah Siauw-lim sie. Pendeta pimpinan lantas saja
mengirim puluhan pendeta yang berkepandaian tinggi untuk membekuk Tauw to kejam
itu, tapi sesudah mencari sana
sini diseluruluh Kang-lam, dan Kang-pak(daerah sebelah selatan dan utara Sungai
Besar), usaha mereka tidak berhasil.
Dan akibat dari peristiwa itu, dalam Siauw lim sie
belakangan muncul gelombang yang merupakan perebutan kekuasaan dan saling salah
menyalahi. Dalam gusarnya, pemimpin La han tong, Kouw hoei Sian
soe, telah pergi di See ek dimana ia kemudian membentuk sebuah cabang Siauw lim
pay. Phoa Thian Keng dan kedua saudara seperguruannya adalah murid2 Kouw hoei Sian soe.
Demikian bunyi catetan dalam buku tipis itu, yang
kebetulan dapat dibaca oleh Kak wan.
Sesudah itu, ilmu silat Siauw lim sie merosot
banyak. Untuk mencegah terulangnya kejadian itu, para pemimpin lalu mengadakan
peraturan, bahwa setiap murid Siauw lim sie hanya boleh belajar silat dibawah
pimpinan guru dan bahwa siapa pun juga tidak boleh mencari belajar, orang yang
melanggar diancam dengan hukuman sangat berat paling berat hukuman masih paling
enteng diputuskan tulang dan uratnya, supaya dia orang barcacat. Selama puluhan
tahun, peraturan itu dipertahankan dengan kerasnya dan tak pernah terjadi lagi
peristiwa mencari belajar silat. Sesudah lewat banyak tahun, per-lahan2 orang2
mulai melupakan kejadian hebat itu.
Si pendeta tua anggota Sim sian tong itu, adalah
salah seorang murid Kouw tie Sian soe. Selama
puluhan tahun, ia tak pernah melupakan kebinasaan gurunya yang sangat
menyedihkan. Maka itulah, begitu tahu Thio Koen Po memiliki ilmusilat tinggi
tanpa mempunyai guru, kejadian yang sudah lampau kembali terbayang didepan
matanya dan rasa sedih dan gusar me-luap2 dalam hatinya.
Mengingat apa yang telah dibacanya, tanpa merasa
Kak wan mengeluarkan keringat dingin “Loo hong thio!” teriaknya. “Ini …. Koen
Po….”
Belum habis perkataan itu, Boe siang Siansoe sudah
membentak. “Murid2 Tat mo tong! Majulah! Bekuk dia!”
Hampir berbareng dengan perintah itu, delapan belas murid Tat mo tong segera mdlompat maju untuk mengurung Kak wan dan muridnya. Karena mereka membuat lingkaran besar, Kwee Siang pun turut terkurung di dalamnya.
Hampir berbareng dengan perintah itu, delapan belas murid Tat mo tong segera mdlompat maju untuk mengurung Kak wan dan muridnya. Karena mereka membuat lingkaran besar, Kwee Siang pun turut terkurung di dalamnya.
“Murid2 Lo han tong! Mengapa kau belum mau maju?”
seru si pendeta Sim sian tong. Semua murid Lo ham tong segera bergerak serentak
dan membuat tiga lingkaran lain diluar lingkaran murid2 Tat mo tong,
Thio Koen Po jadi bingung bukan main, Apakah dengan
mengalahkan Ho Ciok Too, ia telah melanggar peraturan kuil !
“Soehoe!” teriaknya. “Aku… aku… “
Kurang lebih sepuluh tahun, Kak wan telah hidup
ber-sama2 muridnya dan kecintaan mereka tiada bedanya seperti kecintaan antara
ayah dan anak. Ia tahu, bahwa jika Koen Po sampai kena ditangkap, biarpun tidak
mati, ia bakal jadi orang bercacad.
“Kalau tak mau turun tangan sekarang, mau tunggu
sampai kapan lagi?” tiba2 terdengar bentakan Boe siang Sian
soe.
Delapan belas murid Tat mo tong lantas saja
mendesak dengan hebataya. Tanpa memikir lagi, Kak wan memutar sepasang tahang
besi yang bembuat sebuah lingkaran, disertai dengan tenaga Lweekangnya yang
sangat dahsyat, sehingga semua pendeta-pendeta itu tidak bisa maju. Bagaikan
senjatanya itu sepasang bandringan, kedua tahang besi itu ter-putar2 dan untuk
menyelamatkan diri, murid2 Tat mo tong terpaksa melompat kebelakang. Sesudah
semua penyerang terpukul mundur, tiba2 Kak wan menyapu dengan kedua tahangnya
dan Kwee Siang masuk ketahang kiri dan Koen Po masuk ketahang kanan. Sesudah
itu, bagaikan terbang, ia turun gunung dengan memikul kedua orang muda itu.
Semakin lama suara berkerincingnya rantai jadi semakin jauh dan beberapa saat
kemudian, tidak kedengaran lagi.
Karena peraturan Siauw lim-sie selalu dijalankan
dengan keras. Maka, sesudah Sioe-co Tat mo-tong mangeluarkan perintah untuk
menangkap Thio Koen Po, biarpun tahu tak bisa menyandak, semua murid Tat
mo-tong lantas saja mengubar. Dalam pengejaran itu, terlihatlah siapa yang
berkepandaian lebih rendah dan mengentengkan badannya masih agak cetek, lantas
saja ketinggalan dibelakang. Sesudah siang terganti malam, hanya lima orang saja yang
masih mengejar terus. Tiba2 jalanan terpecah jadi beberapa cagak. Mereka jadi
bingung sebab tak tahu, jalanan mana yang diambil Kak wan. Demikianlah, mau tak
mau dengan masgul mereka kembali kekuil untuk mendengar perintah jauh.
Sesudah kabur seratus li lebih, barulah Kak wan
berani menghentikan tindakannya. Ternyata, ia sudah masuk kedalam sebuah gunung
yang sepi. Meskipun memiliki Lweekang yang sangat tinggi, tapi sesudah lari
begitu lama dengan pikulan yang begitu berat, ia tidak bertenaga lagi,
Kwee Siang dan Koen Po
lanas saja melompat keluar dari tahang yang separuhnya masih penuh air. Mereka
basah kuyup dan sesudah mangalami kekagetan hebat, paras maka mereka masih
kelihatan pucat. “Soehoe,” kata Koen Po. “Kau mengaso dulu disisi, aku mau
pergi cari makanan”
Tapi dalam gunung yang sepi, dimana ia mancari
makanan? Sesudah pergi beberapa jam, ia kembali dengan hanya membawa buah
buahan hutan. Sesudah menangsal perut mereka mengaso dengan menyender dibatu2.
“Toahweeshio,” kata Kwee Siang. “Para
pendata Siauw lim-sie kelihatannya aneh-aneh.”
Kak wan tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan suara
“hemm”
“Benar2 gila,” kata pula si nona. “Dalam kuil itu
tak seorangpun yang bisa melawan Koen loen Sam seng Ho Ciok Too, yang hanya
dapat dipukul mundur dengan mengandalkan tenaga kalian berdua. Tapi sebaliknya
dari berterima kasih, mereka berbalik mau menangkap saudara Thio. Benar2 gila!
Mereka agaknya tak bisa membedakan yang mana hitam, yang mana putih.”
Kak wan menghela napas. “Dalam hal ini kita tidak
dapat menyalahkan Loo hong thie dan Boe siang soeheng” katanya. “Dalam Siauw
lim sie terdapat sebuah peraturan . .. ” Ia tak bisa meneruskan perkataannya
karena lantas batuk tak henti2nya.
“Toahweeshia, kau terlalu letih” kata Kwee Siang
seraya me-mukul2 punggung sipendeta “Besok saja baru kau ceritakan
.”
Kak wan menghela napas, “Benar aku terlalu capai.” katanya.
.”
Kak wan menghela napas, “Benar aku terlalu capai.” katanya.
Thio Koen Po segera mengumpulkan cabang kering dan
membuat perapian untuk mengeringkan pakaian Kwee Siang dan pakaian nya sendiri.
Sesudah itu mereka bertiga lalu tidur dibawah satu pohon besar.
Ditengah malam sinona tersadar. Tiba2 ia medengar
Kak wan bicara seorang diri, seperti juga sedang menghafat kitab suci. Antara
lain ia berkata: “… Tenang dia merintangi kulit dan buluku, niatku sudah masuk
ketulang dia. Dan tangan saling bartahan. Hawa menembus. Yang dikiri berat,
yang pikiran kosong, sedang yang dikanan sudah pergi. Yang kanan berat, yang
kanan kosong, yang kiri sudah pergi . . . “
Sekarang Kwee Siang mendapat kepastian, bahwa apa
yang dihafal si pendeta adalah kitab ilmu silat .
“Toahweahsio tidak mengerti ilmu silat, tapi ia seorang kutu buku yang membaca dan menghafal segala apa yang dihadapinya,” katanya didalam hati. “Beberapa tahun berselang, dalam pertempuran pertama dipuncak Hwa san. la telah memberitahukan, bahwa disamping kitab Leng keh keng, Tat mo Loo couw juga menulis sebuah kitab iImu silat yaag dinamakan Kioe yang Cin keng. Ia mengatakan bahwa pelajaran dalam kitab itu dapat menguatkan dan menyehatkan badan. Tapi sesudan berlatih menurut petunjuk2 kitab itu, tanpa marasa guru dan murid itu sudah memanjat tingkatan yang sangat tinggi dalam dunia persilatan. Hari itu, waktu diserang olah musuhnya Siauw Siang Coe, dengan sekali membalas saja, ia berhasil melukakan penyerangnya. Kepandaian yang setinggi itu belum tentu dimiliki Thia-thia atau Toakoko. Cara Thio Koen Po merobohkan Ho Ciok Too lebih2 mengagumkan. Apakah itu semua bukan berkat pelajaran Kioe yang Cin keng? Apakah yang barusan dijajalnya bukan Kioe yang Cin keng?”
“Toahweahsio tidak mengerti ilmu silat, tapi ia seorang kutu buku yang membaca dan menghafal segala apa yang dihadapinya,” katanya didalam hati. “Beberapa tahun berselang, dalam pertempuran pertama dipuncak Hwa san. la telah memberitahukan, bahwa disamping kitab Leng keh keng, Tat mo Loo couw juga menulis sebuah kitab iImu silat yaag dinamakan Kioe yang Cin keng. Ia mengatakan bahwa pelajaran dalam kitab itu dapat menguatkan dan menyehatkan badan. Tapi sesudan berlatih menurut petunjuk2 kitab itu, tanpa marasa guru dan murid itu sudah memanjat tingkatan yang sangat tinggi dalam dunia persilatan. Hari itu, waktu diserang olah musuhnya Siauw Siang Coe, dengan sekali membalas saja, ia berhasil melukakan penyerangnya. Kepandaian yang setinggi itu belum tentu dimiliki Thia-thia atau Toakoko. Cara Thio Koen Po merobohkan Ho Ciok Too lebih2 mengagumkan. Apakah itu semua bukan berkat pelajaran Kioe yang Cin keng? Apakah yang barusan dijajalnya bukan Kioe yang Cin keng?”
Mengingat begitu, perlahan-lahan supaya tidak
mengagetkan sipendeta, ia bangun dan duduk. Ia memasang kuping terang terang
dan mengingat ingat apa yang di katakan Kakwan “Kalau benar apa yang dihafal
Toa hwe shio adalah Cioe yang Cin keng, aku tentu tidak bisa menyelami artinya
dalam tempo cepat, pikirnya. “Biarlah besok aka minta petunjuknya.”
Sesaat kemudian, Kak wan berkata kata pula: “…
Lebih dulu dengan menggunakan hati memerintahkan badan, mengikuti orang lain,
tidak mengikuti kemauan sendiri. Belakangan badan bisa mengikuti kemauan hati.
Menurut kemauan hati dengan tetap mengikuti orang. Mengikuti kemauan sendiri
artinya mandek, mengikuti orang lain artinya hidup. Dengan mengikuti kemauan
orang lain, kita bisa mengukur besar kecilnya tenaga orang itu, bisa mengenal
panjang pendeknya lawan. Dengan adanya pengetahuan itu, bisa maju dan bisa
mundur dengan leluasa.”
Mendengar sampai di situ. Kwee Siang menggeleng2kan
kepala. “Tak benar, tak benar.” katanya didalam hati. “Ayah dan ibu sering
mengatakan, bahwa jika berhadapan dengan lawan kita harus lebih dulu mengusai
lawan dan sangat sampai diri kita kita dikuasai lawan. Apa yaag dikatakan Toa
hweshio tak benar.”
Selagi sinona memikir perkataan Kak wan, si pendeta
sudah berkata lagi. “Lawan tidak bergerak, kita tidak bergerak. Lawan bergerak
sedikit, kita mendului. Tenaga seperti juga longgar, tapi tidak longgar, hampir
dikeluarkan, tapi belum dikeluarkan. Tenaga putus, pikiran putus…..”
Semakin mendengari Kwee Siang jadi semakin bingung.
Semenjak kecil, ia telah dididik bahwa “orang yang bergerak lebih dulu mengusai
lawan, sedang yang terlambat gerakannya dikuasai lawan. Dengan lain perkataan,
pokok dasari lmu silatnya yalah ‘mendului lawan’. Tapi Kak wan mengatakan,
bahwa mengikuti kemauan sendiri artinya mandek, mengikuti kemauan orang lain
artinya hidup. Dan itu semua adalah sangat bertentangan dengan apa yang telah
dipelajarinya.
“Jika aku berhadapan dengan musuh dan pada saat penting, aku mengikuti kemauan musuh2 mau ketimur aku ketimur musuh mau kebarat aku kebarat bukankah demikian, aku seolah olah cari penggebak sendiri?” kata nya di dalam hati.
“Jika aku berhadapan dengan musuh dan pada saat penting, aku mengikuti kemauan musuh2 mau ketimur aku ketimur musuh mau kebarat aku kebarat bukankah demikian, aku seolah olah cari penggebak sendiri?” kata nya di dalam hati.
Ilmu silat yg berpokok dasar. “Menguasai lawan
dengan bergerak belakangan” baru dihargai orang pada jaman kerajaan Beng, pada
jaman makmurnya partai Boe ciang pay. Maka dapatlah di mengerti, bahwa di waktu
itu buntut kerajaan Song perkataan Kak wan membingungkan sangat hatinya Kwee
Siang.
Dengan adanya kesangsian itu, banyak perkataan si
pendeta tidak dapat ditangkap Kwee Siang. Ketika melirik, ia lihat Thio Koen Po
sedang bersila dan mendengari perkataan gurunya dengan sepenuh perhatian.
“Biarlah, tak perduli ia benar atau salah, aku mendengari saja,” pikirnya.
“Dengan mataku sendiri, aku menyaksikan Toa hwashio melukakan Siauw Siang Coe
dan mengusir Ho Ciok Too. Sebagai orang yang memiliki kepandaian begitu tinggi,
apa yang dikatakannya tentu mempunyai alasan kuat.” Memikir begitu, ia lantas
saja memusatkan pikirannya dan mendengari setiap perkataan yang diucapkan si
pendeta.
Kak wan menghafal terus dan kadang2 dalam kata2nya
terselip bagian2 dari kitab Leng-ka-keng. Hal ini sudah terjadi karena Kioe
Yang Cin ken sebenarnya ditulis diantara huruf2 kitab Leng-ka-keng, sehingga si
pendeta, yang sifatnya agak tolol, dalam menghafal Kioe-yan Cin keng, sudah
menyelipkan kata2 dari kitab itu. Tentu saja Kwee Siang jadi makin bingung.
Tapi berkat kecerdasan otaknya, ia berhasil juga menangkap sebagian dari apa
yahg didengarnya.
Rembulan mendoyong kebarat dan makin lama suara
sipendeta jadi makin perlahan. “Teahweeshio” kata si nona dengan suara
membujuk. “Kau sudah sangat capai, tidurlah lagi”
Tapi Kak wan sepzrti juga tidak mendengarnya dan
berkata pula dengan suara terlebih keras.
” …Tenaga dipinjam dari orang. Hawa dikeluarkan
dari tulang punggung. Dari kedua pundak masuk di tulang punggung dan berkumpul
di pinggang. Inilah hawa yang dari atas turun kebawah dan dinamakan “Hap”
(MenutuP). Kemudian, dari pinggang hawa itu naik ketulang punggung dan dari
tulang punggung meluas sampai di lengan dan bahu tangan. Inilah hawa yang naik
dari bawah keatas dan dinamakan “Kay” (Membuka). “Hap” berarti mengumpulkan,
sedang “Kay” berarti melepaskan. Siapa yang Paham akan artinya “Hap” dan “Kay”
akan mengerti juga artinya Im-Yang (negatif dan positif). . . .”
Suaranya semakin perlahan dan akhirnya tidak
terdengar lagi, seperti orang sudah pulas. Kwee Siang dan Thio Koen Po tidak
berani mengganggu dan hanya mengingat apa yang barusan didengar.
Tak lama kemudian, bintang2 mulia menghilang,
rembulan menyilam kebarat dan sesudah cuaca berubah gelap untuk kira2 semakanan
nasi, disebelah timur mulai kelihatan sinar terang.
Kak wan masih tetap bersila sambil meramkan kedua
matanya, sedang badannya tidak bergerak dan pada bibirnya tersungging satu
senyuman. “Kwee Kauwnio, apa kau tidak lapar?” bisik Koen Po. “Aku mau pergi
sebentaran untuk cari bebuahan. Ketika menengok, tiba2 ia lihat berkelebatnya
satu bayangan manusia dibelakang pohon dan samar2, orang itu seperti juga
mengenakan jubah petapaan warna kuning. Ia tersiap dan membentak: “Siapa ?”
Seorang pendeta tua yang bertubuh jangkung muncul dari belakang pohon dan
pendeta itu bukan lain daripada pemimpin Lo han tong, Boe sek Siansoe.
Kwee Siang kaget tercampur girang. “Toahweeshio,”
tegurnya. “Mengapa kau terus membuntut? Apakah kau mau menangkap juga guru dan
murid ini ?”
“Biar bagaimana juga, loo ceng (aku sipendeta tua)
masih bisa melihat apa yang benar dan apa yang salah,” jawabnya dengan paras
muka sungguh2. “Aku bukan seorang yang tak tau peraturan. Sudah lama sekali loo
ceng tiba disili dan jika mau turuh tangan, loo ceng tentu tidak menunggu
sampai sekarang. Kak wan soeteee, Boe siang Sian
soe dan murid2 “Tat mo tong mengejar kejurusan timur. Lekas kalian lari
kesebelah barat.”
Tapi pendeta itu terus bersila dan sedikit pun tidak
bergerak. Koen Po mendekati seraya memanggil. “Soe hoe, bangunlah ! Lo han tong
Sioe co ingin bicara denganmu.”
Kak wan bersila terus. Dengan jantung memukul
keras, Koen Po menyentuh pipi gurunya yang dingin bagaikan es. Ternyata, Kak
wan sudah meniggalkan dunia yang fana ini.
Simurid munubruk dan memeluk gurunya sambil
mengeluarkan teriakan menyayat hati. “Soehoe ! Soehoe !” teriaknya sambil
menangis tersedu-sedu.
Boe sek Siauseo merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara perlahan : “dilangit tak ada awan, ditempat penjuru terang benderang angin membawa bau harum, seluruh gunung sunyi senyap. Hari ini bertemu dengan kegirangan besar. Bebas dari bahaya dan bebas pula dari segala penderitaan. Apa tak pantas untuk diberi selamat ?” Sehabis berdoa, orang beribadat itu segera berlalu tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi.
Boe sek Siauseo merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara perlahan : “dilangit tak ada awan, ditempat penjuru terang benderang angin membawa bau harum, seluruh gunung sunyi senyap. Hari ini bertemu dengan kegirangan besar. Bebas dari bahaya dan bebas pula dari segala penderitaan. Apa tak pantas untuk diberi selamat ?” Sehabis berdoa, orang beribadat itu segera berlalu tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi.
Bukan saja Koen Po
tapi Kwee Siangpun mengucurkan tidak sedikit air mata. Sesuai dengan agama
mereka jenazah semua pendata Siauw lim sie yang meninggal dunia diperabukan.
Maka itu mereka lalu mengumpulkan kayu dan cabang2 kering dan kemudian membakar
jenazah Kak wan.
Sesudah bares, Kwee Siang berkata dengan suara
terharu. “Saudara Thio, kurasa pendeta2 Siauw lim sie akan terus berusaha untuk
menangkap kau. Maka itu kau harus berlaku hati-hati. Disini saja kita
berpisahan dan di hari kemudian, kita tentu akan mendapat ke sempatan untuk
bertemu lagi.”
“Air mata sipemuda itu mengalir turun kedua
pipinya. “Kwee Kouwnio katanya dengan suara parau.” Kemana saja kau pergi, aku
mau mengikut.”
Mendengar jawaban itu, sinona merasa pilu bukan
main dan ia berkata dengan suara gemetar. “Aku adalah orang yang tengah
menjelajah dunia dan aku sendiripun tak tahu kemana aka bakal menuju.” Ia
berdiam sejenak dan lula berkata pula. “Saudara Thio berusia sangat muda dan
tak punya pengalaman dalam dunia Kang ouw, disamping itu pendata pendeta Siauw
lim sie tentu bakal terus menerus manguber kau. Begini saja.” Seraya berkata
begitu, ia meloloskan gelang emas dari pergelangan tangannya dan lalu
menyerahkannya kepada pamuda itu. “Bawahlah gelang ini kekota Siang yang dan
minta bertemu dengan ayah ibuku,” katanya lagi. “Mereka pasti akan
memperlakukan kau dengan baik. Begitu lantas kau sudah barada dibawah
perlindungan kedua orang tuaku para pendata Siauw lim sia pasti tak akan
menyukarkan kaulagi.” Dengan air mata berlinang linang, Koen Pa
menyambuti gelang mas itu.
Sesaat kemudian Kwee Siang berkata pula dengan
suara gerak. “Beritahukanlah kedua orang tuaku, bahwa aku tak kurang suatu
apapun dan aku harap mereka tidak memikiri diriku. Ayahku paling suka dengan
pemuda yang gagah dan sesudah bertemu dengan kau mungkin sekali ia akan
mengambil kau sebagai murid. Adikku sederhana dan polos dan aku merasa pasti ia
bisa bergaul rapat denganmu. Hanya Ciecieku yang agak sombong dan jika kalau
ada orang yang punya salah sedikit saja, ia lalu menyemprotnya tanpa
sungkan2lagi. Tapi asal kau bisa mengalah, kurasa tak bakal terjadi apa-apa
yaag tidak diingini.” Sehabis berkata ia memutar badan dan terus berjalan
pergi.
Dapat dibayangkan bagaimana besar kedukaan Thio
Koen Po pada waktu itu. Dengan berlalunya Kwee Siang ia betul merasa, bahwa ia
hidup sebatang kara dalam dunia yang leba. Lama, lama sekali ia berdiri bengong
didepan tumpukan sisa kayu dan abu bekas membakar guranya. Sesudah kenyang
memeras air mata, perlahan-lahan, dengan hati seperti diris-iris, ia berjalan
pergi. Tapi baru saja belasan tombak, ia kembali lagi dan lalu mengambil
pukulan serta sepasang tahang besi, peninggalan mendiang gurunya. Sesudah itu,
barulah ia meninggalkan tempat itu dengan tindakan lumbung, dengan kesepian dan
dengan kedukaan besar.
Berselang kurang lebih setengah bulan, ia tiba
didaerah Ouwpak dan sudah tak jauh lagi dari kota Siang yang. Untung juga, berkat
pertolongan Boe sek Siang soe, dalam perjalanan itu ia tidak bertemu dengan
pengejar pengejarnya.
Hari itu, diwaktu lohor, ia berada dikaki sebuah
gunung yang besar. Waktu tanya seorang dusun, baru ia tahu, bahwa gunung itu
guanung Boe tong atau Boe tong san, yang bukan saja besar dan angker, dengan
hutan2 lebat serta tebing2 curam, tapi juga sangat indah pemandangan alamnya.
Selagi enak berjalan sambil memandang keindahan
alam, tiba2 ia dilewati oleh dua orang pemuda dan pemudi dusun yang berjalan
sambil berendeng pundak. Dilihat gerak geriknya tak bisa salah lagi mereka
suami istri.
Dengan kupingnya yang sangat tajam, Koen po dapat
menangkap perkataan si isteri yang sedang ngomeli suaminya. “Kau satu laki2
sejati, tapi sebaliknya dari mendirikan rumah tangga dengan tenaga sendiri, kau
selalu mengandal kepada Ciecie dan Ciehoemu, sehingga akhirnya kau dihina. Kita
berdua masih punya tangan dan kaki dan kita pasti bisa cari makan sendiri.
Andaikata kita mesti hidup miskin dengan menanam sayur, tapi kita hidup dengan
merdeka. Kau lelaki yang tak punya tulang punggung dan sungguh percuma kau
hidup dalam dunia. Orang sering kata, kecuali mati, tak ada urusan besar. Apa
kau tidak bisa hidup tanpa mengadai kepada orang lain?”
Sang suami tak berani menjawab mukanya berwarna
ungu, seperti juga hati babi. Tanpa disengaja, perkataan wanita itu mengenakan
jantung ati Koen Po. “Kau satu laki2 sejati, tapi sebaliknya dari mendirikan
rumah tangga dengan tenaga sendiri, kau selalu mengandal pada Cieciee dan
Ciehoemu, sehingga akhirnya kau dihina. Apa kau tidak bisa hidup tanpa
mnegandal kepada orang lain?” Ia berdiri terlongong memikir kata2 itu. Dilain
saat, sang suami mengucapkan bebera perkataan yang tidak dapat didengar oleh
nya. Sesudah itu, mereka tertawa berkakakan. Rupanya silelaki sudah mengambil putusan
untuk berdiri sendiri dan isterinya jadi girang sekali.
“Kwee Kouwhio mengatakan, bahwa Cie-cie nya beradat
jelek dan biasa menyemprot orang tanpa sungkan? sehingga aku harus selalu
mengalah,” pikirnya. “Aku adalah seorang laki2 sejati, perlu apa aku mesti
menunduk begitu rupa didepan orang hanya untuk bisa hidup dengan selamat? Kedua
suami istri dusun itu masih mempunyai semangat untuk berdiri diatas kaki
sendiri. Masa aku, Thio Koen Po, mesti selalu bernaung dibawah atas orang dan
hidup dengan memperhatikan sorot mata tuan rumah?”
Sesudah berpikir beberapa lama, ia segera mengambil
putusan gagah. Dengan memikul kedua tahang besi, ia segera mendaki Boe tong
san. Mulai waktu itu, ia minum air gunung makan buah2an dan melatih diri
berdasarkan Kioe yang Ci keng yang didapat dari gurunya. Berkat kecerdasan dan
juga karena apa
yang dipelajari ialah sebuah kitab luar biasa dalam dunia persilatan, maka dalam tempo belasan tahun Lweekangnya sudah mencapai tingkatan tinggi. Pada suatu hari, selagi jalan2 digunung itu, ia menyaksikan pertarungan sengit antara seekor ular dan seekor burung. Dengan segala kegesitannya burung itu meyerang dari berbagai jurusan, tapi ia masih kalah setingkat dari ular itu, hingga akhirnya dia terpaksa melarikan diri. Tiba2 saja Koen Po mendapat serupa ingatan dan tujuh malam, ia merenungkan ingatan itu dalam guha. Mendadak ia tersadar, kedua matanya, seolah menembus suatu tabir rahasia. Ia sekarang dapat memahami suatu pokok dasar yang luar biasa dalam dunia persilatan, yaitu: Dengan “Joe” (kelembekan) melawan “Kong” (kekerasan).
yang dipelajari ialah sebuah kitab luar biasa dalam dunia persilatan, maka dalam tempo belasan tahun Lweekangnya sudah mencapai tingkatan tinggi. Pada suatu hari, selagi jalan2 digunung itu, ia menyaksikan pertarungan sengit antara seekor ular dan seekor burung. Dengan segala kegesitannya burung itu meyerang dari berbagai jurusan, tapi ia masih kalah setingkat dari ular itu, hingga akhirnya dia terpaksa melarikan diri. Tiba2 saja Koen Po mendapat serupa ingatan dan tujuh malam, ia merenungkan ingatan itu dalam guha. Mendadak ia tersadar, kedua matanya, seolah menembus suatu tabir rahasia. Ia sekarang dapat memahami suatu pokok dasar yang luar biasa dalam dunia persilatan, yaitu: Dengan “Joe” (kelembekan) melawan “Kong” (kekerasan).
Tanpa merasa ia dongak dan tertawa terbahak-bahak.
Tertawa kegirangan itu berarti muncul sutiu Tay
cong soe (guru besar) baru dalam Rimba persilatan. Dan ilmu yang didapatnya
sendiri, digabung dengan Lweekang berdasarkan Kioe yang Cin keng, ia telah
menggubah semacam ilmu silat yang belakangan dikenal sebagai
ilmu silat Boe tong sedang muridnya telah bersatu dalam suatu “partai” persilatan baru yang dinamakan Boe tong pay. Sesudah lewat lagi sekian tahun, pada waktu berkelana di Tiongkok Urara, ia telah bertemu dengan tiga puncak gunung (Sam Hong) yang luar biasa dan oleh karenanya ia lalu menggunakan gelar Sam Hong untuk dirinya sendiri dan luar biasa dalam sejarah persilatan di Tiongkok.
ilmu silat Boe tong sedang muridnya telah bersatu dalam suatu “partai” persilatan baru yang dinamakan Boe tong pay. Sesudah lewat lagi sekian tahun, pada waktu berkelana di Tiongkok Urara, ia telah bertemu dengan tiga puncak gunung (Sam Hong) yang luar biasa dan oleh karenanya ia lalu menggunakan gelar Sam Hong untuk dirinya sendiri dan luar biasa dalam sejarah persilatan di Tiongkok.
Bagaimana dengan Kwee Siang? Puluhan tahun lamanya,
sinoana berkelana diempat penjuru untuk mencari Yo Ko dan Siauw Liong Lie. Demi
kecintaan yang suci murni dari muda sampai tua ia men-cari2 tanpa rasa menyesal
sedikitpun juga. Tapi Yo Ko dan Siauw Liong Lie telah melenyapkan diri dan tak
muncul lagi dalam dunia pergaulan. Waktu mencapai usia enampuluh tahun, tiba2
Kwee Siang terbuka matanya dan ia tersadar, akan kemudian mencukur rambut dan
hidup sebagai pendeta perempuan dipuncak gunung Go bie san. Disitulah, dengan
tekun ia melatih diri dam mempelajari ilmu silat,sehingga kian lama
kepandaiannya jadi kian tinggi. Belakangan ia juga menerima murid dan serta
cucu muridnya mempersatukan diri kedalam satu partai persilatan yang dikenal
kedalam partai persilatan yang dikenal sebagai Go bie pay.
Dilain pihak, sesudah menderita kekalahan didepan
kuil SiauW lim, Koen Loen Sam Seng Ho Ciok Too pulang kedaerah barat dan
sesusai dengan sumpahnya selama hidup ia tak pernah menginjak lagi wilayah
Tiong Goan. Sesudah berusia lanjut, barulah ia mengambil seorang murid yang
mewarisi seni memetik Khim, ilmu main catur, dan ilmu silat pedangnya. Itulah
sebabnya mengapa, walau pun bersumber didaerah Barat yang jauh, akan tetapi
murid2 Koen-loen-pay rata rata boen
boecoan cay (mahir dalam ilmu surat dan dan ilmu pedang).
boecoan cay (mahir dalam ilmu surat dan dan ilmu pedang).
Dikemudian hari, partai rimba persilatan yang
paling tersohor ialah Siauw Lim, Boe tong, Go bie dan Koen loen. Dalam keempat
partai tersebut banyak sekali orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi,
Pada hari itu, waktu Kak wan Taysoe menghafal Kioe
yang Cin keng, sebelum ia meninggal dunia ada tiga orang yang mendengarnya
yaitu Boe sek Siansoe, Kwee Siang dan Thio Koen Po. Oleh karena pengetahuan
padat dan kecerdasan ketiga orang itu berbeda-beda maka apa yang didapati
merekapun berbeda-beda pula. Dengan begitu pelajaran ilmu silat Siauw lim Go
bie dan Boe tong banyak sekali perbedaanya dan sedikit persamaanya.
Kwee Siang adalah putri ahli2 silat kelas utama dan
pelajarannyapun beraneka warna. Maka itu ilmu silat Go bie banyak sekali corak
ragamnya dan satu saja dapat dipahami sampai kedasar2nya, sudah cukup untuk
membuat orang itu mendapat nama besar.
Mengenai Boe sek Siansoe, pada waktu mendengari
Kioe yang Cin keng, ia sendiri memang sudah menjadi seorang ahli kenamaan.
Didapatinya Kioe yang Cin keng hanyalah mempertiggi kepandaiannya, tapi pada
dasar pokoknya ia tidak menarik keuntungan apapun juga.
Diantara ketiga orang itu, yang menarik ke untungan
paling banyak ialah Thio Koen Po. Pada waktu itu, kecuali empat jurus ilmu silat
yang ia dapat dari Yo Ko dan beberapa macam pukulan Lo han koen, belum pernah
ia belajar ilmu silat. Maka itu ia telah menarik pelajaran2 yang paling murni
dari kitab Kioe yang Cin keng. Akan tetapi, oleh karena ia memang tidak pernah
belajar dibawah pimpinan guru yang pandai, maka ia kekurangan dasar2 ilmu
silat, sehingga banyak sekali bagian Kioe yang Cin keng yang tidak begitu
dimengerti olehnya. Belakangan, sesudah mempelajari pertarungan antara ular dan
burung, barulah ia tersadar akan seluk beluknya iimu silat. Akan tetapi
kejadian itu telah lama dilupakan, sehingga banyak bagian dalam kitab Kioe yang
Cin keng sudan
tidak diingat lagi olehnya.
Dengan demikian ilmu silat Siauw Lim, Boe tong dan
Go bie masing2 mempunyai keunggulan sendiri2 dan kekurangannya2. Ketiga guru
besar partai partai itu sama-sama memetik bagian-bagian dari Kioe yang Cin keng
dan berdasarkan bakat serta kecerdasan masing-masing, mereka mempelajari,
memperbaiki dan lalu menggubah imu-ilmu silat yang luar biasa.
Sebagaimana diketahui kerajaan Goan adalah kerajaan
bangsa Mongol yang berkuasa di Tiongkok. Selama jaman penjajahan itu, ilmu surat tidak lagi begitu
diperhatikan lagi, karena para penyinta negeri ber-lomba2 belajar ilmu silat.
Pada jaman itu, dalam dunia Kang ouw banyak muncul orang2 luar
biasa yang berkepandaian luar biasa pula. Jumlah mereka lebih besar dan kepandaian mereka lebih tinggi dari pada orang2 dijaman buntutnya kerajaan Song, yaitu pada jaman Kwee Ceng, Oey Yong, Yo Ko, Siauw-Liong Lie pay sebagainya. Orang2 gagah yg muncul didaerah Barat kebanyakan murid2 dari Koen-loen-pay, sedang jago2 di wilayah Tiong goan, sebagian besar adalah orang2 Siauw-Lim, Boe-tong dan Go-bie. Disamping itu, masih ada ratusan malahan ribuan partai partai lain yang lebih kecil. Demikianlah sedikit pendahuluan dari kisah Membunuh Naga atau Ie-thian To-liong-kie.
biasa yang berkepandaian luar biasa pula. Jumlah mereka lebih besar dan kepandaian mereka lebih tinggi dari pada orang2 dijaman buntutnya kerajaan Song, yaitu pada jaman Kwee Ceng, Oey Yong, Yo Ko, Siauw-Liong Lie pay sebagainya. Orang2 gagah yg muncul didaerah Barat kebanyakan murid2 dari Koen-loen-pay, sedang jago2 di wilayah Tiong goan, sebagian besar adalah orang2 Siauw-Lim, Boe-tong dan Go-bie. Disamping itu, masih ada ratusan malahan ribuan partai partai lain yang lebih kecil. Demikianlah sedikit pendahuluan dari kisah Membunuh Naga atau Ie-thian To-liong-kie.
TAHUN itu adalah tahun kedua dari Kaizar
Goan-soen-tee. Robohnya Kerajaan Song sudah genap enam puluh tahun.
Waktu itu bulan Shagwee (Bulan Ketiga) Cong soe
(orang gagah) yang berusia kira kira tigapuluh tahun, mengenakan baju biru itu
dan pakai sepatu rumput, kelihatan berjalan di jalan raya dengan tindakan
lebar. Di kedua pinggir jalanan itu, buah tho yang merah dan pohon Hoe yang
hijau memperlihat kan
keindahannya, tapi orang itu tidak memperhatikan sedikitpun jua.
“Hari ini Shagwee Jie Tie ( Bulan Ketiga tanggal
24)” katanya didalam hati. “Sampai Sie gwee Ceekauw (Bulan Keempat tanggal 9 )
masih ada empat belas hari. Dengan tidak mem-buang2 tempo barulah aku bisa tiba
pada waktunya di Giok-hie-kiong, Boetong-san untuk memberi selamat ulang tahun
ke sembilan puluh pada In-soe (guru).”
Orang gagah itu she Jie, bernama Thay Giam, murid
ketiga dari Thio Sam Hong (Thio Koen Po), Couw soe Boe-tong-pay. Sesudah
berusia tujuh puluh tahun, ialah sesudah ilmu silatnya mencapai tingkatan
sangat tinggi, barulah Thio Sam Hong menerima murid. Maka itu biarpun sendiri
sudah berusia sembilan puluh tahun, tapi tujuh muridnya masih muda. Murid
kepala, Song Wan Kiauw belum cukup empat puluh lahun. Sedang murid yang paling
kecil, Boh Kok Seng,baru berusia belasan tahun.
Tapi meskipun begitu, meskipun murid2 itu masih
berusia muda, mereka sudah melakukan pekerjaan2 yang menggemparkan dunia Kang
ouw. Kalau menyebutkan nama mereka, orang2 Rimba Persilatan selalu mengacungkan
jempol. Boe-tong Cit-hiap ( Tujuh Pendaikar dari Boe tong) adalah pendekar2
dari sebuah partai yang lurus bersih.” kata mereka
Pada permulaan tahun itu, Jie Thay Giam mendapat
titan gurunya untuk pergi ke propinsi Hokkian guna membinasakan seorang
penjahat besar yang sangat menindas rakyat jelata. Penjahat itu bukan saja
berkepandaian tinggi, tapi juga licin luar biasa. Sesudah menyelidiki dua bulan
lebih, barulah ia berhasil mencari sarang penjhat itu, yang lalu ditantang
olehnya. Dalam pertempuran yang sangat hebat, ia telah membinasakan musuh nya
dangan pukulan kesebelas dari Thay kek koen Hian-hian Tohoat. Manurut
perhitungan, ia bisa menyelesaikan tugasnya dalam tempo sepuluh hari, tapi
diluar dugaan ia memerlukan waktu lebih dari dua bulan. Saat manghitung2, hari
ulang tahun kesembilan puluh gurunya ternyata sudah dekat sekali sehingga oleh
karenanya, ia buru2 berangkat pulang dari kota
Lang lam.
Makin lama jalannya jadi makin sempit dan sisi
kanan jalanan itu berdampingan dengan pantai laut. Tiba2 ia lihat tanah datar
yang licin mengkilap bagaikan kaca dan dibagi jadi petakan2 yang luasnya
kira-kira 7-8 tombak persegi. Sebagai orang yang sering berkelana disebelah
selatan dan utara Sungai besar, Thay Giam mempunyai banyak pengalaman, tapi
belum pernah ia melihat tanah yang begitu luar biasa. Sesudah menanya seorang
penduduk pribumi, baru ia tahu, bahwa petakan2 itu bukan lain daripada sawah
garam Untuk membuat garam, penduduk disitu memasukkan air laut kedalam sawah
tersebut. Setelah kering, mereka keruk tanah yang mengandung garam yang
kemudian dimasak dan dijemur lagi sampai menjadi garam yang putih bersih.
“Sudah tigapuluh tahun aku makan garam, tapi baru
sekarang kutahu bagaimana sukarnya membuat garam,” katanya didalam hati.
Selagi enak berjalan, se,-konyong2 ia melihat 30
orang lebih yang deagan memikul piKulan, mendatangi dengau cepat dari jalanan
Kecil disebelah barat. Mereka itu mengenakan pakaian seragam baja dan celana
pendek warna hijau, dan kepala mereka ditutup dengan tudung lebar. Sekelebatan
saja, ia bisa menebak, bahwa isi pikulan itu ialah garam.
Ia tahu, bahwa pembesar disepanjang pantai biasanya
sangat kejam dan rakus dan biasa memungut bea Cukai garam yang sangat berat.
Maka itu, walaupun bertempat tinggal ditepi lautan, rakyat tidak kuat makan
garam resmi, dan terpaksa membeli garam gelap. Dilihat potongan badan dan
gerakan orang2 itu hampir boleh dipastikan, bahwa apa yang diangkat mereka
adalah garam gelap. Hal ini sedikitpun tak mengherankan. Yang mengherankan
adalah pikulan mereka. Setiap pikulan bukan bambu dan juga bukan kayu berwarna
hitam dan tak mempunyai sifat melenting (membal), sehingga bisa diduga, bahwa
pemikul2 itu terbuat dari besi. Apa yang lebih mengherankan lagi, ialah,
walaupun saban orang mikul barang yang beratnya tak kurang dari tigaratus kati,
tapi tindakan mereka cepat luar biasa, seolah tidak menginjak tanah dan dalam
sekejap mereka sudah melewati Jie Thay Giam.
“Kawanan pengusaha garam gelap ini memang juga
terdiri dari jago2,” katanya dida lam hati. “Sudah lama aku dengar, bahWa Hay
see pay (Partei Pasir laut) di Kanglam yang jual bell garam gelap, mempunyai
pengaruh yang sangat besar dan anggauta yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi,
adalah sangat luar biasa, jika duapuluh lebih ahli silat beramai-ramai memikul
garam.°
Jie Thay Giam adalah seorang yang gemar menyelidiki
hal2 aneh. Diwaktu biasa, ia tentu akan mencari tahu kejadian yang luar biasa
itu. Tapi Sekarang , mengingat hari ulang tahun gurunya, ia sungkan membuang
tempo dan sambil mengempos, ia lalu menyusul dan melewati pemikul2 garam itu,
yang jadi heran melihat tindakan Jie Thay Clam yang begitu enteng.
Lewat magrib Jie Thay Giam tiba diSebuah kota kecil dan dari keterangan seorang penduduk, ia
mengetahui, bahwa kota
itu adalah Am tong tin dalam wilayah Cie yauw koan. Dari situ, sesudan
menyeberang sungai Cian tong kang ia akan tiba di Lim an dan dengan membelok
kejurusan barat laut, sesudan melewati propinsi Kang say dan Ouw lam, barulah
ia tiba di Boe-tong. Malam itu, karena tak ada perahu untuk menyeberang sungai,
ia terpaksa menginap disebelah rumah penginapan kecil di Am tong tin.
Sesudah makan malam, baru saja mencuci kaki untuk
naik keranjang, tiba2 ia dengar suara ribut-ribut dari sejumlah orang yang mau
menumpang nginap. Mendengar lidah Ciat kang timar dan suara yang nyaring luar
biasa, ia melongok keluar dan ternyata, bahwa orang2 itu bukan lain daripada
kawan pemikul garam yang ia bertemu tadi. Menurut kebiasaan, orang2 dari
perdagangan garam gelap adalah kaum kasar yang suka sekali minum arak dan makan
minum seperti setan kelaparan. Tapi berbeda dengan yang lain, mereka hanya
minta disediakan nasi, sayur-sayur dan tauw hu.
Sesudah bersantap, tanpa minum setetes arak, mereka lalu pergi tidur. Jie Thay Ciam sendiri lantas saja bersamadhi dan melatih lweekang untuk beberapa lama sesudah itu, ia segera merebahkan badan diatas pembaringan.
Sesudah bersantap, tanpa minum setetes arak, mereka lalu pergi tidur. Jie Thay Ciam sendiri lantas saja bersamadhi dan melatih lweekang untuk beberapa lama sesudah itu, ia segera merebahkan badan diatas pembaringan.
Kira2 tengah malam, dikamar sebelah sekonyong
konyong terdengar suara keresekan. Pada waktu itu, Jie Thay Giam sudah
menyelami ilnu silat Boe tong pay dan ia sudah mencapai tingkatan yang sangat
tinggi, sehingga, biarpun sedang pulas nyenyak, suara keresekan itu sudah cukup
untuk menyadarkannya.
Tiba2 ia dengar suara orang berbisik. “Perlahan2. Jangan mengageti tamu dikamar sebelah supaya tidak menimbulkan banyak urusan”. Pintu kamar dibuka per lahan lahan dan duapuluh orang lebih itu lantas keluar kedalam pekarangan penginepan. Jie Thay Giam mengitip dijendela. Sambil memikul pikulan, mereka semua keluar dangan melompati tembok, Walaupun tembok itu tidak tinggi, tapi bahwa mareka bisa melompatinya sambil memikul barang yang begitu berat, merupakan bukti, bahwa kepandaian mereka tak boleh di pandang enteng.
Tiba2 ia dengar suara orang berbisik. “Perlahan2. Jangan mengageti tamu dikamar sebelah supaya tidak menimbulkan banyak urusan”. Pintu kamar dibuka per lahan lahan dan duapuluh orang lebih itu lantas keluar kedalam pekarangan penginepan. Jie Thay Giam mengitip dijendela. Sambil memikul pikulan, mereka semua keluar dangan melompati tembok, Walaupun tembok itu tidak tinggi, tapi bahwa mareka bisa melompatinya sambil memikul barang yang begitu berat, merupakan bukti, bahwa kepandaian mereka tak boleh di pandang enteng.
“Ilmu Silat mereka belum bisa menandingi aku, tapi
dua puluh orang lebih yang rata2 memiliki kepandaian tinggi, bukan kejadian
yang sering ditemui,” kata Jia Thay Giam didalam hati. Untuk beberapa saat ia
berdiri bengong dengan perasaan sangsi. Kata2 orang itu “jangan mengageti tamu
dikamar sebelah supaya tidak menimbalkan banyak urusan?” sangat mengganggu
pikirannya. Jika ia tidak dengar perkataan itu, biarpun terbiasa, ia tentu
sungkan memperdulikan urusan orang.
Tapi kata2 itu sudah lantas membangunkan rasa
kesatriannya. “Kejahatan apa yang mau dilakukan mereka tanyanya didalam hati.
“Sesudah berpapasan denganku, tak bisa tidak aku mesti mencampuri. Jika aku bisa menolong satu dua orang, meskipun tidak keburu hadir dalam peringatan hari ulang tahun In-soe, In-soe tentu tak akan gusari aku.”
“Sesudah berpapasan denganku, tak bisa tidak aku mesti mencampuri. Jika aku bisa menolong satu dua orang, meskipun tidak keburu hadir dalam peringatan hari ulang tahun In-soe, In-soe tentu tak akan gusari aku.”
Jie Tay Giam sudah memikir begitu, olah karena setiap
kali menerima murid baru, paling dulu Thio Sam Hong menasehati, bahwa sesudah
berhasil dalam mempelajari ilmu silat, si murid harus mengutamakan sifat2
kesatria dan selalu bersedia menolong sesama manusia yang memerlukan
pertolongan. Itulah sebabnya mengapa nama Boe-tong Cit-hiap tersohor bukan
main. Mereka tersohor bukan saja sebab berkepandaian tinggi, tapi juga sebab
sepak terjangnya sangat mulia.
Demikianlah, pada saat itu, dengan mengingat nasehat gurunya, Jie Thay Giam segera menyoren golok dan membekal kantong senjata rahasia, akan kemudian melompat keluar dari jendela dan tembok.
Demikianlah, pada saat itu, dengan mengingat nasehat gurunya, Jie Thay Giam segera menyoren golok dan membekal kantong senjata rahasia, akan kemudian melompat keluar dari jendela dan tembok.
Begitu berada di luar rumah penginapan, ia dengar
suara tindakan kaki kejurusan timur laut. Buru2 ia mengempos semangat dan
mengejar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Malam itu malam tak berbintang, langit gelap
gulita, ditutup awan awan tebal. Melihat tindakan orang orang itu yang cepat
liar biasa, seolah olah mereka tidak merasakan tindihan pikulan yang sangat
berat, Jie Thay Giam jadi semakin heran. “Penjual garam gelap berjalan ditengah
malam buta adalah kejadian yang biasa saja,” pikirnya. “Apa yang luar biasa
adalah kepandaian orang2 itu. Dengan memiliki ilmu silat yang begitu tinggi,
kalau benar2 mereka mau berbuat jahat, jangankan merampok rumah hartawan,
sedangkan sekalipun menggarong gudang pemerintah, mereka masih dapat melakukan
tanpa bisa dicegah oleh opas2 atau tentara dikota ini. Mengapa mereka mau
memikul garam ditengah malam buta untuk mendapatkan keuntungan yang sangat
kecil? Tak bisa jadi. Dalam hal ini pasti terselip latar belakang yang luar
biasa.” Memikir begitu ia terus menguntit.
Berselang kurang lebih setengah jam, kawanan
penjual garam gelap itu sudah melalui dua puluh li lebih. Sedikipun mereka tak
merasa dibuntuti orang, karena ia berjalan dengan terburu-buru dan juga sebab
yang menguntit mempunyai ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi.
Tak lama kemudian, mereka tiba dijalanan yang
berdampingan dengan pantai laut dimana gelombang demi gelombang menerjang
ketepi dengan mengeluarkan suara keras.
Selagi enak berjalan, mendadak salah seorang yang
rupanya jadi pemimpin rombongan mengeluarkan seruan perlahan dan semua kawannya
segera menghentikan tindakan. “Siapa?” bentak si pemimpin.
“Apa sahabat2 dari Tiga Pinggir Air?” Balas tanya
seorang yang berada di tempat gelap.
“Benar, siapa tuan?” tanya pula si pemimpin.
Jie Thay Giam bingung. “Apa itu, sahabat sahabat
dari Tiga Pinggir Air?” tanya didalam hati. Tapi dilain saat ia mandusin dan
dapat menebak bahwa “Tiga Pinggir Air” berarti “Hay-see-pay” terdapat huruf
“Air”.
“Aku menasehati supaya kamu jangan campur-campur
urusan To liong to,” kata pula orang yang berada ditempat gelap. ( To-Liong to
Golok membunuh naga ).
Si pemimpin terkejut. “Apa tuan juga datang urusan
To liong-to?” tanyanya.
“Hu hu hu ” orang itu tertawa dingin. Dia tidak
memberi jawaban.
Mendengar suara tertawa itu, jantung Jie Thay Giam
memukul keras. Suara itu aneh tak mungkin dilukiskan bagaimana anehnya dan
begitu masuk kedalam kuping, pikiran orang yang mendengarnya lantas kalang
kabut, se akan akan belasan ular bulu merayap ditulang punggung. Dengan
perasaan sangat heran indap indap ia maju kedepan.
Dengan matanya yang terlatih, segera juga ia
melihat, bahwa ditengah jalan menghadang seorang lelaki yang tubuhnya kurus dan
kecil. Karena gelap gulita, ia tak dapat melihat tegas muka orang itu. Apa yang
dapat di lihatnya ialah orang itu mencekal sebatang tongkat, sedang pada
pakaiannya terdapat titik titik sinar yang berkeredepan, sehingga ia menarik
kesimpulan bahwa orang itu mengenakan jubah sulam.
“To Liong to adalah mustika partai kami,” kata pula
si pemimpin Hey see pay. “Golok itu telah di curi orang dan adalah sewajarnya
saja jika kami berusaha untuk mendapatkan nya kembali.”
Sikurus lagi-lagi tertawa dingin dan tetap
menghadang di tengah jalan.
Mendadak, seorang yang berdiri dibelakang si
pemimpin, membentak dengan suara keras “Minggir! Dengan mencegat kami, kau
hanya mencari mampus…”
Belum habis perkataannya, ia sudah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan jatuh kebelakang. Semua kawannya terkesiap. Hampir berbareng, sinar berkeradepan di jubah sikurus kering bergoyang goyang beberapa kali dan dia menghilang dari pemandangan.
Belum habis perkataannya, ia sudah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan jatuh kebelakang. Semua kawannya terkesiap. Hampir berbareng, sinar berkeradepan di jubah sikurus kering bergoyang goyang beberapa kali dan dia menghilang dari pemandangan.
Para anggauta Hay see pay kaget tercampur gusar, karena kawan ia
yang baru jatuh sudah putus napasnya dan badannya meringkuk beberapa antaranya
sudah melepaskan pikulan untuk mengejar sikurus. Tapi musuh itu yang gerakannya
cepat bagaikan kilat sudah tak kelihatan bayang2annya lagi.
Jie Thay Giam heran bukan main. “Senjata rahasia
apa yang digunakan oleh sijubah sulam?” tanyanya didalam hati. “Cara bagaimana
ia dapat membinasakan orang dengan tangan dan badan tidak bergerak? Aku berdiri
cukup dekat, tapi tak bisa lihat gerakan apapun juga.” la terus bersembunyi
dibelakang batu besar, supaya tidak dilihat oleh orang2 Hey see pay yang sedang
gusar.
“Biarlah kita tinggalkan jenazah Loo sie di tempat
ini untuk sementara waktu,” demikian terdengar lagi suara pemimpin. “Kita harus
membereskan dulu urusan yang lebih penting. Sebentar, sesudah selesai urusan
kita, baru kita merawat jenazah Loo sio. Kitapun harus nyelidiki siapa adanya
musuh itu. Semua kawannya mengiakan dan segera berlalu sambil memikul pikulan
mereka.
Sesudah mereka pergi jauh barulah Jie Thay Giam
keluar dari tempat sembunyi dan mendekati jenazah. Orang itu mati dengan badan
meringkuk seperti seekor udang dan dari tanda tandanya kebinasaannya disebabkan
racun yang sangat hebat. Sebab takut kena racun, ia tak berani menyentuh mayat
itu. Ia jadi sangsi dan sesudah berpikir beberapa saat, ia lalu mengempos
semangat dan menyusul kawanan Hay soe pay yang sudah pergi agak jauh.
Sesudah melalui beberapa li si pemimpin rombongan
tiba-tiba mengeluarkan seruan perlahan dan semua kawannya segera berpencaran
dan mendekati sebuah gedung disebelah timur laut dengan tindakan perlahan.
“Apakah golok To liong to berada dalam rumah itu?”
tanya Jie Thay Giam dalam hati.
Diatas gedung besar itu terdapat sebuah lubang
asap, darimana terus mengepul asap hitam yang dalam tempo lama berkumpul
ditengah udara, tanpa mau buyar. Kawanan penjual garam gelap itu segera menaruh
pikulan ditanah dan setiap orang lalu mengeluarkan sendok kayu yang digunakan
untuk menyendok semacam benda dari dalam keranjang mereka. Benda itu lalu
ditaburkan diseputar gedung. Melihat warna yang putih bagaikan salju, Jie Thay
Giam merasa pasti, bahwa benda tu ialah semacam garam.
“Apa yang disaksikan olehku pada malam ini sungguh
luar biasa,” pikirnya. “Jika diceritakan kepada In soe belum tentu ia mau
percaya.”
Waktu menyebarkan garam itu, orang2 Hay see pay
kelihatan sangat ber hati2 seperti juga kuatir benda itu menyentuh badan
mereka. Sebagai seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kang ouw, Jie Thay Giam
lantas saja mengerti bahwa garam itu mengandung racun hebat untuk mencelakakan
penghuni gedung itu. Jiwa kesatrianya lantas saja terbangun. “Siapa salah,
siapa benar, aku tak tahu, ” pikirnya.”Tapi perbuatan orang Hay soe pay terlalu
rendah. Biar bagaimanapun juga, aku harus memberitahukan penghuni rumah itu,
supaya dia jangan sampai celaka dalam tangan manusia2 rendah,” Melihat orang2
itu belum menyebar kan
garam dibagian belakang rumah, buru2 ia mengmbil jalan mutar kebelakang gedung
dan lain melompat masuk kedalam tembok pekarangan.
Dalam pekarangan yang sangat luas berdiri lima buah bangunan dengan tigapuluh atau empatpuluh kamar
dan apa yang mengheran kan,
seluruh gedung itu gelap gulita, tidak terlihat sinar lampu atau lilin.
“Dirumah tengah, dari mana mengepul asap hitam, pasti ada manusianya, pikir-Jie
Thay Glam. Karena kuatir penghuni runah menganggapnya sebagai musuh, ia lalu
mengambil sebatang cabang kering, menyalakan api dan lalu menyulutnya. Sambil
mengangkat obor itu tinggi2 ia berkata.”Murid Boe-tong-pay. Jie Thay Giam,
datang berkunjung untuk memberitahukan satu rahasia. Aku tidak mengandung
maksud kurang baik, harap kalian jangan curiga,” Walau perlahan suaranya tajam
dan jauh, sehingga menurut perhitungan, setiap perkataannya bisa didengar oleh
penghuni dalam lima
rumah itu. Tapi sesudah mengulangi perkataannya dua kali, ia masih juga belum
mendapat jawaban.
Jie Thay Giam adalah seorang pendekar dari sebuah
partai kenamaan dan tentu saja nyalinya labih besar dari manusia biasa. Biarpun
gedung itu menyeramkan, ia sungkan memperlihatkan kelemahan. Tanpa menghunus
golok dan dengan hanya mengempos semangat supaya panca indranya jadi lebih
tajam, ia segera bertindak masuk kedalam rumah yang mangeluarkan asap hitam.
Setelah melewati sebuah cim chee, ia tiba diruangan
belakang. Mendadak ia berdiri terpaku, sebab dipinggir ruang itu menggeletak
dua mayat, yang satu mengenakan pakaian too jin (imam), sedang yang lain
memakai pakaian petani. Usia kedua orang itu sudah lanjut dan mukanya
menyeramkan, seperti juga kesakitan hebat sebelum menghembuskan napas yang
penghabisan. Tapi dibadan mereka sedikitpun tidak terlihat tanda-tanda luka
barang tajam.
Jie Thay Giam berjalan terus untuk menyelidiki
keadaan rumah itu. Ia mendapat kenyataan bahwa setiap pintu terbuka lebar tapi
semua kamar gelap gulita, sehingga ia tak bisa lihat apa yang terdapat dalam
kamar-kamar itu. Kecuali obor yang dibawanya, tidak terdapat lain penerangan
seluruh rumah yang luas itu. Meskipun bernyali besar, mau tak mau hatinya
berdebar juga.
Dari situ, ia terus pergi keruangan samping, dimana
ia melihat pemandangan yang lebih hebat lagi. Dalam ruangan itu, menggeletak
mayat dua puluh orang lebih dengan senjata2 mereka. Dilihat dari muka mayat2
itu, sebagian sudah mati lama juga sebagaian lagi baru saja mati. “Dari
senjatanya, diantara mereka terdapat orang2 pandai.” katanya didalam hati.
“Senjata untuk menotok jalan darah, roda Ngo-heng-loen, Poan-koan pit dan
sebagainya. Jika orang2 itu tidak mahir dalam ilmu menotok jalan darah, mereka
tentu tidak menggunakan senjata itu. Mengapa mereka mati disini? Mengapa ?”
Semula ia masuk gedung itu dengan sikap
sembarangan. Tapi sekarang sesudah melihat mayatnya begitu banyak jago-jago, ia
lantas saja berhati-hati. “Murid Boe-tong-pay Jie Thay Giam minta bertemu
dengan Cianpwee untak melaporkan suatu urusan,” teriaknya kembali. Jawaban
tetap tidak ada, tapi diruangan tengah terdengar suara orang meniup api dan
suara merontoknya perapian. Dengan tindakan hati-hati, ia lalu menghampiri
suara itu dan sesudah melewati tembok dan sekosol, tibalah ia di ruangan
tengah.
Ia terkejut sebab merasakan menyambarnya hawa yang
sangat panas. Ditengah-tengah ruangan terdapat sebuah dapur besar yang terbuat
dari batu dan api di dalam dapur itu menjilat-jilat keatas. Diseputar dapur
berdiri tiga orang yang sedang meniup dengan menggunakan tenaga Lweekang,
sedang diatas dapur menggeletak melintang sedatang pedang yang panjangnya
kira-kira empat kaki. Sebab panasnya, dari merah sinar api berubah hijau dan
dari hijau berubah merah, tapi sinar golok tersebut masih tetap berkeredepan
dan sedikitpun tidak melumer atau rusak karena panas api.
Ketiga orang rata2 berusia kurang lebih enampuluh
tahun dan mereka semua mengenakan jubah hijau. Muka mereka penuh debu dan jubah
mereka banyak berlubang akibat peletikan api, diatas kepala mereka mengepul uap
putih dan saraya mengempos semangat, perlahan2 mereka meniup api. Setiap kali
ditiup, api itu menjilat keatas kira2 lima
kaki tingginya dan menggulung golok yang berkeredepan itu. Jie Thay Giam
mengerti, bahWa ketiga orang tua itu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi.
Dengan berdiri ditempat yang berapa tombak jauhnya dari perapian itu, ia sudah
merasakan hebatnya hawa panas, sehingga dapatlah dibayangkan panasnya hawa yang
menyambar ketiga kakek itu, yang berdiri dipinggir dapur. Tapi aneh sungguh,
biarpun digulung api yang bersinar hijau, golok itu masih tetap utuh dan Warna
nya tidak berubah sama sekali.
Mendadak diatas genteng terdengar suara menyeramkan
“Berhenti! Marah golok mustika itu adalah kedosaan besar.”
Jantung Je Thay Giam memukul keras, karena ia
mengenali, bahwa suara itu adalah suara si jubah sulam. Tapi ketiga kakek itu
tidak menghiraukannya dan malahan meniup semakin hebat. Mendadak hampir
berbareng dengan terdengar nya suara tertawa dingin, satu bayangan yang
bersinar emas berkelebatan dan bagaikan jatuhnya selembar daun, sijubah sulam
sudah berdiri ditengah-tengah ruangan. Dengan bantuan sinar api, Jie Thay Giam
bisa lihat tegas romannya orang itu, yang ternyata adalah seorang pemuda yang
baru berusia kurang lebih duapuluh tahun, dengan muka yang tampan, tapi pucat
dan bersorot hijau. Sulaman benang emas dijubahnya yang sangat indah dan mewah,
merupakan gambar-gambar harimau, singa bunga-bunga. Dengan sikap tenang dan
tanpa membawa senjata, ia berkata dengan suara dingin “Tiang pek sam khim,
mengapa kau akan merusakkan senjata mustika itu ? “Seraya berkata, begitu ia
maju setindak.
Sikakek yang berdiri disebelah barat mendadak
mementang lima
jari tangannya yang, terus menyambar kemuka orang. Sijubah sulam mengempas dan
maju lagi setindak. Kakek yang berdiri disebelah timur dengan cepat meagambil
satu martil yang terletak di pinggir dapur dan lalu menghantam kepala orang.
Tapi gerakan pemuda itu gesit luar biasa. Dengan sekali miringkan badan, ia
kermbali bisa meloloskan diri dari serangan kedua Martil itu menghantam tempat
kosong dan jatuh dilantai dengan muncratnya lelatu api. Ternyata batu lantai
bukan biasa, tapi batu gunung yang sangat keras.
Sikakek yang disebelah barat lantas saja bantu
menyerang dengan kedua tangan yang jari2nya dipentang seperti cakar ayam. Ia
menyerang secara nekat2an dengan pukulan-pukulan yang membinasakan, sehingga
Jie Thay Giam jadi merasa sangat heran, “Sakit hati apa yang didendam
orang-orang ini, sehingga mereka berkelahi dengan menggunakan pukulan pukulan
yang kejam itu?” tanyanya didalam hati.
Tapi kepandaian si jubah sulam benar-benar luar
biasa. Walaupun diserang oleh kedua kakek itu, ia masih bersenyum senyum dan
melayani dengan sikap acuh tak acuh. Sesudah bertempur beberapa jurus, si kakek
yang ber senjata martil membentak: “Siapa tuan ? Biar maui golok mustika, tuan
harus lebih dulu memberitahukan she dan namamu,”
Tapi si jubah sulam tidak menjawab, ia hanya
tertawa dingin, mendadak ia memutar badan, disusul dengan suara “krak-krek”
dari sikakek yang disebelah timur, terbang menghantam dan menjebloskan atap
rumah, akan kemudian jatuh dipekarangan gedung !
Kakek yang martilnya terbang, dapat berpikir cepat.
Ia tahu, bahwa mereka tengah menghadapi musuh yang satu, pihaknya dan meskipun
tiga lawan satu, pihaknya pasti bakal dapat dirobohkan. Maka itu, buru2 ia
mengambil satu jepitan api untuk menjepit golok To Liong to.
Pada waktu itu si kakek yang berdiri disebelah
selatan, sudah siap sedia dengan senjata rahasianya dan menunggu kesempatan
untuk menimpuk si jubah sulam. Akan tetapi karena gerakan pemuda itu gesit luar
biasa, maka sedari tadi ia belum mendapatkan lowongan untuk menyerang.
Sekarang, begitu lihat sikakek disebelah timur menangkat jepitan untuk menjepit
To-Liong to hatinya terkesiap. Ia yakin, begitu lekas golok mustika itu jatuh
kedalam tangan orang lain, ia sukar mendapatkannya kembali. Sesudah sikakek
memiliki To liong to, mana mampu ia melawannya? Dalam bingungnya, ia jadi nekad
dan bagaikan kilat, tangannya menyambar kedapur dan mencekel gagang golok.
Meskipun tidak sampai lumer sebagai,akibat dari
pembakaran yang sangat hebat itu, golok itu panas luar biasa. Begitu tangan
sikakek mencekel gagang golok, uap putih mengepul keatas dan semua orang
mengendus bau daging dibakar. Tapi ia seperti juga tidak merasa sakit dan
membelatak, ia tetap mencekel gagang golok itu. Karena kaget, pertempuran
terhenti dan semua orang berdiri terpaku. Dilain saat, kakek itu sudah melompat
kebelakang dan kemudian, sambil menenteng To-liong-to, bagaikan seorang edan,
ia kabur dari ruangan itu.
Sijubah sulam tertawa dingin “Mana bisa begitu
mudah?” katanya seraya turut melompat dan menjabret punggung sikakek yang lalu
digentak kebelakang. Orang tua itu membalik tangannya dan To-Liong-to
manyambar. Sebelum mata golok tiba, hawa panas sudah menyambar muka sijubah
sulam, sehingga rambut dan alisnya lantas jadi hangus.
Pemuda itu terkejut dan tak berani menyambut dengan
tangannya. Cepat bagaikan kilat, kedua tangannya mendorong kedepan dan tubuh
sikakek terbang kearah mulut dapur!”
Jie Tay Giam yang sadari tadi menonton pertempuran
itu sebenarnya tak ingin mencampuri sebab persoalan golok mustika tidak
bersangkut paut dengan dirinya. Tapi pada detik jiwa sikakek terancam
kebinasaan tanpa memikir panjang2 lagi, ia mengempos semangat dan melompat.
Sedang badannya masih berada ditengah udara ia menjambret rambut orang tua itu
law mengangkatnya keatas dan kemudian, dengan gerakan yang sangat indah ia
hinggap diatas lantai. Lompatan itu yang merupakan ilmu mengentengkan badan
paling tinggi dalam Rimba Persilatan dinamakan Tee in ciong “Lompatan awan
tangga”.
Si jubah sulat dan Tiang-Pek-Sam-khim yang tadinya
tidak memperhatikan padanya jadi kaget bukan main.
“Bukankah lompatan itu Tee in ciong yang kesohor
dikolong langit?” tanya pemuda itu.
Mendengar orang menyebutkan nama ilmunya. Jie Thay
Giam bermula merasa kaget, tapi kemudian ia girang karena mendapat pujian,
“ilmu yang cetek itu tiada artinya untuk di-sebut2″, jawabnya dengan suara
merendah. “Apakah aku bisa mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia?”
“Bagus! Bagus!” katanya, tanpa menjawab pertanyaan
orang. “Orang mengatakan, bahwa ilmu mengentengkan badan Boe tong pay tiada
keduanya dalam dunia. Perkataan itu ternyata ada benarnya juga”. Walaupun
kata2nya memberi pujian, tapi suaranya bernada sombong, se olah2 seorang
Cianpwee orang yang tingkatannya lebih tinggi sedang memuji kepandaian seorang
Hoanpwee orang yang tingkatannya lebih bawah.
Jie Thay Giam mendongkol tapi ia menahan sabar.
“Dengan sekali bergerak tuan sudah membinasakan seorang jago Hay see pay,
katanya kepandaian tuan sungguh2 tak bisa diukur bagaimana tingginya.”
Si baju sulam kaget. “Eeh, dia lihat aku, tapi aku
sendiri tak lihat dia,” katanya didalam hati. “Dimana bocah itu bersembunyi?”
Ia tersenyum tawar dan berkata dengan suara yang
tawar pula. “Benar ilmu itu sukar dimengerti oleh orang luar. Jangankan tuan,
sedangkan Ciang boen jin Boe tong pay sendiripun belum tentu bisa mengerti.”
Jie Thay Giam adalah seorang yang sangat sabar tapi
mendengar hinaan terhadap gurunya, darahnya naik juga. Baik juga ia masih bisa
menguasai dirinya dan merasa tidak perlu untuk menambah musuh karena beberapa
perkataan kurang ajar itu ia bersenyum seraya berkata. “Dalam dunia persilatan
memang terdapat banyak sekali ilmu2 yang murni dan yang sesat Boe tong pay
hanya memiliki sekelumit ilmu dari lautan ilmu yang dalam dan luas. Ilmu yang
dimiliki tuan memang juga tidak dipunyai oleh guruku.” Jawabnya yang sungkan
itu mengandung duri dan ia seperti juga mau mengatakan bahwa Boe tong pay
memang tidak mengerti segala ilmu sesat dan menyeleweng.
Sementara itu, sikakek yang mencekal golok mendadak
memutar To Liong to dan lari menerjang keluar.
Jie Thay Giam yang berdiri paling dekat, paling
dulu menerima serangan. Tiba2 ia merasakan sambaran angin hebat kearah
pinggangnya. Sesudah menolong jiwa orang tua itu, sedikitpun ia tidak duga,
bahwa dirinya bakal diserang cara begitu. Pada saat yang sangat berbahaya, ia
menotol lantai dengan kakinya dan badannya lantas saja melesat keatas. Kakek
itu sendiri terus lari keluar sambil menyabetkan To liong to secara membabi
buta.
Si jubah sulam dan dua kakek lainnya tidak berani
merintangi dengan kekerasar dan seraya ber-teriak2, mereka lalu mengumbar dari
belakang.
Jie Thay Giam pun lantas turut mengudak. Berkat
ilmu mengentengkan badannya yang sangat tinggi, biarpun mengubar belakangan, ia
lebih dulu menyandak kakek itu, yang lari dengan tindakkan limbung dan kedua
tangan mencekel To liong to, seperti juga tidak kuat menentengnya dengan satu
tangan.
Begitu tahu dicandak orang, sambil mangeluarkan
teriakan keras, ia melompat jauh dengan menggunakan seantero tenaga dan
badannya lantas saja melesat keluar pintu depan. Heran sungguh, begitu kedua
kakinya hinggap di tanah, ia terguling dan berteriak kesakitan seperti juga
terluka berat.
Si jubah sulam dan kedua kakek lainnya menyusul dan
coba merebut To liong to. Tapi dengan serentak merekapun turut2 robah dan
mengeluarkan teriakan menyayat hati, seolah2 dipagut ular atau lain binatang
berbisa. Sijubah sulam yang ilmunya paling tinggi dengan cepat melompat bangun
dan lantas kabur sekeras2nya. Tapi ketiga kakek itu terus bergulingan dan tak
bisa bangun lagi.
Melihat kejadian luar biasa itu Jie Thay Ciam
segera bergerak untuk memberi pertolongan. Mendadak ia kaget sendiri sebab
tiba2 saja ia ingat garam beracun yang disebar oleh orang2 Hay see pay. Melihat
akibatnya terhadap Tiang-pek Sam khim dan sijubah sulam, racun itu mestinya
hebat luar biasa ia tahu bahwa seputar gedung itu telah dikurung dengan garam
beracun sehingga ia sendiripun tak tahu bagaimana harus meloloskan diri.
Ia berdiri diam dan mengasah otak. Sekonyong
konyong ia lihat dua kursi tinggi dikedua samping pintu dan mendadak ia dapat
pikiran baik. Buru2 ia membalik kedua kursi itu dan sambil menggaetkan kakinya
dikursi ia berjalan seperti orang main jangkungan.
Ketiga orang tua masih terus bergulingan diatas
tanah sambil mengeluarkan teriakan hebat. Thay Giam mengerti bahwa ia sedang
berada ditempat yang sangat berbahaya cepat cepat ia merobek ujung bajunya dan
dengan menggunakannya sebagai alat ia men jambret punggung sikakek yang mencekal
To liong to dan sambil menentengnya ia lari kejurusan timur se-cepat2nya.
Inilah kejadian yang tak di duga2 oleh orang Hay
see pang dengan serentak mereka melepaskan sejata rahasia. Tapi Jie Thay Giam
yang gerakannya cepat luar biasa dalam sekejap sudah berada diluar jarak
senjata rahasia. orang2 Hay see pang tak mau mengerti dan terus mengejar
se-keras2nya.
Se konyong2, Jie Thay Giam melompat tinggi, sedang
kedua kakinya menendang kedua kursi itu lantas saja terbang kebelakang dan
menghantam beberapa pengejarnya. Mereka berteriak kesakitan dan semua kawannya
terpaksa berhenti sejenak untuk melihat
keadaan mereka.
keadaan mereka.
Dengan menggunakan kesempatan itu sambil mengempos
semangat, Jie Thay Giam mempercepat tindakannya dan dalam sekejap ia sudah
meninggalkan pengejarnya jauh sekali.
Sesudah lari lagi beberrapa jauh, ia hanya
mendengar suara ombak laut dan suara kejaran musuh sudah tidak terdengar lagi.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
Sikakek tidak menjawab. Ia merintih kesakitan “Lebih baik cuci badannya yang penuh garam beracun,” pikir Thay Giam. Ia segera membawa orang tua itu keair yang cetek dan lalu melemparkannya keair itu, dengan menjaga supaya air laut tidak mengenakan badannya sendiri. Beberapa saat kemudian, kakek itu kelihatan tersadar, tapi belum bisa bangun. Selagi Thay Giam mau mengangsurkan tangan untuk menariknya, tiba2 menyambar gelombang besar yang secara kebetulan, sudah melontarkan badan situa keatas pasir.
Sikakek tidak menjawab. Ia merintih kesakitan “Lebih baik cuci badannya yang penuh garam beracun,” pikir Thay Giam. Ia segera membawa orang tua itu keair yang cetek dan lalu melemparkannya keair itu, dengan menjaga supaya air laut tidak mengenakan badannya sendiri. Beberapa saat kemudian, kakek itu kelihatan tersadar, tapi belum bisa bangun. Selagi Thay Giam mau mengangsurkan tangan untuk menariknya, tiba2 menyambar gelombang besar yang secara kebetulan, sudah melontarkan badan situa keatas pasir.
“Sekarang kau sudah terlolos dari bahaya dan karena
mempunyai urusan panting aku tidak bisa menemani terus, maka disini saja kita
berpisahan.” kata Thay Giam.
Sambil menekan pasir dengan kedua tangan nya si
kakek mengangkat badannya. “Kau kau…mengapa kau tidak merampas golak mustika
ini?” tanyanya dengan suara heran.
Thay Giam tertawa. “Biarpun bagus, golok itu bukan
milikku,” jawabnya. “Bagaimana aku bisa merampasnya?” Si kakek jadi semakin
heran. Ia tak percaya dalam dunia ada orang begitu mulia. “Kau..,.kau…tipu
busuk apa yang dijalankan olehmu?” tanyanya. “Kau ingin menyiksa aku?”
“Kita sama sekali tidak bermusuhan, bagai mana aku
bisa menyiksa kau?” Thay Giam balas tanya seraya tersenyum. “Malam ini, secara
kebetulan kita bertemu dan karena merasa tak tega melihat kau terluka, aku
sudah memberi pertolongan.”
Orang tua itu menggeleng2kan kepalanya. “Jiwaku
berada dalam tanganmu, kalaukau mau ,bunuhlah sekarang!” katanya dengan suara
keras. Tapi jika kau turunkan tangan beracun, sesudah mati aku akan jadi setan
penasaran dan akan terus me-ngubar2 kau.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar